Bahkan “Prajurit Schweik” berpakaian buruk. Kata-katanya sopan dan lembut. Tak pernah berteriak “Bohemia Harga Mati!”. Namun ketika tanah airnya terancam, ia berdiri di garis depan. Heroisme “Prajurit Schweik” adalah sikap dan tindakan. Bukan slogan-slogan.
Oleh : Usep Romli H.M.
JERNIH– Novel “Prajurit Schweik” lahir dari tangan penulis Cekoslowakia, Jaroslav Hasek (Praha 1883-Lipnice 1923). Terjemahan Indonesia oleh Jokolelono, terbit pertama kali pada 1978.
Buku itu mengisahkan seorang prajurit, seorang prajurit eksentrik, bodoh, dan tak disiplin, tapi pernah lepas dari kejujuran dan ketulusan. Dalam kata pengantar, Jaroslav Hasek menulis :
“Setiap zaman besar membutuhkan orang-orang besar. Bukan orang-orang besar dengan kenyataan mirip kejayaan Napoleon dalam daftar catatan hasil karyanya, tetapi pahlawan-pahlawan sederhana yang tidak terkenal. Bila sifat orang-orang seperti itu diteliti, akan kita dapati bahwa kebesaran mereka jauh melebihi kebe-saran Iskandar yang Agung. Hari ini, bila berjalan-jalan di kota Praha, akan kita temui seseorang yang tak menyadari peranan penting yang dibawakannya, dalam se-jarah jaman baru yang besar ini. Cara hidupnya sangat sederhana, tak pernah menyulitkan siapa pun, juga tak pernah disulitkan oleh kerumunan para wartawan yang minta giliran untuk mewawancarainya Dan bila ditanya siapa namanya, dengan nada sederhana dan rendah hati ia akan menjawab,” Namaku Schweik”.”
“Dan orang pendiam, sederhana, serta berpakaian buruk itu, memanglah si prajurit teladan Schweik. Dialah manusia gagah berani dan tak mengenal takut yang menjadi buah bibir semua penduduk kerajaan Bohemia waktu masih berada di bawah pemerintahan Austria. Dialah orang yang kejayaannya tak akan lapuk walau pun Austria kini sudah menjadi republik.”
“Aku sangat senang pada Schweik, si prajurit teladan. Dan dengan menceriterakan pengalamannya di masa Perang Besar, aku yakin kalian semua akan menaruh hati pada pahlawan rendah hati serta tak bernama ini. Ia tidak membakar kuil sang dewi di Ephesus, seperti si tolol Harostratus dulu, yang hanya berbuat gila-gilaan seperti itu agar namanya dicantumkan di koran serta buku-buku bacaan di sekolah.”
Membaca kembali “Prajurit Schweik”, yang terbenam di tumpukan buku-buku selama 42 tahun, seolah menyegarkan kesadaran terhadap perubahan kondisi dan tata nilai kehidupan, yang kini lebih mementingkan atribut. “Prajurit Scheweik” tak punya sabiji pun tanda jasa, lencana kecakapan bertempur, sertifikat bebas tawanan, dlsb yang wajib ada pada masa kini.
Bahkan “Prajurit Schweik” berpakaian buruk. Kata-katanya sopan dan lembut. Tak pernah berteriak “Bohemia Harga Mati!”. Namun ketika tanah airnya terancam, ia berdiri di garis depan. Heroisme “Prajurit Schweik” adalah sikap dan tindakan. Bukan slogan-slogan.
Ia hanya tersenyum ketika polisi rahasia menangkapnya, dan bertanya setengah berbisik : “Apa alasan aku ditangkap?”
“Kau kutangkap karena mengatakan bahwa lalat-lalat menaruh merek dagang mereka di wajah Sang Kaisar. Pikiran semacam itu harus dibersihkan dari benakmu, “jawab polisi rahasia yang menyeret Schweik dari kedai minum “Botol” yang kumuh itu.
Lontaran humor “Prajurit Schweik” nampaknya ditanggapi serius dan penuh prasangka oleh penangkapnya. Suatu tanda bahaya yang terus berdengung hingga kini, tatkala humor dimasukkan ke ranah pidana penghinaan. [ ]