Site icon Jernih.co

Belajar dari Bagaimana Nasdem, Demokrat, PKS Memilih AHY atau Aher

Ilustrasi Aher/AHY

Lima tahun yang lalu ia masih bisa dipandang sebelah mata sebagai rookie dalam dunia politik, seiring baru saja keluar dari dunia militer yang minim opsi.  Tetapi, bagaimana ia memimpin sebuah partai yang terlihat kurang disukai rejim, menguatkan seluruh kekuatan partai untuk bersatu melawan pihak yang coba-coba bermain lancing, seharusnya membuat kita semua membuka mata bahwa memandang AHY tak harus selalu dilekatkan kepada kebesaran nama bapaknya.    

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Masuknya faktor Ahmad Heryawan (Aher) sebagai figur yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam tarik-menarik antara Partai Nasdem, PKS dan Partai Demokrat, yang disebut-sebut bakal berkongsi untuk Pilpres 2024, semakin membuat perbincangan siapa yang akan mendampingi Anies Baswedan, kian menarik. Pasalnya, kita tahu, bersama Partai Golkar misalnya, ketiga parpol ini relatif merupakan partai-partai politik yang paling rasional dalam perpolitikan Indonesia.

Dengan demikian, sebelum hari H keputusan kongsi partai-partai tersebut,–disebutkan 10 November–publik bisa menikmati, sekaligus belajar bagaimana hal-hal yang bersilangan, keinginan yang bertubrukan, bisa diurai, dibicarakan dan diputuskan secara dewasa dan sehat. Singkatnya, sebagai warga kita bisa berharap ajang kontestasi internal mereka itu pun mampu menjadi benchmark bagaimana perbedaan bisa dimusyawarahkan tanpa harus dibarengi kekerasan, baik verbal, apalagi kekerasan fisik yang jelas menunjukkan sisi minus peradaban.

Sebenarnya sangat wajar bila PKS mengajukan pilihan untuk menjadi bakal calon wapres pendamping Anies yang mereka jagokan. Dari sisi perolehan suara, pada Pemilu 2019 lalu PKS memperoleh 11.493.663 suara atau 8,21 persen pemilih. Sementara Partai Demokrat memperoleh 10.876.057 suara atau 7,77 persen pemilih. Tapi tentu saja, hal itu bukan satu-satunya faktor yang harus dipertimbangkan.

Hak itu digunakan sangat baik oleh PKS dengan mengajukan Aher. Mengapa sangat baik? Karena yang diajukan adalah Aher, yang memiliki pengalaman dan bukti kinerja cemerlang sebagai birokrat. Menjadi gubernur dengan masa jabatan maksimal—dua periode–, Aher benar-benar efektif menggunakan masa baktinya untuk membangun Jawa Barat. Hanya ada kelemahan menonjol yang tidak dilakukannya, yakni membangun kekuatan pribadinya dengan menguatkan jejaring selama satu dekade itu.

Jika urusannya hanya pembangunan fisik-infrastruktur, terlalu banyak contoh untuk diajukan. Mulai dari membenahi infrastruktur Jawa Barat bagian selatan, antara lain menguatkan pesona Geo-Park Ciletuh, pembangunan jalan tol Cileunyi-Garut-Tasik, pembangunan Pelabuhan Patimban, Pelabuhan Tasikmalaya, Tol Cisundawu, penyelesaian Bendung Jatigede, penyelesaian Tol Soroja, peletakan dasar-dasar pembangunan kereta api cepat yang kontroversial, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Cikarang, sampai penyelesaian Bandaran Internasional Jawa Barat yang manakala selesai justru tidak dimanfaatkan maksimal. Serta masih ada sekian lagi kalau mau dibikin banyak.

Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah pasangan yang bisa dipercaya Anies untuk mengamankan sepenuhnya kinerja pembangunan (fisik), Aher adalah pilihan yang tepat.

Tetapi, bila yang dipertimbangkan adalah pasangan yang pada Pilpres bisa ikut membantu Anies dengan elektabilitasnya, tak diragukan kalau AHY adalah pilihan yang lebih baik. Oh ya, tentu saja yang saya katakan itu sepenuhnya baru sebuah dugaan. Belum ada satu survey pun dari lembaga survey independent—yang kita tahu kian langka—mencari tahu mana yang elektabilitasnya lebih tinggi. AHY atau Aher. Namun, dengan semakin lamanya Aher luput dari sorotan media massa seiring purnanya tugas yang ia emban, wajar bila ia kian kurang dikenal publik. Sementara di lain sisi, AHY adalah ketua umum sebuah partai politik, yang semakin dekat ke waktu Pemilu, tentu kian banyak dirubung jurnalis.

Namun bila urusan membantu elektabilitas ini kita hubungkan dengan urusan  partai pengusung, sepintas lalu mesin PKS memang dianggap lebih berfungsi baik. Ketiadaan figur yang popular di partai tersebut selalu bisa ditutup dengan baik dengan efektifnya mesin partai bergerak di sela-sela kehidupan publik. Dalam hal ini, tampaknya akan lebih banyak yang setuju bahwa mesin politik PKS lebih baik dibanding kinerja mesin politik Partai Demokrat.

Tetapi, kuatnya semangat Demokrat untuk menjadikan AHY sebagai calon pendamping Anies pun sepenuhnya bisa dimengerti. Berbeda dengan 2019, lima tahun sudah seharusnya membuat AHY kian matang sebagai politisi. Lima tahun yang lalu ia masih bisa dipandang sebelah mata sebagai rookie dalam dunia politik, seiring baru saja keluar dari dunia militer yang minim opsi.  Tetapi, bagaimana ia memimpin sebuah partai yang terlihat kurang disukai rejim, menguatkan seluruh kekuatan partai untuk bersatu melawan pihak yang coba-coba bermain lancung seperti beberapa waktu kemarin, seharusnya membuat kita semua membuka mata bahwa memandang AHY tak harus selalu dilekatkan kepada kebesaran nama bapaknya.    

Akan halnya ‘pengalaman’ yang menjadi kritik banyak kalangan terhadap dirinya, barangkali kita bisa bersikap lebih adil. Bagaimana mungkin ia akan ‘berpengalaman’, sementara pintu ke arah itu tak pernah dibukakan? Lima tahun sudah Demokrat menahan sabar. Mungkin saat ini waktunya AHY diberi peluang.

Saya sendiri tidak yakin bahwa urusan itu akan diselesaikan internal Nasdem, PKS, Demokrat dengan cara fair namun membiaskan nuansa keretakan dalam persatuan: memberi kesempatan sebuah lembaga survey yang benar-benar independen untuk mencari tahu kekuatan elektabilitas keduanya. PKS adalah partai politik yang mengedepankan tujuan besar, juga adab. Sebagaimana pula Demokrat, keduanya telah teruji dalam sabar dan ikhlas untuk tujuan besar. Toh, tanpa harus menopang hujjah dengan buku Daniel Bell yang kini klasik, “The End of Ideology”, kita tahu tak ada perbedaan mendasar di antara ketiga partai yang tampaknya siap bersepakat itu.  

Mari menanti 10 November, dan membuktikan siapa yang akan terpilih. Oh ya, kalau saya hanya mempersoalkan kedua nama itu, tak lain karena hanya keduanya yang banyak disebut dalam wacana itu saat ini. [INILAH.COM]   

Exit mobile version