“Teman saya ini sekolahnya di—dia menyebut satu perguruan tinggi teknik negeri di Bandung–, jadi dosen di situ dan di PTS lain. Ngambil S2 di luar negeri. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia kena stroke. Ngajogrog aja enggak bisa apa-apa. Tergeletak jadi beban keluarga. Nah, mending saya kan? Masih bisa usaha, bisa menghidupi keluarga. Ada manfaatnya gini-gini juga.”
Oleh : Anwar Holid
JERNIH– Semua ini berawal dari obrolan saya dengan sopir angkot. Kami hanya bicara selama perjalanan, sebentar, berkat kebiasaanku yang suka duduk di depan karena rasanya lebih nyaman.
Entah bagaimana mulainya, mengingat aku lebih sering merespons alih-alih gampang menyapa. Tapi ke sananya toh kami ngobrol soal keluarga, anak, sekolah, sampai soal pekerjaan. Obrolan ini berlangsung dalam bahasa Sunda.
“Yah, kecil-kecil juga lumayan ada penghasilan,” kata Pak Sopir.
“Benar Pak, kata orang mah yang penting bisa bersyukur,” timpalku.
“Iya. Enggak kayak teman saya. Kasihan.”
“Memang dia kenapa Pak?”
“Dia itu teman saya dari kecil. Tetanggaan malah. Cuman bedanya dia mah pintar, sementara saya akhirnya jadi sopir angkot. Teman saya ini sekolahnya di—dia menyebut satu perguruan tinggi teknik negeri di Bandung–, jadi dosen di situ dan di PTS lain, S2 di luar negeri. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia kena stroke. Ngajogrog aja enggak bisa apa-apa. Tergeletak begitu saja jadi beban keluarga. Nah, mending saya kan? Masih bisa usaha, bisa menghidupi keluarga. Ada manfaatnya gini-gini juga.”
“Kenapa dia kena stroke pak?” Aku begidik membayangkan penyakit mengerikan itu menyerang seseorang. Di sisi lain, ada sesuatu yang mulai runtuh.
“Nggak tahu persisnya. Cuma kata keluarganya dia dulu terlalu keras bekerja. Akibatnya baru terasa sekarang. Semua yang sudah dia lakukan kayaknya sia-sia. Sakitnya kan menguras harta keluarga. Lama. Nggak sembuh aja. Ngabisin biaya. Memberatkan semua orang di rumahnya.”
Aku bingung. Benarkah orang yang kena stroke ini sia-sia atas semua usaha dan pencapaian yang pernah dia lakukan? Apa artinya ketekunan, kepintaran, kerja keras, juga penghasilan dia kala baik-baik saja, langsung sia-sia? Sayang sekali tak ada cerita apa dia punya asuransi. Apa orang kayak aku dan Sopir—yang penghasilannya biasa dan hidup pas-pasan–jadi lebih berharga? Aku takut menjawab. Kondisi ini membuat hidup jadi terlihat absurd persis di depan hidung. Aku takut jadi orang sombong, padahal nggak pantas.
Hidup bisa absurd, ironik, kejam, di luar nalar. Aku suka merasa sia-sia bersyukur padahal hatinya gelap sebab ada banyak kekurangan yang sulit dibiarkan. Biaya tetap wajib dibayar. Kerja belum beres dan terkadang sulit menggugah diri sendiri menghalau kemalasan. Sementara dorongan bersenang-senang terlalu kuat.
Kita mustahil hidup tanpa penghasilan. Coba hidup kita tanpa listrik selama lebih dari 24 jam. Kita bisa kaku mati gaya dan emosi terkuras. Baru kaku dan sebal, belum stroke. Itu membuat hidup jadi kompleks dan misterius.
Aku pernah membaca tulisan soal konsultasi seorang bujang lapuk sarjana S2 yang terus kesulitan dapat kerja tetap. Dia baru bisa jadi pengajar les privat dengan penghasilan pas-pasan. Jodoh mah boro-boro. Di Jakarta ada kejadian seorang penjahat spesialis pembobol rumah kosong, padahal lulusan S2 universitas di Australia.
Lihat sejumlah orang berpendidikan, dari kalangan sosialita kelas atas dan berkuasa. Perhatikan dugaan kejahatan yang mereka lakukan. Memalukan. Di sisi lain silakan baca kisah Dora Indrayanti Trimurni yang terpaksa harus menyamar jadi laki-laki biar tetap aman jadi tukang ojek, satpam, sekalian petugas kebersihan gedung demi membiayai hidup, kuliah, dan sekolah adik-adiknya.
Dan apa yang terjadi? Di suatu hari nahas, tubuhnya yang kurang istirahat dan asupan gizi, tersungkur. Tahu-tahu ternyata mengidap sakit parah yang langka. Beruntunglah sejumlah orang kini bersimpati akan nasibnya dan siap membantu dia sekeluarga.
Aku pernah dengar cerita tentang seorang dokter spesialis syaraf sombong yang tertimpa masalah sampai membuatnya stres. Dia merasa bahwa dirinya adalah kepanjangan tangan Tuhan yang bisa menentukan hidup-mati seseorang. Karena itu dia tidak butuh bantuan orang lain.
Tapi faktanya dia disuruh ikut terapi dan konsultasi psikologi. Waktu dengar cerita itu, dengan kasar aku bilang, “Kalau dia merasa jadi kepercayaan Tuhan, kenapa dia nggak minta Tuhan menyembuhkan stres atau kesombongannya?” Wah, sebelumnya aku merasa paling malas menghakimi orang.
Betapa kolosal drama yang terjadi pada manusia. Alangkah bisa absurd jalan ceritanya. Sampai aku mau menangis pingsan menonton dan ikut menjalaninya! [ ]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor, tinggal di Tangerang Selatan. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.