Berawal dari udang beku yang ditolak di pelabuhan Amerika, bukan karena basi, tapi karena memancarkan radiasi. Dari situlah terbongkar: di Cikande, Serang, tanah dan air kita tercemar Cesium-137—zat mematikan warisan reaktor nuklir.
JERNIH – Awal Oktober 2025, publik Indonesia dikejutkan kabar yang nyaris terdengar seperti potongan cerita dari film fiksi sains: kawasan industri Modern Cikande di Serang, Banten, ditetapkan pemerintah sebagai “Kejadian Khusus Cemaran Radiasi Cesium-137 (Cs-137)”.
Istilah itu sendiri jarang muncul dalam berita sehari-hari. Namun maknanya jelas: situasi di Cikande bukan sekadar persoalan lingkungan biasa, melainkan sebuah insiden berbahaya yang melibatkan zat radioaktif—sesuatu yang seharusnya hanya ditemui di fasilitas nuklir, rumah sakit tertentu, atau laboratorium berizin.
Ironisnya, kasus ini pertama kali terkuak bukan dari dalam negeri, melainkan dari luar negeri. Beberapa pelabuhan di Amerika Serikat menolak kontainer berisi udang beku dan cengkih dari Indonesia karena terdeteksi kontaminasi radioaktif. Penelusuran jejak barang membawa aparat ke Kawasan Industri Cikande, sebuah sentra manufaktur yang selama ini dikenal dengan pabrik-pabrik metalurgi dan logistik. Dari situlah ditemukan sumber kontaminan: Cs-137, isotop radioaktif hasil sampingan aktivitas nuklir.

Cesium-137 bukan zat yang bisa muncul secara alami. Ia buatan manusia, lahir dari fisi uranium atau plutonium di reaktor. Dalam sejarah global, nama Cs-137 kerap muncul saat tragedi nuklir: Chernobyl, Fukushima, dan uji coba senjata nuklir pada era Perang Dingin. Singkatnya, zat ini bukan sesuatu yang ingin kita temukan di tanah, air, atau—lebih buruk lagi—di rantai makanan.
Investigasi awal pemerintah menemukan sejumlah titik kontaminasi di dalam kawasan industri. Ada yang berupa tanah dengan level radiasi lebih tinggi dari normal, ada pula material padat yang diduga berasal dari limbah industri logam. Dugaan kuat mengarah ke PT Peter Metal Technology (PMT), salah satu pabrik yang diduga lalai mengelola limbah mengandung radioaktif.
Tanggal 30 September 2025, Menteri Lingkungan Hidup resmi menetapkan Cikande sebagai Kejadian Khusus Radiasi Cs-137. Dengan status ini, kendali atas kawasan berpindah ke satuan tugas khusus. Setiap kendaraan yang keluar masuk diperiksa dengan detektor radiasi. Petugas berseragam pelindung lengkap melakukan dekontaminasi titik-titik berbahaya. Bagi warga sekitar, pemandangan ini lebih mirip film dokumenter tentang bencana nuklir ketimbang aktivitas rutin sebuah kawasan industri.
Pemerintah juga mengakui bahwa material radioaktif yang ditemukan kemungkinan besar berasal dari luar negeri — sebuah fakta yang memperumit penelusuran sumber. “Material logam yang terkontaminasi di PMT berasal dari luar negeri karena Indonesia tak punya reaktor nuklir,” ujar Hanif Faisol Nurofiq, menyikapi asal Cs-137.
Dari lebih dari seribu pekerja dan warga sekitar yang diperiksa, sembilan orang dinyatakan positif terpapar Cs-137. Untungnya, sejauh ini mereka tidak menunjukkan gejala akut. Kementerian Kesehatan segera merujuk mereka ke RS Fatmawati, memberikan terapi dengan obat prussian blue yang berfungsi mempercepat pembuangan radioaktif dari tubuh.
Namun, meski tidak ada gejala langsung, paparan radiasi tidak bisa dianggap remeh. Risiko jangka panjang—terutama kanker—masih menghantui, mengingat Cs-137 memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun. Artinya, butuh tiga dekade agar zat ini meluruh setengahnya.
Radiasi adalah ancaman yang unik. Ia tidak terlihat, tidak berbau, tidak berasa. Warga di sekitar Cikande tidak akan tahu bahwa mereka sedang hidup di atas tanah yang mungkin terkontaminasi, atau bahwa ikan yang mereka makan sudah menyerap zat radioaktif.
Dalam jangka panjang, Cs-137 dapat masuk ke rantai makanan: dari plankton, ke ikan, lalu ke manusia. Di situlah letak bahayanya—bioakumulasi yang perlahan tapi pasti meningkatkan kadar racun dalam tubuh organisme yang lebih besar.
Sejarah dunia sudah menunjukkan betapa sulitnya memulihkan lingkungan dari kontaminasi Cs-137. Di Chernobyl, ratusan kilometer persegi hutan masih berstatus zona terlarang. Di Jepang, pembersihan pasca-Fukushima memakan biaya miliaran dolar dan waktu bertahun-tahun. Cikande tentu bukan bencana skala itu, tetapi prinsipnya sama: sekali tanah dan air terkontaminasi, tidak ada solusi instan untuk membersihkannya.
Kasus ini menyulut kepedulian sejumlah NGO lingkungan. Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation mengingatkan, “Selama ini, pemerintah terlalu longgar membiarkan impor limbah. Akuntabilitas tidak boleh hanya dibebankan kepada perusahaan importir, tetapi juga eksportir.”
Peneliti Hukum Dyah Paramita juga menyarankan agar pemerintah menelusuri rantai impor. “Harus menelusuri asal barang dan siapa eksportirnya. Kalau terbukti barang yang mengandung radiasi itu berasal dari impor, pemerintah perlu segera melaporkan insiden ini kepada Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA),” tandasnya.
Kasus Cikande juga membuka pertanyaan lebih besar: bagaimana zat radioaktif bisa beredar bebas di luar kontrol negara? Apakah karena kelalaian pabrik dalam mengelola limbah? Apakah karena lemahnya pengawasan pemerintah terhadap impor scrap metal (logam bekas) yang kerap dijadikan bahan baku industri?
Pemerintah sudah menyatakan akan menggugat pihak yang bertanggung jawab, baik secara pidana maupun perdata. Menanggapi tanggung jawab hukum terhadap insiden ini, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menyatakan, “Dua pihak yang akan dituntut oleh KLH yang pertama adalah PMT sebagai tergugat satu, tergugat kedua adalah pengelola kawasan PT Modern Land.”
Namun publik layak bertanya: mengapa harus menunggu bendera merah dari pelabuhan luar negeri untuk sadar ada kontaminasi radioaktif di halaman sendiri? Di titik ini, masalah Cikande bukan sekadar insiden lingkungan, melainkan cermin rapuhnya tata kelola industri berisiko tinggi di Indonesia.
Bagi negara, insiden Cikande adalah ujian. Ujian seberapa cepat pemerintah bisa bergerak menutup titik-titik celah pengawasan. Ujian seberapa serius penegakan hukum terhadap perusahaan yang lalai. Dan yang terpenting: ujian transparansi. Masyarakat berhak tahu perkembangan dekontaminasi, hasil pemeriksaan lingkungan, serta risiko nyata yang mungkin mereka hadapi.
Dalam konteks lebih luas, insiden ini juga menjadi peringatan: modernisasi industri tidak boleh meninggalkan aspek keselamatan radiasi dan limbah berbahaya. Indonesia bukan negara dengan reaktor nuklir komersial, namun nyatanya kita sudah berhadapan dengan konsekuensi material radioaktif.
Apakah Cikande akan pulih? Secara teknis, ya. Dengan dekontaminasi, pengawasan ketat, dan penyimpanan limbah di fasilitas aman, kawasan ini bisa kembali berfungsi. Namun secara sosial, trauma dan ketidakpercayaan warga tidak akan hilang begitu saja. Masyarakat butuh jaminan bahwa pemerintah benar-benar mampu melindungi mereka dari ancaman tak kasatmata ini.(*)
BACA JUGA: Skandal Udang Radioaktif dari Serang: Jejak Cesium-137 yang Menggetarkan