Jernih.co

Berdamai dengan Rasa Bersalah

Pada akhirnya, kesalahan-kesalahan diri dalam hidup kita jadikan sebagai cermin belajar untuk tetap maju melangkah ke depan

Oleh    :  Kurnia Fajar

JERNIH—“Sungguh telah kumaafkan setiap orang yang berbuat buruk padaku. Karena meskipun begitu dalam keputusasaan menimpaku, aku tak ingin kedengkian menimpaku.” –Majed Abdullah, “The Arabian Jewel”, mantan pemain bola terkenal

Sore tadi saya menonton “We Were Soldiers”, sebuah film yang diambil dari kisah nyata dan adaptasi buku yang ditulis Joseph L Galloway. Film yang bercerita tentang Letnan Jenderal (purn) Harold Gregory Moore, seorang komandan batalyon tentara AS yang memimpin pasukan kavaleri udara di pertempuran La Drang,  vietnam. Film ini diproduksi 2002, dan disutradarai Randall Wallace.

Tentu saya sering menonton film sejenis. Namun film ini begitu melekat di hati dan kepala saya. Paling tidak, banyak kalimat Hal Moore—setidaknya dalam film ini–yang begitu hebat, yang dibuktikan pula dengan tindakannya di lapangan. Pada saat melepas pasukan di lapangan American Football, Moore berkata, “We going into battle against tough and determined enemy. I can’t promise you that I will bring you home alive. But this I swear, before you and before almighty god, that we going into battle I will be the first to set foot on the field and I will be the last to step off, and I will leave no one behind. Dead or alive, we will all come home together.”  Silakanlah terjemahkan sendiri.

Moore juga menginspirasi saat berbicara dengan Galloway setelah pertempuran usai. Saat itu, Moore adalah pemimpin pasukan yang masih hidup di tengah mayat-mayat anggota pasukannya yang bertebaran. “I will never forgive my self,”katanya.  “What for sir?” kata Galloway. Moore menjawab “That my men died, and I didn’t”.

Menjadi pemimpin bisa saja kita membuat keputusan-keputusan salah dan berakibat fatal bagi orang-orang sekitarnya, bagi anak-anak buahnya. Apalagi jika pemimpin itu memiliki keluarga, pasti keluarganya akan terdampak. Perasaan bersalah akan menghantui dirinya di sisa masa hidupnya. Lalu bagaimana seorang pemimpin bisa berdamai dengan rasa bersalah itu?

Diogenes seorang filsuf yang terkenal dengan aliran “sinis”-nya pernah menyampaikan “Seseorang akan merasa bersalah atas semua kebaikan yang tidak ia lakukan.”

Ada juga Albert Camus, yang dalam “The Stranger” memberikan kesan bahwa setelah melakukan suatu kesalahan, banyak orang merasa bersalah atau menyesal. Setelah sekian lama mengalami emosi ini tanpa berusaha untuk bertobat, manusia mulai mengabaikan dan menyingkirkan rasa bersalah itu. Akhirnya, ia justru menjadi buta terhadap rasa bersalah itu.

Kata kuncinya adalah tobat. Jika dipadankan dengan kata yang lebih universal, tobat adalah energi kesadaran. Untuk mendapatkan energi kesadaran ini manusia hendaknya mawas diri; dari mana energi ini ada dan berada. Camus juga menyampaikan bahwa “Sesungguhnya manusia tidak sama sekali bersalah, karena ia tidak memulai sejarah. Tapi juga tidak sama sekali tanpa salah, karena ia meneruskan sejarah.” Kesalahan manusia tidak berdiri sendiri, sederhananya kira-kira begitu.

Sebagai seorang eksistensialis, Camus bahkan percaya, “Tuhan tidak diperlukan untuk menciptakan rasa bersalah atau menghukum. Rekan kita sudah cukup, dibantu oleh diri kita sendiri.”

Nampaknya Letnan Jenderal (purn) Hal Moore pun mengamini ajaran Albert Camus. Selepas perang, Moore mencari dan menemukan energi kesadarannya. Salah satu yang dilakukannya adalah kembali ke La Drang, lokasi pertempuran itu berlangsung. Di sana ia bertemu dengan musuhnya langsung, Kolonel Jenderal (purn), Nguyen Huu An. Keduanya bersalaman, berpelukan dan terlibat diskusi yang cukup intensif.

Pada akhirnya, kesalahan-kesalahan diri dalam hidup kita jadikan sebagai cermin belajar untuk tetap maju melangkah ke depan. Mengutip status WA seorang kawan,”Laut di belakang kalian dan musuh di depan. Mau pergi kemana? Tak ada jalan lain kecuali ke depan, menyongsong nasib baik di masa depan. Dengan kerja dan keyakinan.” [  ]

Exit mobile version