Jernih.co

Berjihad Laiknya “EYD”, Secara Baik dan Benar

Para ulama mengartikan, jihadun nafsi harus lebih diutamakan dalam setiap gerak jihad umat Islam. Agar jangan sampai dorongan hawa nafsu menodai jihad-jihad lain, terutama “jihad qital” yang berkaitan dengan nyawa manusia.

Oleh   : H.Usep Romli HM

“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan ringan, mapun berat,dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu, lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui”.(Q.s. at Taubah : 41)

Usep Romli HM

Jihad mengandung makna berjuang dalam cakupan pengertian dan bentuk amat luas. Ada “jihadun nafsi” (jihad melawan hawa nafsu), “jihad  bil lisan” (jihad dengan perkataan), “jihad bil qalam” (jihad dengan pena atau tulisan),  “jihad bit tarbiyah” (jihad dengan pendidikan, yaitu penyebaran nilai-nilai Islam di tengah masyarakat). Semua bentuk dan cara jihad tersebut berada dalam koridor “jihad fi sabilillah”. Berjuang di jalan Allah (“Leksikon Islam”, Jakarta, 1988, jilid I, hal.286).

Bentuk dan cara jihad lain, yang merupakan “puncak” dari segala “jihad” tadi, adalah “jihadul qital”. Jihad dengan cara perang. Tentu dengan syarat-syarat tertentu sesuai petunjuk Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.

Syekh Dr. Abdullah Azzam, seorang “mujahid” asal Palestina, yang ikut terjun di medan jihad Afghanistan melawan agresi militer Uni Sovyet (1979-1989), dalam pengantar bukunya yang terkenal “Ayatur rahman min Jihadil Afghan “ (1985) menyatakan, “jihad al qital” baru dapat terlaksana apabila para pelaku atau peserta jihad sudah mendapat latihan (i’dad) matang. Selain menguasai penggunaan persenjataan, juga mengusai kecerdasan intelektual, baik lisan maupun tulisan. Tujuannya, agar mampu memahami makna dan tujuan jihad yang benar-benar diridlai Allah dan RasulNya. “La jihada wala i’dada” (Tak ada jihad tanpa latihan), “kata Abdullah Azzam.

Menelusuri riwayat hidup Nabi Muhammad Saw, selama masa kenabian  di Mekkah, 13 tahun, beliau mengutamakan pendidikan umat Islam generasi awal (as sabiqunal awwalun). Agar memiliki kekuatan keimanan (tauhid), kekhusyukan ibadah dan kemuliaan ahlak. Hal-hal bersifat “muamalah” (sosial) seolah-olah “ditangguhkan”terlebih dulu, karena situasi dan kondisi Mekkah yang dikuasai kaum kafir Quraisy, belum mendukung.

Baru setelah hijrah ke Madinah, aspek “muamalah” dapat dilaksanakan berangsur-angsur. Garapan ekonomi, sosial, politik, budaya, yang sesuai syariah Islam, mulai diterapkan di masyarakat. Bahkan dua tahun kemudian, tahun 2 Hijrah, umat Islam Madinah mulai direkrut menjadi milisi sipil untuk menghadapi Perang Badar. Sekitar 330 pasukan Islam minim pengalaman perang, melawan 950 pasukan kafir Quraisy yang rata-rata jago perang. Tapi karena sudah mendapat gemblengan moral dan mental spiritual berlandaskan tauhid, bersendikan ibadah, berhiaskan ahlak mulia, semua berserah diri semata kepada Allah (dainunnah lillahi wahdah). Sehingga mendapat pertolongan dari Allah SWT dalam perang perdana dan menentukan nasib masa depan  Islam dan umat Islam itu. Kemenangan berpihak kepada umat Islam (Q,.s. Al Anfal : 7-10) dengan korban amat kecil. Sedang di pihak kafir Quraisy, jatuh korban Abu Jahal, seorang tokoh paling keras menolak kenabian Muhammad Saw dan paling hebat menghalangi syi’ar Islam di kota Mekkah.

Setelah Perang Badar usai dengan kemenangan gemilang umat Islan, Rasulullah Saw bersabda : “Kita baru saja menjalani perang kecil, dan akan menghadapi perang besar”.

“Apa itu ya Rasulullah,”tanya para sahabat yang merasa heran, karena bagi mereka Perang Badar merupakan perang besar luar biasa.

“Jihad melawan hawa nafsu,”jawab Rasulullah Saw.

Para ulama mengartikan, jihadun nafsi harus lebih diutamakan dalam setiap gerak jihad umat Islam. Agar jangan sampai dorongan hawa nafsu menodai jihad-jihad lain, terutama “jihad qital” yang berkaitan dengan nyawa manusia. Jangan sampai merenggut korban jiwa di kalangan orang tak berdosa yang tak tahu apa-apa soal “jihad”.

Jihad dalam bentuk dan bidang apa pun – termasuk perang di jalan Allah – tetap harus berpijak pada kebaikan dan tidak merusak. Sesuai firman Allah SWT “berbuat baiklah kalian sebagaimana Allah berbuat baik kepada kalian, dan jangan merusak, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang merusak.” (Q.s.al Qashash : 77). [  ]    

Exit mobile version