Site icon Jernih.co

Berkumpul untuk Shell: Wujud Nyata Emotional Bonding dan Loyalitas Pelanggan

Tiba-tiba serombongan orang memakirkan mobil di SPBU Shell. Mereka tidak hendak membeli BBM yang memang kosong. Tapi beraksi dengan caranya, melakukan advokasi, meminta Shell tetap di Indonesia. Aksi ini memviral.

JERNIH – Sebuah pemandangan tak biasa muncul di salah satu SPBU Shell di Indonesia. Sekelompok orang datang bukan untuk mengisi tangki bensin, melainkan untuk mengisi ruang batin mereka dengan makna: mempertahankan sesuatu yang mereka cintai.

Mereka datang dengan satu tujuan sederhana namun sarat makna — agar Shell tetap hadir di Indonesia.

Di dunia yang serba transaksional ini, di mana konsumen biasanya hanya mencari harga termurah dan manfaat paling praktis, pemandangan semacam itu terasa seperti oase di padang rasionalitas. Ia menunjukkan bahwa hubungan antara merek dan manusia bisa melampaui logika ekonomi; bahwa loyalitas bukan hanya tentang pembelian, tetapi tentang perasaan.

Shell telah lama hadir di jalan-jalan Indonesia, tidak hanya sebagai penyedia bahan bakar, tetapi sebagai teman perjalanan. Dari sepeda motor yang mengantar anak sekolah hingga mobil keluarga yang menempuh jarak antar kota, nama Shell menjadi bagian kecil dari cerita hidup banyak orang.

BACAJUGA: Shell Mundur, Pertamina Makin Perkasa? Drama Bisnis BBM di Balik Layar

Melalui pelayanan yang ramah, SPBU yang bersih, dan program loyalitas seperti Shell ClubSmart, perusahaan ini menanamkan nilai-nilai trust dan care. Seiring waktu, pelanggan tidak sekadar mengingat kualitas bahan bakarnya, tetapi juga rasa aman dan percaya yang menyertainya.

Marc Gobé (2001) dalam bukunya Emotional Branding menulis: “Merek yang membangun ikatan emosional dengan konsumen menciptakan rasa memiliki dan kepercayaan yang jauh melampaui kepuasan produk.”

Mungkin di situlah letak jawabannya. Ketika konsumen datang untuk membela Shell, mereka sejatinya sedang membela bagian kecil dari rasa percaya diri mereka sendiri — simbol kecil dari konsistensi dan kualitas dalam hidup yang serba berubah.

Customer Journey: Perjalanan dari Kepuasan ke Kepedulian

Dalam teori pemasaran modern, hubungan pelanggan dengan merek digambarkan sebagai perjalanan — customer journey.

Menurut Philip Kotler dalam Marketing 5.0 (2021), pelanggan melewati lima tahap: Awareness, Interest, Desire, Action, dan akhirnya Loyalty.

Shell telah menuntun konsumennya melewati setiap tahap itu dengan sabar.

Dari awareness yang muncul karena reputasi globalnya, ke interest melalui inovasi bahan bakar yang efisien, lalu desire melalui pengalaman pengisian yang bersih dan nyaman, hingga action, ketika mereka memilih Shell di antara banyak pilihan.

Namun perjalanan itu tak berhenti di sana. Ketika pelanggan datang berkumpul, menyuarakan keinginan agar Shell tidak pergi, mereka sudah melangkah ke tahap tertinggi: advocacy — tahap ketika konsumen bukan hanya pengguna, tetapi pembela.

Narasi yang relevan dengan konteks ini dijelaskan Lemon dan Verhoef (2016) dalam Journal of Marketing. “Tujuan utama dari pengelolaan perjalanan pelanggan adalah menciptakan pendukung yang secara sukarela mempromosikan dan membela merek,” jelasnya.

Dan hari itu, di sebuah SPBU yang menjadi saksi, teori itu hidup dalam kenyataan.

Loyalitas Sejati: Antara Akal dan Hati

Dalam dunia pemasaran, loyalitas dibedakan menjadi dua: behavioral loyalty (perilaku membeli ulang) dan attitudinal loyalty (komitmen emosional).

Oliver (1999) mendefinisikan loyalitas sejati sebagai: ““Komitmen yang dipegang teguh untuk membeli kembali atau berlangganan kembali suatu produk atau layanan pilihan secara konsisten di masa mendatang, terlepas dari pengaruh situasi.”

Jadi konsumen tidak peduli dalam situasi apapun ia akan tetap membeli. Ini melebihi dari sekadar hanya soal kepercayaan, yang sejatinya juga sebuah masa yang telah dilewati.

Ketika sebagian konsumen Indonesia tetap datang ke SPBU Shell meski ada alternatif yang lebih murah atau lebih dekat, itu adalah bentuk behavioral loyalty.

Namun ketika mereka berdiri bersama, menolak kehilangan merek itu, itu adalah attitudinal loyalty — cinta yang lahir dari kepercayaan, bukan semata kebiasaan. Akal mereka sudah menciptakan logika pembelian yang masuk akal. Sedangkan hati mereka sudah kadung kepincut tak bisa ke lain hati.

Dalam teori brand community oleh Muniz dan O’Guinn (2001), komunitas merek terbentuk ketika pelanggan merasa memiliki keterhubungan sosial berbasis merek yang mereka kagumi.

“Komunitas merek adalah komunitas khusus yang tidak terikat secara geografis, yang didasarkan pada serangkaian hubungan sosial terstruktur di antara para pengagum suatu merek,” demikian ungkap Mniz dan O’Guinn.

Fenomena Shell di Indonesia membuktikan hal itu.

Konsumen tidak datang karena diundang — mereka datang karena terhubung. Mereka tidak digerakkan oleh promosi, melainkan oleh emosi kolektif yang tumbuh dari pengalaman bersama.

Shell, tanpa disadari, telah membangun komunitas tak kasat mata — bukan di media sosial, melainkan di hati para penggunanya.

Di era ketika teknologi memudahkan segalanya, sering kali hubungan antara merek dan manusia terasa dingin dan mekanis. Namun peristiwa ini mengingatkan kita bahwa di balik algoritma dan data pelanggan, masih ada ruang untuk rasa.

Shell menjadi contoh bahwa teknologi dan kemanusiaan tidak harus bertentangan, sebagaimana ditegaskan Kotler dkk. dalam Marketing 5.0: Technology for Humanity (2021). Shell tidak hanya menjual bahan bakar, tetapi juga menghadirkan pengalaman, nilai, dan keyakinan — hal-hal yang tak ternilai dalam liter bensin.(*)

BACA JUGA: Memahami Penolakan SPBU Swasta Atas Pasokan Base Fuel Pertamina

Exit mobile version