Kasus yang terungkap ini seperti fenomena gunung es, pasti ada kasus yang belum terungkap atau ditutup-tutupi karena mencemari kesucian lembaga pendidikan. Atau untuk menjaga nama baik seseorang. Atau ada alasan lain yang pasti bukan untuk kepentingan anak-anak yang menjadi korban.
JERNIH-Tahun 2021 bisa jadi tahun paling hitam bagi anak-anak Indonesia. Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2021 marak kekerasan seksual pada anak-anak dan mirisnya lagi kekerasan seksual tersebut justru terjadi di satuan pendidikan.
KPAI mencatat sedikitnya ada 18 kasus kekerasan seksual telah terjadi di satuan pendidikan dan para pelakunya justru guru, orang yang seharusnya menjadi sosok yang paling dihormati anak-anak sesudah orangtuanya.
Dalam catatan KPAI para orang dewasa di satuan pendidikan yang berubah menjadi predator seksual terbagi menjadi dua kelompok, yakni guru, kepala sekolah dan tokoh Pembina anak-anak tersebut.
“Kalau kita berbicara pelaku adalah guru yang paling banyak dengan 55,5 persen (10 orang dari 18 kasus). Kalau kepala sekolah sekitar 22,22 persen (4 orang). Tapi aja juga pelaku lain seperti pengasuh di pondok pesantren, tokoh agama, dan pembina asrama,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebut dengan rinci prosentase predator seksual tersebut.
Yang lebih memprihatinkan lagi korban terbanyak justru terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).
“Dari 18 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, ada empat kasus yang terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbud Ristek. Sisanya, kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama,”.
“Kasusnya paling banyak ada 14 kasus di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag,”.
Ada apa dengan sekolah dibawah kewenangan Kemenag? Apakah pengawasannya kurang? Apa ada hal lain di luar kendali Kemenag? Mengapa begitu banyak tempat semacam itu? Apakah ada pembiaran?
Bayangkan, kekerasan seksual terhadap anak-anak terjadi di berbagai kota, yakni di 17 kabupaten/kota pada 9 provinsi. Dan mirisnya lagi, kasus kekerasan seksual itu mayoritas terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school. Tercatata ada 12 kasus di tempat semacam itu.
Sedangkan enam kasus lainnya terjadi di satuan pendidikan yang tidak berasrama. Jumlah pelaku dari 18 kasus itu sebanyak 19 orang, dimana ada satu kasus dengan pelaku dua orang. Semua pelaku laki-laki.
Adapun korbannya seluruhnya 207 anak laki-laki dan perempuan. Jika dirinci 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki dengan rentang usia 3 hingga 17 tahun.
Melihat angka ini kita harus sepakat ini seperti fenomena gunung es, pasti ada kasus yang belum terungkap atau ditutup-tutupi karena mencemari kesucian lembaga pendidikan. Atau untuk menjaga nama baik seseorang. Atau ada alasan lain yang bukan untuk kepentingan anak-anak yang menjadi korban.
Yang memilukan lagi, pada kasus dengan korban anak laki-laki ada kecenderungan anak-anak tersebut akan melakukan hal yang sama pada saat mereka dewasa. Harus ada acara untuk memutus rantai masalah tersebut.
Hal lain yang mengecewakan adalah vonis yang dijatuhkan para para pelaku yang kadang-kadang sangat ringan. Dan saking ringannya kadang dirasa tak masuk akal, hingga orang keluarga korban jadi mengutuk agar suatu saat keluarga pelaku juga jadi korban dalam kasus serupa. (tvl)