Jernih.co

Bila Prabowo Berkuasa, Masihkah Kementerian Pertahanan Kita Alpa Membuat Buku Putih Pertahanan?

Kebijakan kontinuitas, khususnya bidang investasi dan diplomasi ekonomi, juga memiliki kelemahan. Meskipun dapat memberikan stabilitas, hal itu juga membatasi peluang untuk beradaptasi terhadap perubahan situasi global. Ketergantungan berlebihan pada strategi masa lalu, yaitu tidak mau terlibat dalam megaphone diplomacy/diplomasi berisik (khususnya dengan Cina), tanpa mempertimbangkan dinamika geopolitik yang berkembang, bisa menyebabkan kesempatan terlewat atau respons yang tidak efektif terhadap tantangan yang muncul. Kurangnya perspektif baru juga dapat menghambat kemampuan Indonesia untuk mengatasi prioritas diplomatik dan strategis baru secara efektif.

Oleh     :  Beni Sukadis

JERNIH– Melalui informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan laman perhitungan suara independen Kawal Pemilu, hasil Pemilihan Presiden Februari 2024 sudah bisa dilihat dengan jelas. Pasangan Prabowo-Gibran menang dengan angka 58,44 persen dibanding saingannya, yaitu Anies-Muhaimin sebesar 25,05 persen dan Ganjar-Mahfud sebesar 16,51 persen. Hasil ini membuka jalan bagi Prabowo sebagai presiden terpilih untuk mengambil-alih tampuk kepemimpinan Indonesia dari Presiden Joko Widodo.

Indonesia, sebagai negara maritim yang kaya dengan sumber daya alam, telah lama menjalankan politik luar negeri dengan prinsip bebas aktif. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto yang direncanakan akan resmi dilantik pada Oktober 2024 nanti, melalui visi dan misi yang dibawa, jelas bahwa tradisi politik luar negeri ini akan terus dipertahankan.

Beni Sukadis

Dalam sejumlah pernyataannya, Prabowo Subianto menegaskan komitmen kuatnya terhadap politik luar negeri bebas aktif yang telah menjadi landasan kebijakan Indonesia selama bertahun-tahun. Dia menekankan bahwa Indonesia tidak akan memihak pada blok mana pun, tetapi akan tetap menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Prabowo juga menegaskan bahwa dasar dari semua kebijakan luar negeri Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945.

Selanjutnya, Prabowo menegaskan bahwa kepentingan nasional Indonesia akan tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan luar negeri yang diambil. Dalam hal hubungan internasional, Prabowo menekankan pentingnya memper-hatikan kepentingan geopolitik dan ekonomi Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang strategis, Indonesia memiliki kepentingan yang kompleks dan beragam di tingkat global dan regional. Karena itu, menjaga hubungan yang saling menguntungkan dengan negara-negara lain menjadi hal yang sangat penting.

Beberapa isu utama hubungan internasional yang dihadapi pemerintahan baru adalah konflik Myanmar, Laut Cina Selatan, isu keamanan maritim/perbatasan (pencurian ikan, pelanggaran batas laut), Selat Taiwan, bencana alam dan yang tidak kalah penting yaitu persaingan geopolitik AS-Cina, Gaza, dan Ukraina-Rusia. Artinya, bagi pemerintahan Prabowo tidak ada tantangan yang baru dalam persoalan hubungan internasional.   

Di tengah berbagai tantangan ini, Prabowo Subianto akan mewarisi sejumlah kebijakan luar negeri dari pemerintahan sebelumnya, yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Melanjutkan warisan ini dapat memberikan stabilitas dan konsistensi dalam pendekatan Indonesia di bidang hubungan internasional. Hal ini juga memastikan bahwa inisiatif dan kemitraan yang sedang berlangsung tetap utuh, memberikan dasar yang kokoh untuk keterlibatan Indonesia dengan komunitas global. Membangun atas hubungan yang sudah terjalin juga dapat memfasilitasi interaksi diplomatik yang lebih lancar dan meningkatkan pengaruh Indonesia di panggung dunia dengan melakukan diplomasi multilateral.

Namun, kebijakan kontinuitas khususnya bidang investasi dan diplomasi ekonomi juga memiliki kelemahan. Meskipun dapat memberikan stabilitas, hal itu juga membatasi peluang untuk beradaptasi terhadap perubahan situasi global. Keter-gantungan berlebihan pada strategi masa lalu, yaitu tidak mau terlibat dalam megaphone diplomacy/diplomasi berisik (khususnya dengan Cina)[1], tanpa mempertimbangkan dinamika geopolitik yang berkembang bisa menyebabkan kesempatan terlewat atau respons yang tidak efektif terhadap tantangan yang muncul. Kurangnya perspektif baru juga dapat menghambat kemampuan Indonesia untuk mengatasi prioritas diplomatik dan strategis baru secara efektif.

Dalam konteks kebijakan luar negeri di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, pandangan yang dinyatakan selama kampanye pemilihan presiden menunjukkan fokus pada mempromosikan kedaulatan Indonesia, kepentingan nasional, dan kemandirian ekonomi. Hal ini diinterpretasikan sebagai kebijakan luar negeri penuh pragmatisme, dengan memprioritaskan hubungan bilateral dan mengejar kemitraan strategis yang sejalan dengan tujuan ekonomi dan keamanan Indonesia.

Dalam hubungan dengan negara besar, Prabowo mungkin akan berusaha memperkuat hubungan dengan kekuatan adidaya seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan kekuatan regional seperti Australia, Jepang dan India, sambil menjaga pendekatan seimbang untuk menghindari ketergantungan berlebihan pada satu negara pun. Kerja sama ekonomi, investasi, dan kemitraan keamanan kemungkinan akan menjadi area utama dalam hubungan kerja sama dengan negara-negara sahabat.

Dalam konteks pertahanan, Prabowo menegaskan bahwa fungsi utama negara adalah melindungi kedaulatan dan keamanan bangsa. Dalam dunia yang terus berubah, tantangan pertahanan pun semakin kompleks. Maka kebijakan yang telah dilakukan tetap berlanjut dengan diplomasi pertahanan ke beberapa negara sahabat secara bilateral sesuai dengan perlindungan kepentingan nasional itu. Namun patut dicermati apakah pemerintahan Prabowo akan mengeluarkan kebijakan strategis dalam politik luar negeri dan pertahanan.

Selama menjabat Menteri Pertahanan dalam periode 2019-2024, Prabowo tidak pernah mengeluarkan Buku Putih Pertahanan. Padahal kebijakan strategis ini penting untuk mengukur sampai sejauh mana Indonesia bergerak dalam pembangunan postur pertahanan, strategi pertahanan dan bagian mana yang masih perlu ditingkatkan. Tanpa Buku Putih Pertahanan, masyarakat domestik dan luar negeri tidak bisa mengikuti arah kebijakan luar negeri dan pertahanan secara transparan. Tentu saja ini menyisakan ketidakjelasan dalam strategi pertahanan nasional, serta mengurangi tingkat keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan terkait pertahanan negara.

Jadi seharusnya Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Buku Putih Pertahanan dipersiapkan sejak dini agar masyarakat luas bisa melakukan evaluasi kebijakan luar negeri dan pertahanan negara secara lebih terbuka dan transparan selama lima tahun ke depan. Tanpa kedua Buku Putih ini arah kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan terlihat kehilangan pedoman yang resmi.

Buku putih harus memuat poin-poin kepentingan nasional yang lebih rinci, misalnya; seperti akses terhadap ekspor komoditas di luar negeri, perlindungan warga negara, perlindungan sumber daya alam, perlindungan wilayah laut (perbatasan), menciptakan perdamaian di kawasan Asia Tenggara, dan lainnya.

Dengan mencantumkan kepentingan nasional secara rinci akan dapat mengukur sampai sejauhmana implementasi kebijakan luar negeri dan pertahanan dalam memperjuangkan tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan rakyat sesuai pembukaan konstitusi UUD 1945. Apalagi Prabowo selalu menyoroti soal kesejahteraan rakyat dan perlindungan kedaulatan bangsa dalam pidato visi dan misinya di debat ketiga. Sehingga keseriusan Prabowo soal kepentingan nasional dipertaruhkan dan sangat dinanti dalam perumusan dan pembuatan dokumen kebijakan strategis ini.      

Akhir kata, dengan terfokus pada kepentingan nasional yang eksplisit dan menjalin hubungan internasional yang saling menguntungkan, sangat diharapkan Indonesia terus berperan sebagai pemain penting dalam panggung geopolitik global. Tanpa mengurangi status Indonesia sebagai negara kekuatan menengah di kawasan Asia Timur. [  ]

*Beni Sukadis adalah konsultan bidang keamanan Marapi Consulting & Advisory.


[1] Megaphone diplomacy atau diartikan diplomasi yang berisik. Maksudnya Indonesia tidak mau terlibat suatu hubungan yang saling protes secara terbuka di publik terkait isu dan masalah politik antara dua negara. Indonesia lebih menyukai diplomasi yang tertutup (red; diam-diam) dalam menyikapi persoalan yang ada daripada diplomasi terbuka. Hal ini sudah makin nampak ketika Presiden Jokowi mengundang investor Cina besar-besaran ke Indonesia, yang berdampak pada sikap Indonesia yang lebih hati-hati terkait sengketa dengan negara Cina (Sukadis, 2022).  

Exit mobile version