Dan lagu itu kembali datang menolong. Menyatukan semangat, menguatkan tekad hingga tuntutan pun menggumpal pejal. “Hentikan jangan diteruskan. Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang. O o ya, o ya, o ya Bongkar!”
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Bandung pertengahan 1990-an. Segera setelah salawat badriyah berhenti mengalun, lautan manusia itu mulai menyuarakan sebuah lagu. Awalnya mengggeremang dari satu sudut Lapangan Gasibu itu. Lalu dengan pasti, seolah ombak yang menyapu ke tepi, beribu suara menemukan teman, bergabung berlipat kali. Bahananya menggelegar, memaksa setiap orang, lelaki perempuan, mengacungkan kepalan tangan.
“Kalau cinta sudah dibuang. Jangan harap keadilan akan datang...” Tiga bulan kemudian, setelah aksi-aksi itu berlanjut ke seluruh negeri, sebuah produk pemerintah, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), dibunuh pembuatnya sendiri.
Jakarta 1998. Tak hanya di halaman, seluruh areal tempat gedung wakil rakyat itu berdiri dipenuhi ratusan ribu pasang kaki. Entah sudah berapa hari mereka bergantian meneriakkan orasi yang lama-lama berisikan kata-kata yang kian basi. “Diktatorisme harus mati hari ini. Kami tak sudi lagi!”
Dan lagu itu kembali datang menolong. Menyatukan semangat, menguatkan tekad hingga tuntutan pun menggumpal pejal. “Hentikan jangan diteruskan. Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang. O o ya, o ya, o ya Bongkar!” Lalu pada 21 Mei, rezim yang selalu berkacak pinggang dan tak henti menudingkan telunjuk itu pun jatuh.
Tentu saja berlebihan bila menganggap lutut Orde Baru tertekuk hanya karena sebuah lagu. Tetapi bagaimana pun, sukar menampik peran ‘Bongkar‘ pada semua itu. Lagu itu selalu hadir di setiap aksi protes.
Nyaris tak ada demonstrasi jalanan zaman itu yang alpa meneriakkannya. Bahkan bukan itu. Sejatinya, barangkali lagu itu pula yang turut menyemai benih-benih aksi protes itu sendiri. Menyatukan aneka tuntutan menjadi lebih padu dan sederhana. Memberi segala keluhan dan protes-protes itu ritme hingga berirama. Menarik orang untuk merasakan getaran senada dan bergabung serta.
Karena itu, bila majalah musik yang kini telah mendiang, Rolling Stone Indonesia, menobatkannya di puncak “150 Lagu Indonesia Terbaik”, rasanya tak berlebihan. Tidak hanya karena perannya dalam sejarah, tetapi sebagai sebuah lagu pun, ia enak didengar banyak telinga.
Barangkali, Orde Baru sesungguhnya jatuh karena dirinya sendiri. Karena kelalaiannya mendengar kehendak rakyat. Istimewanya, dalam kasus ‘Bongkar‘, karena penguasa melakukan pengekangan yang kemudian melahirkan ‘Bongkar‘ sendiri. Kita tahu, saat Iwan Fals tengah gandrung menyanyikan lagu-lagu cinta pada Konser Seratus Kota ‘Mata Dewa’, di akhir era 1980-an itu, larangan itu datang. Padahal kalaupun Iwan mengkritik, saat itu lontaran-lontarannya masih terlalu simbolis.
Karena merasa ditelikung itulah, justru Iwan marah. Pada rekan-rekannya, Sawung Jabo, almarhum Innisisri, almarhum Naniel, almarhum Rendra, dan almarhum Nanoe, Iwan berlabuh. Bukan untuk menjadikan hatinya teduh, pertemuan dengan para idealis itu justru membuncahkan kreativitas.
Lahirlah ‘Bongkar’, ‘Bento’ dan lagu-lagu protes lainnya. Kita kemudian sama melihat, ada yang berubah pada protes-protes Iwan. Ia, setelah pelarangan itu, berani menohok langsung sasaran.
Kini, di masa ‘ketidakpastian dan keserakahan’ itu masih saja tegak, akankah ‘Bongkar!” kembali menjadi penanda semua untuk bergerak? Akankah ia kembali mengguratkan peran besar menandai jatuh dan bangunnya sebuah orde? Dan yang paling penting, masih adakah orang-orang yang terharu melihat ke lantai, kepada saudara-saudara mereka yang hidup di bawahnya?
Masihkah ada yang lalu tersadar dan berkata,
“Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oo ya, oh ya, bongkar!” [ ]
*Rekaulang sebuah tulisan lama