Site icon Jernih.co

Bupati Aceh Selatan Umrah di Saat Rakyat Menanggung Musibah

Apa jadinya jika nahkoda meninggalkan kapal di tengah terpaan badai yang belum sirna, di saat air mata penumpangnya belum pula kering?

JERNIH –  Aceh Selatan berduka. Saat air mata membanjiri rumah, lumpur menyelimuti harta benda, dan jerit keputusasaan menggema di pengungsian, sosok yang seharusnya menjadi nahkoda kapal di tengah badai—Bupati Mirwan MS—justru memilih mengejar pahala spiritual ribuan kilometer jauhnya.

Kabar keberangkatan Umrah pada Selasa, 2 Desember 2025, bersama istri dan keluarga—hanya berselang lima hari setelah Pemkab menerbitkan surat resmi “ketidaksanggupan” menangani bencana yang menerjang 11 kecamatan—bukan sekadar berita, melainkan cermin retak yang menunjukkan krisis multidimensi: krisis empati sosial, krisis prioritas keagamaan, dan krisis integritas kepemimpinan.

Kendati pun situasi tanah Aceh Selatan berangsur membaik, namun bukankah duka masih menyelimut, sementara air mata masih belum pula mengering. Bencana banjir bandang di Aceh terlalu dalam hingga perlu waktu untuk membuat hati kembali merasa tenteram.

Hingga keberangkatan Pak Bupati, data faktual dan resmi dampak banjir bandang di Aceh Selatan belum pula lengkap. Yang terang ada 11 kecamatan yang terdampak bencana.

Kepemimpinan adalah tugas melayani, bukan dilayani. Dalam konteks bencana, kehadiran fisik pemimpin di lokasi adalah vitamin moral bagi para korban, relawan, dan seluruh aparat. Ia bukan hanya simbol, tetapi penentu kecepatan birokrasi, pendorong semangat, dan titik sentral koordinasi.

Maka keputusan untuk memprioritaskan ritual pribadi di saat tanggung jawab profesional berada pada puncaknya adalah kegagalan paling mendasar dari sebuah jabatan publik: kegagalan untuk merasakan penderitaan rakyat. Keputusan ini mengirim pesan brutal bahwa ritual pribadi jauh lebih berharga daripada nyawa dan penderitaan kolektif warganya.

Aceh adalah Serambi Mekah, tempat piety (kesalehan) adalah nilai inti. Namun, keputusan Umrah ini memicu kritik tajam dari kacamata agama itu sendiri. Dalam ajaran Islam, berbakti kepada sesama (terutama yang tertindas dan terkena musibah) seringkali memiliki derajat Fardhu Ain (kewajiban individual mendesak) atau Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) yang mendahului ibadah sunnah seperti Umrah.

Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa ibadah terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Apakah tawaf di Ka’bah lebih mulia daripada memastikan anak-anak di pengungsian mendapat selimut dan makanan, atau memimpin evakuasi warga yang terjebak? Pahala sejati seorang pemimpin bukan terletak pada berapa kali ia mencium Hajar Aswad, melainkan pada seberapa kering air mata rakyatnya berkat kepemimpinan yang adil dan tanggap.

Seorang pemimpin yang gagal menjalankan amanah kemanusiaan di depan mata, namun bergegas mencari ampunan di tanah suci, menunjukkan pemahaman agama yang dangkal dan terdistorsi. Agama adalah pelayanan, dan pelayanan adalah ibadah tertinggi.

Secara politik, keputusan ini menghancurkan akuntabilitas dan kepercayaan. Meskipun ada pendelegasian tugas, di mata publik, hanya Bupati yang memiliki mandat dan otoritas tertinggi untuk membuat keputusan cepat, memobilisasi sumber daya besar (termasuk anggaran tak terduga), dan memimpin proses pemulihan psikologis pasca-bencana.

Bupati pergi Umrah  akan tercatat dalam sejarah Aceh Selatan, bukan sebagai pencapaian spiritual, melainkan sebagai noda kepemimpinan. Ini adalah ironi yang menyayat hati: mencari berkah Tuhan di Jazirah Arab, sambil meninggalkan tugas suci kemanusiaan di tanah sendiri.

Publik dan warganet di media sosial menunjukkan reaksi keras dan kehebohan setelah foto-foto Bupati Mirwan di Tanah Suci beredar. Reaksi ini mencerminkan pertanyaan besar mengenai prioritas dan tanggung jawab seorang pemimpin di tengah bencana.

Heriadi, Ketua Umum PC Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Aceh Selatan, mengecam keras keputusan Bupati. Ia menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak dapat diterima dan menegaskan bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan bantuan logistik, tetapi juga kehadiran pemimpinnya dalam penanganan bencana.

Anda boleh mengibarkan bendera putih atas ketidakmampuan menyelesaikan persoalan. Tetapi jangan sekali-kali menghilang, meninggalkan rakyat yang tengah kesulitan, dengan dalih apapun.(*)

BACA JUGA: Anomali Iklim dan Deforestasi yang Saling Berkaitan di Balik Bencana Sumatera

Exit mobile version