Artinya rancangan Perpres ini masih banyak celah yang membuat TNI bisa beroperasi tanpa melalui pertanggungjawaban politik yang jelas.
Oleh : Beni Sukadis*
Pada pertengahan Mei 2020, pemerintah mengajukan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR RI. Perpres ini subtansinya mengatur TNI dalam penindakan terhadap terorisme yaitu dengan melakukan penangkalan, penindakan dan pemulihan.
Sementara itu, dalam tata aturan perundangan sebenarnya Perpres tidak perlu persetujuan DPR, tapi pemerintah baru kali ini mengajukan ke lembaga perwakilan rakyat. Mungkin ada pertimbangan yang tertentu agar perpres ini tidak mendapat tentangan dari partai politik dan masyarakat. Sehingga dukungan DPR diperlukan pemerintah untuk menghadapi kritikan masyarakat.
Secara umum perpres ini akan memberikan mandat pada TNI agar bisa terlibat dalam mengatasi aksi terorisme. Selama ini Indonesia menggunakan UU Anti terorisme No. 15/2003 dan direvisi dengan UU No. 5/2018 tentang Penetapan Peraturan pemerintah pengganti UU No. 15/2003 untuk mengatasi Tindak Pidana Terorisme. Sesuai UU yang sudah mutahir ini, intitusi yang diberikan kewenangan sejak UU tahun 2003 hingga UU revisi ini, dalam mengatasi aksi terorisme adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Namun, kalau dilihat lebih detail Perpres ini cukup bermasalah dan cenderung tumpang tindih dengan tugas dan fungsi kepolisian.
Terutama pasal 2 dan 3, yang mana pasal 2 khususnya ayat (2) “Dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) TNI melaksanakan fungsi meliputi: a.
penangkalan; b. penindakan; dan c. pemulihan.” Ayat 1 poin a menyatakan TNI dapat terlibat dalam mengatasi aksi terorisme melalui fungsi penangkalan. Dalam upaya penangkalan ini dikuatikan TNI akan melakukan tugas yang tumpang tindih dengan kepolisian.
Mengapa, karena sebagaimana disebutkan diatas Polri adalah institusi utama yang menghadapi ancaman terorisme. TNI akan bertugas sebagai aparat yang memberikan bantuan pada Polri sesuai dengan UU no. 34/2004 tentang TNI.
Secara lebih detail di pasal 3 Perpres menjelaskan tentang tugas penangkalan sebagai : a. kegiatan dan/atau operasi intelijen; b. kegiatan dan/atau operasi teritorial; c. kegiatan dan/atau operasi informasi; dan d. kegiatan dan/atau operasi lainnya. Dengan penjelasan soal penangkalan ini, membuat publik bertanya apa dan bagaimana pertanggungjawaban TNI dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) dan apakah benar ancaman terorisme masih tinggi saat ini.
Pertanggungjawaban setiap operasi TNI sangat penting setelah reformasi 22 tahun karena TNI saat ini berdasarkan UU No. 3/2002 dan UU no. 34/2004 tidak bisa menugaskan diri sendiri seperti jaman Orde Baru. TNI saat ini berada dibawah koordinasi menteri pertahanan dan/atau otoritas sipil yang dipilih secara demokratis. Semua keputusan politik berada di tangan Presiden/Menhan (otoritas sipil) dan TNI hanya menjalankan keputusan tersebut secara konsekuen. Artinya, sejak reformasi TNI dalam tata kelola bidang keamanan (Security sector governance) hanya menjalankan prinsip-prinsip supremasi sipil. Terutama soal pembagian tugas yang tegas antara otoritas politik (presiden/menteri) yang memutuskan kebijakan politik dan otoritas operasional (TNI dan Polri) yang menjalankan perintah tersebut.
Untuk mengingatkan lagi soal prinsip supremasi sipil, maka penjelasan berikut ini tetap relevan; pertama, ada pembagian peran yang jelas antara otoritas politik dan otoritas pelaksana/operasional; kedua, doktrin militer yang mengakui secara jelas supremasi sipil; ketiga, Pengawasan internal dan eksternal yang efektif terhadap aktor keamanan; keempat, reorganisasi aktor keamanan menjadi lebih professional yang tadi tertutup atau menjadi kepanjangan tangan rejim.
Intinya prinsip-prinsip ini menjelaskan suatu proses yang transparan dan ada pertanggungjawaban yang konkret (accountability) dalam tata Kelola keamanan yang mengatur para pemangku kepentingan (stake holders).
Sesuai tata Kelola keamanan yang transparan dan akuntabel, maka penugasan TNI yang diatur dalam perpres seharus mengacu pada prinsip ini. Pembagian tugas antar-aktor keamanan penting agar penugasannya tidak sia-sia dan terjadi tumpang tindih di antara TNI dan Polri, atau bahkan intelijen. Seperti operasi intelijen dalam mengatasi terorisme yang dilakukan TNI sesuai perpres (pasal 3 poin a), yakni bagaimana dan ruang lingkup seperti apa, serta apa yang membedakan dengan fungsi intelijen Polri dan BIN. Dengan semua pertanyaan ini, penulis belum mendapatkan jawaban pasti.
Selain itu pasal 3 poin d. kegiatan dan /atau operasi lainnya. Poin ini membuka celah bagi kegiatan operasi yang tidak jelas bagi TNI, dan ini sangat berbahaya bagi tata Kelola keamanan dan juga perlindungan masyarakat. Yang sangat fatal justru pasal 2 dan 3 ini tidak menyebutkan soal pengawasan politik dan pertanggungjawaban operasi. Ketiadaaan pengawasan internal dan ekstenal dalam operasi TNI jelas melanggar prinsip supremasi sipil seperti dipaparkan di atas.
Artinya rancangan Perpres ini masih banyak celah yang membuat TNI bisa beroperasi tanpa melalui pertanggungjawaban politik yang jelas. Perlu dilakukan revisi Perpres secara seksama terhadap pasal-pasal yang membuka ruang dan kesempatan bagi TNI agar tidak berlaku seperti pada masa lalu. Walalhualam..[ ]
Beni Sukadis adalah pengamat Keamanan Nasional dari Semper Fi Institute, Jakarta.