Tak sedikit anak-anak yang ikut numpang kerẻta api ke statsiun terdekat. Misalnya, ke Leuwigoong, yang hanya berjarak kurang lebih 5 km. Pulangnya jalan kaki. Melintasi jembatan kerẻta api yang melintang di atas sungai Cimanuk.
Olẻh : Usẻp Romli HM
“Ngabuburit” identik dengan bulan Ramadan. Berjalan-jalan hingga terdengar bedug magrib berbunyi. Tanda berbuka puasa.
Bentuk dan cara “ngabuburit”, banyak mengalami perubahan. Sesuai perkembangan zaman. Pada masa-masa 40-50 tahun lampau, aktivitas “ngabuburit”, di perkampungan kebanyakan di luar rumah. Maklum belum ada alat hiburan ẻlẻktronik. Bahkan listrik juga belum ada.
Di kampung-kampung, tegalan menjadi salah satu pilihan paling cocok untuk ngabuburit. Orang-orang berkumpul di sana, sejak usai salat asar. Mengadakan anẻka macam kegiatan mengandung hiburan. Main layang-layang, sẻpak bola, dan lain-lain. Anak-anak melakukan anẻka jenis permainan yang melibatkan banyak orang. Seperti galah, ucing-ucingan, sasalimpetan. Oray-orayan, slẻpdur, dan lain-lain.
Begitu terdengar bunyi bedug bertalu-talu dari masjid terdekat, semua spontan bubar. Berlarian menuju rumah masing-masing. Menyantap sedikit penganan “tajil”, sekedar “ngabatalan”, sebelum salat magrib. Setelah salat, baru “buka” yang sesungguhnya. Makan nasi berikut lauk-pauk terbilang lengkap.
Saking asyik “ngabuburit”, perjalanan waktu yang lambat akibat pengaruh lapar dan dahaga, tidak terasa. Tahu-tahu sudah magrib saja.
Sawah juga dianggap cocok sebagai tempat ngabuburit. Apalagi jika padi masih baru ditanam. Atau menjelang “ngarambẻt” (menyiangi) pertama. Itu merupakan tempat yang tepat untuk memancing belut menggunakan “urek”. Belut perolehan “ngabuburit”, sangat tepat dijadikan lauk untuk berbuka atau makan sahur. Dijadikan “cobẻk” yang menggiurkan selẻra.
Para penggemar memancing, tentu saja pergi “ngabuburit” ke sungai. Menunggu saat berbuka sambil melempar umpan. Siapa tahu mendapat keberuntungan. Jika pun tidak, tidak apa-apa. Suasana sungai yang adem, tenang, sejuk meredakan kepenatan badan. Panorama sungai juga memiliki keindahan tersendiri. Apalagi jika “kawẻnẻhan” menyaksikan ikan-ikan besar ke luar dari lubang persembunyian mereka. Berenang berkelompok mengitari lubuk. Biasanya ikan-ikan liar itu muncul secara tak terduga, pada saat di langit sebelah barat, bersemburat cahaya lembayung. Sehingga disebut “ngalayung”.
Konon, banyak pemancing yang “kawẻnẻhan” menyaksikan pemandangan menakjubkan itu, terpukau. Berdiri atau duduk kaku bagaikan batu. Mereka tak mau bergerak. Takut menimbulkan suara gemerisik, yang akan membuat parade ikan liar itu bubar mendadak.
Takut kehilangan keindahan pemandangan yang sedemikian mempesona, dan jarang sekali terjadi. Kecuali yang “kawẻnẻhan” saja. Betapa tidak! Belasan atau puluhan ekor ikan berbagai warna dan ukuran, begitu asyik “ngalayung”. Berenang berbarengan di atas permukaan air lubuk. Menjelang lembayung lenyap di garis horison langit, mereka bubar. Menyelam kembali ke kedalaman lubuk. Masuk ke “sẻdong” tersembunyi tempat mereka hidup dan berkembang biak, terlindung dari ancaman para penjala dan pemancing.
Kebiasaan “ngabuburit” bukan hanya berlangsung di perkampungan saja. Di kawasan perkotaan juga, ternyata ada. Syarif Amin (1912-2002), dalam bukunya “Keur Kuring di Bandung” (1983), mengisahkan pegalaman “ngabuburit” di kota Bandung tahun 1930-an. Bersama kawan-kawannya berjalan beriringan atau bergerombol. Menjelajahi trotoar demi trotoar. Melihat-lihat ẻtalase toko demi ẻtalase yang memajang pakaian, sepatu, dll, sekadar memberi ciri, jika sudah punya pasti akan membeli di situ. Dengan cara begitu, tanpa terasa magrib tiba.
Atau berkumpul di alun-alun. Sambil menyulut petasan. Ketika magrib makin mendekat, kerumunan pindah ke depan pendopo. Ke dekat meriam “sundut”, yang akan dibunyikan menyusul suara bedug di kaum (masjid agung). Gelegar suara meriam, sebagai tanda buka puasa, terdengar ke seluruh pelosok kota.
Ada juga yang “ngabuburit” dengan nonton film “matinee” di bioskop sekitar alun-alun. Masih zaman film bisu. Pada bulan Ramadan, film “matinee” yang biasa diputar pukul kl.10 pagi, dialihkan menjad sore hari setelah asar, hingga tiba waktu berbuka.
Sedangkan Haryoto Kunto (1946-2004), penulis buku “Ramadan di Priangan” (1997), mengisahkan kegiatan “ngabuburit”di beberapa tempat di Priangan. Di Cibatu, Garut, tempat “ngabuburit” paling pavorit, adalah statsiun kerẻtaapi. Anak-anak berebutan menaiki lokomotif yang akan langsir, mundur maju. Masinis loko nampaknya memaklumi, sehingga tidak melarang anak-anak untuk menumpang, sekedar mengisi waktu “ngabuburit”.
Tak sedikit anak-anak yang ikut numpang kerẻtaapi ke statsiun terdekat. Misalnya, ke Leuwigoong, yang hanya berjarak kurang lebih 5 km. Pulangnya jalan kaki. Melintasi jembatan kerẻta api yang melintang di atas sungai Cimanuk.
Seiring perubahan zaman, kebiasaan “ngabuburit” juga ikut berubah. Sarana tontonan yang masuk hingga ke pelosok pedẻsaan, telah mengubah tradisi “kuno” itu. Sekarang “ngabuburit” tidak perlu pergi ke lokasi yang jauh-jauh. Cukup duduk-duduk saja di tengah atau ruang keluarga rumah masing-masing. Menonton aneka macam tayangan televisi yang lebih memikat dalam melewati waktu menunggu berbuka. Bahkan sajian tayangan, berlangsung terus-menerus, hingga dinihari. Makan sahur pun, yang dulu sunyi sepi, sekarang hiruk pikuk dengan acara-acara yang menarik. Kuis, lawak, di samping kajian keagamaan, menjadi ciri khas sahur Ramadan.
Apalagi, lokasi-lokasi yang dulu menjadi tempat “ngabuburit” sudah banyak yang hilang lenyap. Lapangan luas di pinggir kampung atau dẻsa, banyak yang sudah beralih fungsi. Menjadi komplẻks perumahan pertokoan, pasar swalayan, dan lain-lain yang serba komẻrsial. Tidak dapat lagi digunakan main layang-layang, permainan khas anak-anak, dan sejenisnya, yang serba bẻbas. [ ]
.