Aneka jenis ikan berhasil digaetnya. Ikan asli khas Sungai Cimanuk, seperti lalawak, balar, arelot, senggal, beureumpanon, genggehek, dan lain-lain.
Oleh : Usep Romoli H.M.
Kisah tentang Sungai Cimanuk seperti tak akan habis-habisnya. Sungai yang berhulu di Gunung Papandayan, Garut, dan bermuara di Laut Jawa, Kabupaten Indramayu itu begitu kaya dengan warisan budaya tak benda. Kisah fiksi, non-fiksi, mitos dan legenda, terus bermunculan bersama alirannya yang terbendung di Copong, Garut (2015) dan Jatigede, Sumedang (2016).
Penyair Dodong Djiwapraja (1927-2009), yang lahir di Kampung Pasiruncal, Banyuresmi, Garut, persis di sisi Sungai Cimanuk, merenungkan keunikan Sungai Cimanuk, dalam puisinya “Memancing di Kali Cimanuk”. Dimuat dalam buku kumpulan sajak “Kastalia” (1995). Buku yang diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra (1935-2008) itu, mendapat anugerah “Buku Utama” dari pemerintah RI tahun 1996.
Salah satu kisah menarik di Sungai Cimanuk, dialami oleh Mang Jumanta (1911-1980), penduduk Desa Majasari, Cibiuk, Garut. Satu dari sekian banyak narasumber folklore Kabupaten Garut, yang diwawancarai oleh Team Pengumpul Folklore Tahun Buku Internasional 1972 Indonesia-Unesco.
Ia seorang penggemar memancing di Sungai Cimanuk. Selain sering membawa hasil berupa ikan, juga tak pernah luput membawa kisah-kisah menarik yang ia ceriterakan kepada orang-orang yang berkumpul di gardu ronda kampungnya.
“Minggu lalu, pukul sembilan pagi, Emang turun ke Leuwi Geblug, di bawah jembatan gantung yang menghubungkan Cibiuk dan Cibatu. Baru saja umpan dicemplungkan, sudah ada yang menyambut. Terasa getarannya ke gagang joran. Emang sudah siap-siap, kalau ikan sudah benar-benar “nyanggut”. Menelan umpan.”
“Eh, tiba-tiba ada seekor monyet jatuh dari pucuk bambu. Diikuti seekor lagi. Terus mereka bergumul di dekat tali pancing Emang. Tentu saja ikan yang Emang harapkan, kabur. Terganggu oleh monyet yang timbul tenggelam di situ.”
“Rupanya monyet itu sedang pengantin. Mereka saling kejar di pucuk bambu, terus menjatuhkan diri ke air dan bercumbu sambil berenang-renang.”
“Tiba-tiba Emang merasa kesal. Emang ambil sebutir batu sebesar ibu jari kaki. Dilemparkan ke monyet itu. Peletak! Kena ke kepala yang seekor. Ia menjerit, terus tenggelam. Monyet yang satu lagi, berbalik menatap Emang. Kemudian menyelam. Muncul lagi membawa pasangannya yang kena lempar. Ia membopongnya dan menggeletakkannya di atas pasir di seberang leuwi. Sambil terus menjerit-jerit.“
“Tiba-tiba berdatangan belasan ekor monyet. Merubung yang tergeletak. Monyet yang tadi melompat-lompat sambil menunjuk-nunjuk ke arah Emang. Mungkin melaporkan kejadiannya.”
“Monyet-monyet yang baru datang itu, semua menghadap ke arah Emang. Mengacung-acungkan tangannya seolah-olah mengancam, karena Emang telah menganiaya salah seorang warganya. Beberapa ekor turun ke lubuk dn berenang menuju Emang. Sementara dari pohon-pohon sekitar leuwi, berdatangan monyet-monyet lain. Termasuk dari pohon-pohon yang berada dekat Emang memancing.”
“Melihat gelagat itu, Emang segera bangkit. Melarikan diri ke arah kampung di atas. Hanya sekejap ratusan moyet sudah merubung di tempat bekas Emang tadi duduk. Mereka mematahkan joran, melemparkan umpan dan keruntung ke sungai. Kaneron berisi bekal nasi timbel, mereka aduk-aduk. Kemudian mereka mengejar Emang yang sudah berada di atas tebing. Lari tak karuan. Masuk ke dalam masjid. Bersembunyi di sana. Terdengar suara hiruk pikuk monyet mendekat. Untung ada beberapa orang kampung menghalaunya dengan berbagai alat pemukul. Jika tidak, dan mereka menemukan Emang di persembunyian, entah apa yang akan terjadi.”
“Sejak hari itu, Emang berhenti memancing. Baru turun lagi setelah diajak beberapa orang. Kalau sendirian, Emang tak mau lagi.”
Kisah serupa dituturkan Abah Uham (1920-1993), penduduk Sasakbeusi, Kecamatan Limbangan, Garut. Ia pernah memancing di Sungai Cimanuk, kawasan Cipasang, Cibugel Kabupaten Sumedang. Ia sangat beruntung. Hanya dalam tempo satu dua jam, sudah berhasil mendapat ikan cukup banyak. Dimasukkan ke dalam “korang” (keruntung) cukup besar.
Aneka jenis ikan yang berhasil digaetnya. Ikan asli khas Cimanuk, seperti lalawak, balar, arelot, senggal, beureumpanon, genggehek, dan lain-lain. Terbayangkan oleh Abah Uham, ikan-ikan itu sebagian dipais (pepes), sebagian dicobek pakai bumbu oncom, cikur, jahe, dll. Sedap dicocol dengan nasi “pulen”.
Saking asyiknya memancing, ia tak mendengar suara azan duhur. Begitu pula azan asar. Ia lupa salat karena tak mau meninggalkan pancing yang selalu “clom giriwil”.
Baru sadar setelah hari mulai gelap. Ia segera bangkit. Membereskan alat-alat pancing. Kemudian mengambil keruntung yang tentu saja sudah penuh oleh ikan hasil pancingan.
Namun betapa ia terkejut. Begitu akan merengkuh keruntung, tampak wadah itu penuh dengan babakkaur (di sebagian daerah Jabar disebut :babah kaur—redaksi Jernih) . Serangga berbisa, yang sengatannya mematikan. Ke mana ikan-ikan hasil tangkapan sejak pagi hingga senja? Habis dilahap binatang melata yang berbahaya itu. Ludes hingga tulang-tulangnya. Keruntung yang sempat dipenuhi ikan, penuh sesak dengan binatang berbisa berwarna merah padam itu. Bulu kuduk Abah Uham meregang. Ia berkali-kali begidik.
“Jelas itu hukuman langsung bagi Abah yang sengaja meninggalkan salat karena terlena memancing ikan di Cimanuk,”keluhnya penuh sesal. [ ]