Rumors bahwa menteri yang di kalangan para vendor dan peserta proyek-proyek Kemen Kominfo disebut sebagai “Cirebon” itu segera dicabut dari Kabinet Indonesia Maju bahkan telah bergaung sejak pekan pertama bulan lalu. Itu pula yang mendasari merebaknya isu reshuffle kabinet yang faktanya senantiasa “tar-sok, tar-sok” itu. Oh ya, mengapa Menteri Johnny konon mendapat sebutan “Cirebon”? Cobalah lihat apa pelat nomor kendaraan kota tersebut? “Plat-E”, bukan?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Ternyata, meski dunia pers—sebagaimana juga dikatakan Presiden—tidak sedang baik-baik saja, ia masih bisa memberi manfaat kepada Menkominfo, Johnny G Plate. Kamis lalu Menteri Johnny batal diperiksa Kejaksaan Agung dengan alasan yang kuat: mendampingi Presiden Jokowi pada acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Medan, Sumatera Utara.
Tetapi sampai kapan salah satu anggota kabinet Jokowi-Ma’ruf Amien, kader partai politik yang seolah mulai disangsikan loyalitasnya kepada Jokowi itu, NasDem, bisa ‘kipas-kipas santai’? Mungkin kurang dari sepekan. Karena pada 14 Februari nanti, di saat para anak muda—kecuali para jomblowan-jomblowati–rata-rata bersuka ria memperingati Hari Valentine, Menteri Johnny besar kemungkinan tengah gelisah dicecar sekian banyak pertanyaan.
Apalagi Kejaksaan Agung pun terlihat tidak ragu mengeluarkan tengara. Kemarin (9/2), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, bicara soal kemungkinan Johnny menjadi tersangka. Menurut Ketut, tidak ada alasan bagi Kejagung untuk tidak menjerat Menteri Johnny manakala alat bukti tersedia. “Sepanjang alat bukti itu cukup, tidak ada alasan untuk tidak menjerat Menkominfo,”kata Ketut, tegas.
Rumors bahwa menteri yang di kalangan para vendor proyek-proyek Kemen Kominfo disebut sebagai “Cirebon” itu segera dicabut dari Kabinet Indonesia Maju bahkan telah bergaung sejak pekan pertama bulan lalu. Itu pula yang mendasari merebaknya isu reshuffle kabinet yang faktanya senantiasa “tar-sok, tar-sok” itu. Oh ya, mengapa Menteri Johnny konon mendapat sebutan “Cirebon”? Cobalah lihat apa pelat nomor kendaraan kota tersebut? “Plat-E”, bukan?
Barangkali memang Presiden Jokowi ingin bermain halus. Tak hendak mengaitkan reshuffle menjadi isu loyalitas partai-partai pendukungnya di masa lalu. Mencabut seorang menteri dari kabinet karena yang bersangkutan terkait masalah hukum, selalu terkesan lebih elegan. Tapi tentu saja, itu sekadar datang dari common sense.
Tetapi secara common sense pula, dalam prediksi memang bisa dikatakan “Cirebon” akan sulit mengelak jerat yang dipasang Kejagung. Selama ini, lembaga penegakan hukum itu telah memeriksa lebih dari 60 saksi.Hingga kini penyidik melakukan pencegahan pada 23 orang untuk keluar negeri, guna memudahkan proses penyidikan. Apalagi Kejagung pun telah memeriksa Inspektur Jenderal Kominfo, Doddy Setiyadi; Sekretaris Jenderal Kominfo, Mira Tayyiba; Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pengerapan; dan Dirjen Informasi Komunikasi Publik (IKP), Usman Kansong. Tak tanggung, Kejagung melakukan upaya paksa penggeledahan di kantor Kominfo dan kantor PT Adyawinsa Telecommunication & Electrical, tempat tim menyita sejumlah dokumen dan barang elektronik untuk bukti.
Jadi buat apa Kejagung merasa perlu memeriksa Menteri Johnny bila tak ada hal-hal yang harus dikonfirmasi dari info siapa pun dari ke-60 orang sebelumnya?
Sejatinya, sangat wajar bila dana-dana non-budgeter seperti Universal Service Obligation (USO) di Kemen Kominfo, rawan dijadikan bancakan para tikus. Dana-dana seperti itu tentu tak semuanya harus dihapus. Ingat dana non-budgeter yang dihimpun Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila-nya Pak Harto yang bisa membangun sekian banyak tempat ibadah di seluruh pelosok Indonesia? Yang penting, tentu saja, transparansi yang jernih dan jujur kepada publik, terutama mereka yang berkontribusi.
Pengumpulan dana USO sendiri dilandasi niat baik dan alasan yang masuk akal. Dana yang telah ada sejak sebelum naiknya Johnny sebagai menteri itu direncanakan untuk mensubsidi tarif internet, khususnya bagi operator yang beroperasi di kawasan Indonesia Timur. Dana USO dihimpun dari pendapatan kotor operator sebesar 1,25 persen. Perolehan dana tersebut dikelola BAKTI Kominfo untuk membangun akses telekomunikasi, terutama di wilayah-wilayah terpencil, terluar, dan terdepan (3T) yang tidak digarap operator karena dinilai tidak menguntungkan. Sektor-sektor yang mendapatkan akses pelayanan dari sarana telekomunikasi itu meliputi pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan pos lintas batas negara, serta sentra-sentra usaha kecil dan menengah (UKM).
Pada awal 2014 lalu, dana yang terkumpul telah mencapai Rp 5 triliun. Pada 2018 lalu dana itu ditargetkan mencapai Rp 2,7 triliun.
Tentang proyek BTS Kominfo yang dibiayai dana tersebut, Kata Data menulis bahwa proyek itu rencanya disiapkan untuk 9.113 desa dan kelurahan, mulai 2020 lalu. Saat itu Johnny mengatakan, terdapat 12.548 desa dan kelurahan di Indonesia yang belum dapat mengakses internet dengan baik. Adapun 9.113 desa yang akan dibangunkan tower BTS-nya oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo, masuk ke dalam klasifikasi 3T di atas. Pada 2020 rincian targetnya dibangun di 1.209 desa, 2021 sebanyak 4.200 desa, dan 2022 sebanyak 3.704 desa. Oh ya, pada 2021 BAKTI Kominfo berkomitmen untuk membangun total 7.904 BTS 4G di wilayah 3T itu.
Persoalannya, banyak pihak melihat Proyek BTS Kominfo itu dalam pelaksanaannya menimbulkan aneka kejanggalan. Ketika Kejaksaan memulai penyelidikan mereka pada Agustus 2022, dugaan adanya tindak pidana pun segera mencuat. Selebihnya, kasus tersebut telah bergulir seperti kita pirsa di media massa.
Semua bermula dari transparansi yang (dibuat) alpa. Sebagaimana pernah dikatakan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, Januari lalu, BAKTI telah membuat transparansi semacam barang langka.
Itu, kata Arif saat itu, termasuk progres capaian pembangunan BTS yang dilakukan BAKTI Kominfo. “Karena seluruh penyelenggara jasa telekomunikasi memberikan sumbangan USO, ke depannya APJII secara intens dapat dilibatkan dalam perencanaan dan pembangunannya bersama stakeholder yang lain,” kata Arif, saat itu. [INILAH.COM]