Site icon Jernih.co

Dari Dukun ke Makam Keramat [2] Sesajen versus Klenik

Falsafah Kejawen, mengajarkan menjadi manusia secara utuh. Dia menolak keras tindak kemaksiatan yang jauh lebih luas lagi.

JERNIH– Beberapa hari terakhir, ramai di media sosial dan pemberitaan tentang seorang lelaki berkain sarung dan berpeci, membuang serta menendang sesajen yang disuguhkan di lereng Gunung Semeru. Bupati Lumajang, sebagai pemimpin di kawasan tersebut mengatakan, hal ini memang biasa lakukan warga setempat setiap kali tragedi atau bencana terjadi.

Ini artinya, sudah jadi kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang hingga menjadi sebuah tradisi warga setempat. Terlepas dari apa agamanya.

Saya pernah salah sangka habis-habisan memandang Kejawen sebagai ajaran sesat. Dengan dupa dan puja-puji terhadap makhluk gaib, saya kira cuma sampai situ ajarannya. Belakangan saya memandangnya sebagai falsafah orang Jawa dalam mengarungi hidup. Dasarnya empati dan simpati. Ya kepada orang lain, alam, hewan, juga diri sendiri guna mencapai puncak spiritualitas yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Di awal tahun 2000, kira-kira antara tahun 2005-2006, saya memulai perkenalan dengan falsafah Kejawen. Saat itu, adik laki-laki ibuku menikah dengan gadis Slawi, Jawa Tengah. Di malam menjelang pernikahan, keluarga calon istri omku menyuguhkan sesajen di pojok sebuah kamar. Ada kopi hitam, rokok kretek, beberapa jenis panganan, serta menyan yang dibakar dalam dupa.

Awalnya saya mengira keluarga itu tengah melakukan pemujaan terhadap roh leluhur seperti yang disebutkan dalam sebuah mata pelajaran saat duduk di bangku SMA. Calon mertua omku bilang, tidak begitu maksudnya. Mereka menghormati leluhur namun tak memuja layaknya Tuhan.

“Ya saya sadar kalo saya ini punya leluhur. Cuma saya ga kenal namanya, saya ga kenal rupanya, saya juga ga tahu kesenangannya (apa yang dia gemari dalam hal pangan dan minuman) apa. Saya ga tahu itu. Yang saya tahu kalau saya punya leluhur dan saya harus menghormatinya.

Saya tahu saya manusia, pasti punya kelemahan. Makanya akhirnya saya ukur apa yang leluhur saya senangi berdasarkan apa yang saya tahu. Saya suka rokok, kopi dan makanan-makanan kecil. Ya saya suguhkan itu. Mungkin juga leluhur saya juga suka kopi, suka rokok. Kalau kita peringati si mbah yang sudah meninggal dan saya sempet kenal kan, saya tahu apa yang dia senangi. Kan saya sering liat dia sering ngapain.

Kalau kira-kira hajatnya besar dan rejekinya juga ada, ya saya suguhkan yang besar-besar juga kaya makanan yang kita suguhkan di hajatan nikah om-mu itu. Kan semua orang pasti suka makanan-makanan itu. Jadi kamu jangan salah sangka dulu,” begitu kira-kira penjelasan calon bapak mertua pamanku.

Di sisi lain, saya bertanya-tanya. Apakah itu tidak mubadzir ? Tapi sayangnya ini bukan lagi berkutat pada persoalan mubadzir atau tidaknya.

Anda jatuh cinta kepada pasangan bahkan lebih mendalam lagi, katakanlah terlanjur sayang. Apa anda enggan mengorbankan sedikit dari apa yang bisa dinikmati untuk menunjukkan rasa sayang dan hormat?

“Kalau tak punya kemampuan misalnya ga ada duit, ya jangan dipaksakan. Tapi apa mungkin namanya kita mau hajatan ga punya duit buat nyuguh sesajen ini ?” kata calon bapak mertua omku lagi.

Dia memang meminta tolong kepada leluhurnya agar ikut mendoakan hajat bisa terlaksana dengan sukses. Sebab dalam keyakinannya, orang yang sudah meninggal bisa mendoakan orang hidup, hanya saja dia tak bisa mendoakan dirinya sendiri.

Ada keyakinan kuat kalau doa yang dipanjatkan bakal dikabulkan. Hanya saja, meski optimis dia tidak mau tergesa-gesa kalau semua yang dia mintakan segera dikabul.

“Ya ndak-lah mas. Usia saya kan ga tahu sampe kapan. Kalo semua dikabulkan hari ini atau besok, ya habis dong jatah rejeki saya. Nanti saya hidup pake apa kalo ndak ada kasih sayang Tuhan?” kata dia.

Hajatan sudah selesai. Panggung Orkes Dangdut yang tingginya sekitar dua meter pun sudah selesai dirapihkan. Tinggal sisa meja tamu juga bangku saja yang belum diambil pemiliknya. Saya masih bertahan di rumah keluarga itu. Kebetulan, salah satu anak lakinya menjadi teman akrab selama di sana.

Malam selepas Isya kira-kira pukul 20.00 WIB, mertua omku memanggil duduk bergabung di ruang tamu. Setelah membuka obrolan yang saya yakin betul isinya basa-basi, dia mulai membahas lagi pertanyaan saya malam sebelumnya soal sesajen.

Dalam berhubungan dengan leluhur, dia bilang ada koneksi batin yang dia yakin betul sudah terjalin. Sebab dia manusia yang punya perasaan, begitu pun leluhurnya.

Dia juga yakin kalau permintaannya sudah didengar kemudian dipanjatkan lagi kepada Tuhan. Sebab menurut pandangannya, sang lelulur pasti senang kalau dia sebagai keturunannya mengingat, mendoakan dan menyuguhkan sesajen sebagai penghormatan.

“Pacaran saja kalau ga ada saling memberi dan ga percaya, ya ga bakal berhasil hubungannya. Itu bentuk kasih sayang dalam keseharian lho. Saya sayang leluhur saya dan menghormatinya. Rasanya dia juga sayang kepada saya,” demikian katanya.

“Kamu tertarik pelajari ini ?” tanya dia.

Saya mengangguk.

“Engga bisa kamu belajar dari satu orang saja. Kamu harus punya guru banyak,” katanya menasehati.

Seiring perjalanan, dia bilang saya bakal bertemu banyak guru. Baik itu dari manusia lain, hewan, tumbuhan, angin, air, api, tanah, dan semua isi alam semesta, termasuk yang ada di diri sendiri.

Bahan pembelajaran bakal didapat asal mau merenunginya. Salah satu puncak pencarian, ketika sudah menginsyafi dan mempertanyakan fungsi dari keberadaan diri di dunia ini.

“Tak ada yang boleh bengong sebab itu artinya sedang menggauli setan di dalam diri sendiri. Bisa salah kaprah nanti dikira ilham, ga taunya nafsu yang ngomong. Masa kalau ilham nyuruh membunuh. Kan ini ga bener namanya. Ini gila,” kata dia.

“Kamu harus bener-bener paham mana yang bener dan yang ga bener menurut nuranimu sendiri dan menurut aturan yang ada. Apa saja aturan itu? Ya bisa dari agama, ya bisa dari negara. Jangan berusaha membenarkan. Itu egois namanya. Kalau mau berbuat benar, ya kira-kira gimana menurut perasaanmu dan orang lain. Itu saja dulu,” jelasnya.

“Kamu ndak bisa memaknai semua dari yang terlihat saja. Kamu harus bisa merasakan ada apa di balik itu semua,” lanjut dia.

Falsafah Kejawen, mengajarkan menjadi manusia secara utuh. Dia menolak keras tindak kemaksiatan yang jauh lebih luas lagi.

Maksiat terhadap diri sendiri, orang lain, air, api, tanah, pohon, angin, juga hewan. Sebab dalam ajaran ini, dikatakan bahwa sebelum manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, makhluk-makhluk lain sudah lebih dulu diciptakan. Jadi, mereka ini adalah kakak manusia.

Mereka tak pernah sekalipun membangkang apa yang sudah ditetapkan Tuhan. Hanya manusialah yang sering melakukan pembangkangan.

Sebagai ‘anak bontot’ tak cuma sekali manusia melakukan kemaksiatan terhadap kakak-kakaknya. Sudah berapa kali limbah dibuang ke saluran air, tanah dieksploitasi di luar kewajaran, pohon ditebang habis-habisan dan udara diludahi dengan cerobong asap.

Satu ketika, kakak-kakaknya marah dan berwujud bencana. Terbuktilah saat ini, ketika tiba-tiba air laut membanjiri daratan, tanah longsor, angin mengamuk dan lain sebagainya.

Rasanya, Tuhan tak pernah menghukum manusia. DIA hanya membuatkan sistem yang kemudian disebut sebagai hukum alam. Jika hukum tersebut dilanggar, maka wajarlah manusia harus menikmati akibatnya.

Melanggar satu kali tak terjadi apa-apa, manusia meningkat kemaksiatannya. Dua kali masih tak ada apa-apa, jadi yakin kalau yang dilakukannya benar. Tiga kali, empat kali, dan entah ke berapa kalinya kemarahan kakak-kakaknya baru benar terjadi.

Klenik

Simpulnya jelas. Di ranah spiritual sebenarnya, ada tahapan panjang guna mencapai klimaks. Sebab saya pemeluk Islam, saya pakai aturan main dalam agama saya saja.

Tahapan pertama, mengenal agama dari kulitnya dulu meliputi membersihkan najis, belajar baca tulis al-Qur’an, sholat, berdoa dan berdzikir. Selanjutnya mempelajari hukum dalam Islam atau fiqih, disusul memahami makna yang terkandung dalam hukum tersebut baik tersirat atau pun tersurat.

Santri dituntut memahaminya secara utuh, menginterpretasikan dengan akal sehat, kemudian mengamalkan dan menghayatinya dalam keseharian, termasuk falsafah di dalamnya. Banyak sekali tahapan mencapai puncak spiritualitas.

Di tangan pelaku klenik berlabel orang pintar, tahapan-tahapan yang sangat panjang itu seolah bisa diekstrak kemudian dijadikan kapsul. Pasien cukup datang, bayar mahar dan menelannya. Sudah itu saja, dan tujuan memiliki serta menguasai yang dimau pun dijanjikan tercapai.

Dalam satu perbincangan, seorang kawan menyatakan kalau dirinya sangat yakin bahwa jin menghuni laut, sungai, pohon, tanah, angin, gunung dan lain sebagainya. Dia juga terdengar sangat yakin kalau jin bisa merasuki manusia atau dimintai pertolongan.

Katanya, asal tata caranya benar, pasti bisa dilaksanakan. Betul, dia sering meminta pertolongan jin. Tak cuma sekali pantai selatan pulau Jawa didatangi guna melakukan itu.

Belakangan, setelah coba digali alasan memasuki ranah tersebut, terkuaklah kalau ada persoalan besar terkait asmara yang hingga saat dituturkannya cerita itu, tak juga selesai. Dia coba menyandarkan harapan pada karsa dengan berupaya mencari Tuhan. Namun, sebut saja salah guru, hingga distorsi pemahaman pun terjadi.

Menurut pemahaman pribadi, tiap item isi dari alam semesta pasti ada penjaganya. Kawan saya menyebutnya sebagai jin. Sedangkan saya lebih suka mengatakan sebagai staf Tuhan yang bertugas mengurusi sistem agar hukum alam bisa berjalan baik.

Nafsu sebagai penghubung antara manusia dengan iblis jugalah yang melahirkan distorsi hingga klenik jadi laris manis. Staf Tuhan yang mengurusi laut-lah dibilang sebagai ratu penguasa laut selatan dan bisa dimintai tolong.

Jika dia termasuk golongan jin, posisi kehormatan sudah pasti di bawah manusia. Jadi apa pantas jika makhluk paling sempurna mengajukan permintaan kepada makhluk tak sempurna? Kamuflase pun melibatkan ayat-ayat suci.

Saya yakin betul kalau isi al-Qur’an sebagai kitab suci yang saya yakini kebenarannya, berisi aqidah, hukum, sejarah, etika, akhlak juga keimanan terhadap yang gaib. Tapi di tangan pelaku klenik, kalimat tauhid justru berubah fungsi menjadi jampi-jampi.

Ego dalam diri, kemudian mendapat imbuhan ‘is’ dan mendorong pikiran penikmat klenik mengkonstruksi makhluk gaib yang ingin dilihat. Makin besar dorongan, makin besar pula upaya pikiran mengkonstruksi makhluk itu. Akhirnya, berwujudlah dihadapannya yang sebenarnya cuma halusinasi.

Teman saya serta banyak orang yang saya temui dan mengaku pernah berkali-kali jumpa dengan Ratu Kidul, menyebutkan bahwa wujud penguasa pantai selatan itu cantik jelita, bergaun hijau dan menaiki kereta kencana. Persis seperti yang digambarkan pelukis legendaris Indonesia Basuki Abdullah.

Lukisan itu populer dan banyak diduplikat serta terpajang di mana-mana. Gambaran itu tertanam di pikiran pemuja Ratu Kidul. Kemudian lantaran keegoisannya, tertanam lebih dalam lagi hingga tersimpan di bawah alam sadar.

Saya sepakat dengan pernyataan Emha Ainun Nadjib bahwa konsep spiritual terhadap Ratu Kidul merupakan pemahaman mistik akibat daya khayal dan termasuk bid’ah. Namun kewibawaan Ratu Kidul terus melesat hingga kini. Soalnya, orang menafsirkan keselamatan, keberkahan dan kelancaran rejeki harus berupa wujud.

Selamat dari marabahaya berupa fisik. Berkah berupa fisik. Dan, rejeki berupa fisik. Akibatnya ego makin besar hingga tiga tujuan spiritual tadi harus mewujud dan bisa dilihat mata, bukan cuma bisa dirasakan.

Pada akhirnya muncul kekhawatiran secara pribadi kalau jangan-jangan, Tuhan pun baru bisa dipercayai dan diyakini keberadaannya jika bisa diwujudkan ke depan mata.

Di masa Nabi Ibrahim pun, masyarakat kala itu beranggapan kalau Tuhan mewujud ke hadapan para pemimpin spiritual mereka. Kemudian melalui tangan pemahat, Tuhan diwujudkan dalam bentuk patung terbuat dari batu dan menjadi berhala sesembahan.

Masing-masing staf Tuhan tadi kemudian mendapat pemujanya sendiri-sendiri. Petugas penjaga api agar tetap panas sesuai hukum alam, diangkat sebagai dewa api. Petugas penjaga tanah agar tetap mampu menumbuhkan tanaman sesuai hukum, dipuja sebagai dewa tanah dan seterusnya. Sedang dewa tertinggi, di masa pra kenabian Muhammad SAW, diberi nama Latta dan Uzza.

Repotnya lagi, masing-masing pemeluk agama yang sudah dibekali kitab suci, tak sedikit jumlahnya mempercayai bid’ah macam ini. Akhirnya, terjadi dualisme kepercayaan. Di satu sisi mempercayai ke-esa-an serta kekuasaan mutlak Tuhan, tapi di sisi lain menyandarkan harapan kepada para petugas yang mereka sebut jin itu. Mari kita telisik alasan sebenarnya.

Tiap penganut aliran mistisisme atau klenik yang saya temui, memiliki persoalan besar yang tak kunjung tuntas ditangani dengan akal, pikiran dan perasaannya. Dia coba menyandarkan harapan kepada ranah spiritual. Lantaran egois, jalan keluar harus mewujud dihadapannya.

Biasanya, persoalan besar itu meliputi asmara atau kebangkrutan usaha. Jelasnya, dia ingin kekasihnya kembali tanpa syarat, tunduk dan patuh pada tiap kemauannya. Dia tak sadar kalau dalam konflik hingga terjadi perpisahan tersebut, pasti ada andil berupa kesalahan yang diperbuat.

Pergilah dia menghadap orang pintar yang mengaku bisa mengatasi dan membuat kekasihnya kembali kemudian bertekuk lutut, lantas menuruti apa saja keinginan pelakunya.

Sayangnya, meski syarat yang begitu repot sudah dipenuhi, namun keinginan tak pernah terwujud. Alhasil, stress melanda sedang ego tak juga pergi lantaran dipelihara. Jadilah depresi datang menyusul.

Di tengah depresi, ambisi justru makin menjadi sambil terus mengamalkan anjuran bermacam-macam orang pintar yang ditemui. Iming-imingnya, dia bakal mencapai kesaktian, mampu berbuat apa saja yang diinginkan terutama dalam hal mempengaruhi orang, dan mata batinnya mampu melihat alam gaib.

Lagi-lagi, ego terlibat aktif hingga mendorong pikiran mengkonstruksi apa yang ingin dilihatnya. Makin lama di area itu, dia makin keasyikan, hingga bertindak tak lazim yang kemudian di mata kebanyakan orang, jadi gila.

Meski sudah kehilangan akal sehat termasuk logika, dia masih pada tujuannya yang tak kunjung membuahkan hasil. Luka hati makin dalam, api dendam terus berkobar, sementara keadaan berlaku tak sesuai keinginannya. Sementara, konsumen klenik masih enggan kembali ke diri sendiri dan mengoreksinya habis-habisan hingga mencapai keinsyafan. Kegilaan pun mencapai klimaksnya. Bunuh diri.

Tentu, bunuh diri bukan cuma berarti seperti yang banyak dikatakan orang yakni, jasadnya mati. Maksudnya, ketika pribadi tak mengenal dirinya sendiri, ada pada kegelapan, dan tersesat sangat jauh sebab ambisi ingin memiliki yang tak tercapai, katakanlah dia menjadi sinting, tidak waras, sebab ada kekecewaan begitu dalam. Akal sehat, logika, tumpul dan berkarat beriringan dengan enyahnya spiritualitas sebenarnya, sebab terlalu lama menjadi penyembah klenik.

Professor Syakur Yasin mengatakan, orang mampu menemukan jati dirinya di saat menderita, lebih cepat ketimbang melaksanakan ritual ibadah keseharian.

“Ketika rumah kebakaran, istri selingkuh, anak narkoba, gempor dah. Makanya kalau ujian para nabi dan rasul ditimpakan pada dirimu, binasa sejak dahulu,” kata dia.

“Ketika saya merasa tidak punya apa-apa, baru saya merasakan ada apa-apa. Tapi tidak semua orang ketika menderita bisa menemukan jati dirinya. Penderitaan itu ibadah jiwa,” lanjutnya.

Syakur menekankan bahwa, jika rasa memiliki masih menguasai manusia, maka puncak spiritualitas tak akan tercapai.

Kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan yang menjadi makanan ruh dan ritual ibadah keseharian menjadi santapan kalbu, tak ada gunanya sedikit pun kalau pasrah belum benar-benar muncul. Padahal, keduanya bisa menjadi kolaborasi yang pas jika ada kesadaran bahwa masih ada Tuhan sebagai penolong sejati yang memiliki segalanya. Dari sini, koneksi antara manusia dengan Tuhan pun terjalin akrab hingga mencapai ketenangan dan keikhlasan menghadapinya.

Profesor Syakur yang mengasuh pondok pesantren Cadangpinggan, di Indramayu, juga menjelaskan tentang ruh. Dia bilang, jasad merupakan pakaian ruh yang selalu mendapat perhatian penuh. Sedangkan ruh itu sendiri, tak pernah diupayakan untuk dikenal dan dipahami. Makanya manusia tak juga mencapai kesadaran sejati sebab masih mengkhawatirkan sisi material saja, dan ruh jadi tak bisa dikenal.

Ruh itu sendiri tak berwujud dan baru berwujud ketika diberi pakaian berupa jasad. Suatu saat nanti, dia akan terpisah. Pasti. Pertanyaannya, kemana diri pada ruh itu akan kembali jika tak mengenal ruh? Apakah dia akan gentayangan?

Pastinya, ruh akan kembali kepada Sang Pencipta yang menguasai dan memilikinya. Soal di mana Sang Maha Kuasa itu berada, logika bakal terbentur-bentur jika menitik beratkan pertanyaan pada bagian ini saja.

Di satu sisi, Tuhan bilang bahwa Dia lebih dekat ketimbang urat nadi. Di sisi lain, Tuhan ada di mana-mana. Jelasnya, Tuhan memancar di setiap makhluk ciptaannya. Pancarannya meliputi tanah, air, api, pohon, hewan, laut, matahari, bulan, dan segala macam isi alam semesta, bahkan pada diri manusia.

Syakur menyebutkan, memang bagi ruh para syuhada diberi kesempatan untuk tetap ada di muka bumi. Keturunan atau orang-orang terdekatnya, kadang di satu masa, diberi kesempatan untuk berjumpa dan bertatap muka. Namun, kesempatan itu sangat langka terjadi. Paling-paling yang banyak, orang yang mengaku-ngaku bisa berhubungan langsung dengan ruh kemudian berujung pada praktek klenik.

Sekarang tinggal pilih. Jika merasa sudah menjalani tahapan mencapai puncak spiritualitas dengan benar, hendak meminta pada staf Tuhan dengan syarat berbelit, ribet, dijanjiin doang, mahal biayanya, atau kepada Tuhan dengan cara yang sangat mudah?

Soalnya, jika lagi-lagi salah kaprah apalagi diiringi kesombongan akibat dorongan ego, bisa jadi malah berputar-putar di persoalan itu-itu saja tanpa mencapai tujuan utama.

Misalnya begini. Saya kelaparan dan perlu makan. Sementara di rumah cuma ada nasi, dua potong tempe dan kecap. Agar persoalan tuntas hingga tiba di tujuan utama yakni lapar hilang, sebaiknya makan saja. Selesai.

Lantaran ada ego didukung tidak adanya kecakapan, kegiatan makan tadi malah hampir tak pernah terjadi dan berputar-putar cuma di persoalan butuh makan saja. Sebab baru bisa atau mau makan kalau ada ayam gorengnya.

Ayam goreng akhirnya didapat dan saya bisa mulai makan. Tapi, justru tertunda lagi sebab ingin ayam goreng jenis anu bermerk ini. Belakangan, didapatlah ayam goreng yang dimaksud. Tapi sayang, sambelnya kelupaan dibeli. Balik lagi, dan berputar lagi.

Sudahlah, akhirnya lengkap yang diinginkan. Tapi sayang, nasi keburu mendekati basi hingga akhirnya tak bisa dimakan. Cuma ayam saja dan kegiatan makan pun jadi tak sempurna. Kenyang sih, tapi engga poll. Dan beginilah reinkarnasi dalam pandangan saya.[]

Bersambung

Exit mobile version