Jernih.co

Dari Masa Lalu ke Masa Depan*

Pesantren sebenarnya lembaga perkotaan. Sebab pusat-pusat kehidupan muslimin pada mula sejarahnya, di pulau Jawa, terletak di pesisir sebelah utara, di kota-kota perdagangan. Dan pondok pesantren sebagai tempat mencari ketenangan, justru terletak di tengah kesibukannya.

Oleh  :  Abdurrahman Wahid

JERNIH– Pondok pesantren, dua patah kata yang mengungkapkan sejarah masa lampau yang kompleks. Pondok menggambarkan bentuk tarekat. Kata itu berasal dari kata arab funduq, artinya tempat warga tarekat menyepi dari pola hidup sehari-hari.

Pesantren dalam pada itu menunjuk pada asal-usulnya yang  pra-Islam-–ketika para ahli Hindu dan Buddha mulai mendalami agama baru mereka, Islam di bawah bimbingan sejumlah ulama. Guru, yang umumnya berkebangsaan bukan Indonesia asli, menjadi orang yang dituakan. Ialah ‘orang tua’ yang dalam bahasa Arab berbunyi syaikh dan dalam bahasa Jawa disebut kiai.

Abdurrahman Wahif

Pola watak tarekat itu, dan persambungannya yang kuat dengan masa kehidupan beragama model pra Islam, menjadikan pondok pesantren sebuah lembaga keagamaan yang khas––yang justru menyediakan kedamaian dan ketenangan di tengah masyara-kat yang dinamis.

Pesantren sebenarnya lembaga perkotaan. Sebab pusat-pusat kehidupan muslimin pada mula sejarahnya, di pulau Jawa, terletak di pesisir sebelah utara, di kota-kota perdagangan. Dan pondok pesantren sebagai tempat mencari ketenangan, justru terletak di tengah kesibukannya. Seperti Sinagog Yahudi, atau biara Buddha di Asia Tenggara. Bukan seperti Kristen di Timur Tengah dahulu, yang umumnya terletak di tengah kesepian gurun.

Kuatnya watak perkotaan pondok pesantren ini masih tampak nyata, walau selama dua-tiga ratus tahun terakhir ia digusur ke pedalaman oleh perkembangan sejarah. Yaitu oleh gabungan konfrontasi sosial-ekonomis melawan kompeni Belanda, dan tekanan-tekanan kraton pusat di pedalaman. Watak kekotaan masih dapat dilihat pada kecepatan komunikasi di kalangan pondok pesantren, dan cara-cara memobilisasi pendapat umum melalui penyadaran massal dalam rapat-rapat umum dan sebagainya.

Pesantren dan kekuasaan

Tetapi sekali pondok pesantren menjadi “lembaga perdesaan,” tanpa kehilangan watak kekotaannya, ia dihadapkan pada sebuah situasi baru sama sekali-–dia dituntut mencari pemecahan-pemecahan baru. Kecenderungan masyarakat desa untuk mengutamakan konsensus (yang akan bisa mengakibatkan pondok pesantren bisa ditelan hidup-hidup oleh pemerintahan setempat) dihadapi dengan menciptakan komunikasi langsung dengan pusat-pusat kekuasaan di ibu kota kerajaan. Juga dengan mengembangkan komunikasi cepat antar pesantren tadi. 

Dalam pada itu ketergantungan pada patronase kelompok pemilik tanah dan petinggi di desa, diimbangi dengan operasionalisasi tata nilai ‘kesantrian’ di semua pondok pesantren di tanah air. Yang terakhir itu ditunjang oleh sistem  “santri keliling”, yang belajar berjenjang vertikal maupun horizontal, dari satu ke lain pesantren.

Penggunaan teks-teks utama, yang boleh dikata bersamaan di semua pondok pesantren, dan ketundukan mutlak kepada otoritas moral sang kiai, adalah bentuk paling tampak dipermukaan tata nilai tersebut. Juga, kecenderungannya untuk mencurigai kekuasaan – yang oleh Kaskopkamtib dinamai watak antistruktur yang populistis.

Tetapi generalisasi seperti itu sebenarnya tidak mengena seratus persen. Karena Ia biasanya digunakan dalam pengertian budaya politik khas pedesaan: Penolak dominasi sebuah struktur–atas oleh sturktur- bawah yang lebih besar kuantitas warganya.

Padahal, dalam masalah kecenderugan pondok pesantren, kecurigaan kepada kekuasaan hanyalah sekedar mekanisme kultural untuk menghindari ketergantungan pada patronase pejabat dan orang kaya lokal. Bukan penolakan  terhadap kekuasaan yang disahkan oleh sumber legitimasi di ibu kota negara.

Dari orientasi tarekat menjadi fiqh

Demikianlah, pondok pesantren menjadi sebuah sistem pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai normatif. Tidak peduli asal-usulnya yang serba urban. Juga tidak peduli pergantian orientasi kehidupannya, dari yang serba tarekat menjadi serba fiqh, hukum agama, yang menegakkan dominasi ahli hukum atas ahli tarekat.

Bertasawuf dirumuskan kembali: tidak berarti keterlibatan dengan gerakan tarekat, melainkan penerapan akhlaq tasawuf. Pondok pesantren lalu cenderung kehilangan watak pondoknya, dan lebih menekankan kepesantrenannya.

Tapi mungkin justru orientasi serba fiqh itulah yang mendorong makin kuatnya kedudukan nilai-nilai normatif: fiqih sendiri adalah kerangka dasar untuk menumbuhkan pola sikap dan pemikiran sangat normatif. Dan kemandirian, yang oleh sementara orang (termasuk penulis ini, beberapa tahun lalu) diidealisasikan sebagai watak utama sistem pendidikan di pesantren, sebenarnya tidak lain dari salah satu bentuk penghayatan serba normatif itu.

Hanya saja, kemandirian lalu menjadi sesuatu yang rawan, ketika ia kehilangan tumpuan normatifnya. Yakni ketika menjadi pegawai dan suruhan orang tidak dipandang buruk oleh agama. Tanpa tumpuan normatif, norma-norma yang selama ini dianggap “hak paten pesantren” lalu memudar, sedikit demi sedikit.

Apalagi ketika orientasi fiqh sendiri mengalami kemunduran. Fiqh yang mendasari norma-norma, dan yang menjamin tegaknya kerangka normatif kehidupan pesantren, mulai “berkurang pasarannya”ketika orang pesantren sendiri memalingkan pandangan pada hal-hal lain: ideologi, perjuangan politik, organisasi, penetrasi kebudayaan modern, dan seterusnya. Kecenderungan menjadi pegawai negeri, mencari persyaratan hidup berupa ijazah dan sebagainya, adalah akibat belaka dari beralihnya orientasi serba fiqh kepada orientasi lain.

Masalah pokok yang dihadapi pesantren dewasa ini, dengan demikian, adalah hal-hal berikut: dapatkah orientasi serba fiqh dipertahankan untuk jangka panjang? Kalau tidak, apa penggantinya? Kalau dapat dengan cara apa?

Beberapa perkembangan patut dikemukakan. Upaya sejumlah kiai pesantren untuk mengaktualkan fiqh, dengan melakukan penggalian ajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman, harus dipahami dari sudut penglihatan kesadaran akan masalah relevansi fiqh itu sendiri.

Jelasnya, fiqh harus ditampilkan dalam “baju baru” yang didukung sektor-sektor lain-–seperti pemikiran tentang pembangunan, pembaharuan pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok dan seterusnya. Sarana penerapan fiqh yang sudah mengalami “pemolesan” juga perlu dipersiapkan: kegiatan pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, pendidikan ketrampilan dan lain-lainnya.

Rupanya, di pesantren pun tak terelakkan lagi keharusan memelihara kesinambungan. Tidak ada kegiatan mendadak yang radikal, meninggalkan akar kesejarahannya sendiri, yang bisa “memecahkan”masalah dengan membuat peta permasalahan yang sama sekali baru. Perkembangan masa lampau, dari orientasi serba tarekat menjadi orientasi fiqh, ternyata menemukan penerusannya sebagai masalah.

Setidak-tidaknya itulah yang dapat disimpulkan, dari upaya sementara kiai untuk menyegarkan pandangan keagamaan melalui penyegaran fiqh. Sebuah proses pematangan yang dimaksudkan untuk memungkinkan fiqh mengintegrasikan diri dalam hidup modern, tanpa terlalu banyak mengorbankan identitas dirinya sendiri.

Bagaimana kalau upaya itu gagal? Mudah-mudahan orang pesantren sudah menyiapkan jawaban mereka. [ ]

*Sumber : Majalah TEMPO, 6 November 1982

Exit mobile version