Jernih.co

Dari Sukatani, Rage Agains the Machine, Hingga Kolaborasi Fadli Zon-Ahmad Dhani

Duo personel Band Sukatani, yang nggak suka ngimpor

Lagu protes bukan hal baru dalam lanskap musik Indonesia. Iwan Fals, baik sebagai individu atau anggota grup Swami, terbilang paling lantang melontarkan kritik kepada pusat kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif (“Surat Buat Wakil Rakyat”, 1987), (“Bongkar”, 1989), atau (“Bento”, 1989).

Oleh : Akmal Nasery Basral

JERNIH–1/
Pada mulanya lagu menjadi ekspresi artistik manusia dalam memuja Tuhan. Kemudian, untuk memuji keindahan alam lingkungan. Belakangan, sebagai kecaman kepada pemimpin atau institusi yang menyelewengkan kekuasaan.

Contohnya “Strange Fruit” yang meroketkan nama penyanyi jazz Billie Holiday (lahir: Eleonora Fagan) pada 1939, dan menjadi lagu protes pertama dengan pengaruh signifikan pasca lahirnya industri rekaman.

Syairnya diambil dari sajak Abel Meeropol (nama pena penyair Lewis Allan) yang mengecam sikap rasis pemerintah AS terhadap warga kulit hitam, membuat wajah Direktur FBI, J. Edgar Hoover, merah padam: Southern trees bear strange fruit/Blood on the leaves and blood at the root/Black bodies swinging in the southern breeze. (Pohon-pohon di selatan menghasilkan buah yang aneh/ Darah di daun dan darah di akar/Tubuh-tubuh hitam berayun—dalam keadaan tewas–tertiup angin selatan).

Di Inggris pecah kontroversi besar beberapa hari menjelang perayaan perak 25 tahun Ratu Elizabeth II berkuasa (silver jubilee) di tahun 1977. Penyebabnya? Sebuah lagu yang, oh sungguh kurang ajar, menurut standar pendengaran keluarga kerajaan.

Berjudul “God Save The Queen” karya grup punk Sex Pistols, lagu itu bukan saja diberi judul sama dengan lagu kebangsaan nasional yang sakral, namun dipenuhi syair merendahkan martabat Sri Ratu secara banal: God save the queen/the fascist regime/they made you a moron/a potential H-bomb/God save the queen/she’s not a human being/and there’s no future/and England’s dreaming (Tuhan selamatkan ratu/rezim fasis/mereka membuatmu bodoh/potensi bom nuklir/Tuhan selamatkan ratu/dia bukan manusia/dan tidak ada masa depan/dan impian Inggris).

Lagu “Killing in the Name” (1992) dari Rage Against The Machine, menukik lebih spesifik membongkar brutalitas empat oknum polisi Los Angeles yang menyiksa warga sipil kulit hitam Rodney King, menyebabkan pecahnya kerusuhan massal di seantero kota. Syair “Killing in the Name” ditulis oleh gitaris-lirikus Tom Morello, sarjana ilmu politik lulusan Harvard berdarah Kenya dari ayahnya yang duta besar pertama Kenya untuk PBB.

Cuplikan syairnya berbunyi: Those who died are justified/for wearing the badge, they’re the chosen whites/You justify those that died/by wearing the badge, they’re the chosen whites
(Mereka yang meninggal dibenarkan/oleh yang memakai lencana, mereka adalah orang kulit putih terpilih/Anda melakukan pembenaran terhadap mereka yang meninggal/karena memakai lencana, mereka adalah orang kulit putih terpilih).

( Fun fact: lagu “Killing in the Name” merupakan lagu andalan yang selalu dibawakan Voice of Baceprot, trio neng geulis berhijab asal Garut di pelbagai festival musik rock internasional. Tom Morello secara resmi memberikan izin kepada VoB untuk membawakan lagu yang berisi 14 kali kata “fck” dan sekali umpatan “motherfck*r” diteriakkan panjang pada akhir lagu–sebagai bentuk amarah kepada oknum polisi. Vokalis VoB, Firda Marsya Kurnia, yang bertubuh mungil dan berkerudung, tak pernah melewatkan bagian yang paling ditunggu penonton ini!).

2/
Lagu protes bukan hal baru dalam lanskap musik Indonesia. Iwan Fals, baik sebagai individu atau anggota grup Swami, terbilang paling lantang melontarkan kritik kepada pusat kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif (“Surat Buat Wakil Rakyat”, 1987), (“Bongkar”, 1989), atau (“Bento”, 1989).

Mendiang Harry Roesli juga pernah merilis lagu protes berjudul “Malaria” (1973) yang menggambarkan rakyat kecil seperti nyamuk yang perlu dibasmi. Titik temu dari kritik Iwan Fals dan Harry Roesli adalah pada sikap otoritarian Orde Baru.

Dari musisi yang lebih muda, seperti grup Efek Rumah Kaca, tercipta “Di Udara” (2007). Syairnya meminjam sudut pandang aktivitis Munir Said Thalib yang tewas akibat jus jeruk berisi racun senyawa arsenik dalam penerbangan Jakarta – Amsterdam (2004): Aku sering diancam/juga teror mencekam … Ku bisa tenggelam di lautan/aku bisa diracun di udara ,,, tapi aku tak pernah mati/tak akan berhenti.

Bimbim dkk dari Slank ikut meramaikan bursa lagu protes melalui “Seperti Para Koruptor”, atau “Gossip Jalanan” (2008) dengan nukilan lirik ‘DPR tukang buat UU dan korupsi”. Syair itu membuat Badan Kehormatan (BK) DPR RI ngamuk dan berniat menggugat melalui jalur hukum terhadap para musisi asal Gang Potlott–tak jauh dari Taman Makam Pahlawan Kalibata–kendati akhirnya dibatalkan setelah opini publik lebih memihak Slank.

Daftar lagu protes di Era Reformasi ini bisa lebih panjang lagi. Tetapi untuk tulisan ini dicukupkan dengan contoh dua lagu kolaborasi karya Fadli Zon, Ahmad Dhani dan Sang Alang berjudul “Tangan Besi” dan “Sontoloyo” (2018).

Pada video klip resmi “Tangan Besi” ada penampilan tiga pesohor lainnya yang ikut menyumbangkan vokal, yakni aktris-penyanyi-pendakwah Neno Warisman, da’i-mantan gitaris metal Derry Sulaiman, dan aktor Fauzi Baadilla. Nukilan syairnya: Kini kau tak malu lagi/topengmu kian terbuka/menampakkan wajah sebenarnya/disaksikan ratusan juta mata/kau adalah penguasa durjana/menindas segala cara/Kau tak segan, tak segan lagi/memberangus diskusi/memperbanyak persekusi/membegal demokrasi.

Sementara pada “Sontoloyo”, petikan liriknya: Kau bilang ekonomi meroket padahal nyungsep meleset/Sontoloyo/Kau bilang produksi beras berlimpah tapi impor tidak kau cegah/Sontoloyo … Utang numpuk bertambah rupiah anjlok melemah/harga-harga naik merambah/hidup rakyat makin susah/kau jamu asing bermewah-mewah/Sontoloyo, sontoloyo, sontoloyo/

Saat menulis lirik itu, Fadli Zon dalam kapasitas sebagai Wakil Ketua DPR RI dan Wakil Ketua Umum Gerindra. Kata “sontoloyo” digunakannya terinspirasi dari kejengkelan Presiden Joko Widodo yang ngedumel tentang “politikus sontoloyo”. (Untuk lebih lengkapnya, bisa dibaca pada tautan ini https://nasional.kompas.com/read/2018/10/24/19052101/jokowi-karena-sudah-jengkel-keluarlah-itu-sontoloyo).

Dengan fakta segamblang itu, tak sulit memahami bahwa lagu “Sontoloyo” sejatinya lagu protes dari Fadli Zon-Ahmad Dhani dkk sebagai bentuk sindiran kepada Jokowi.

Maka sampailah kita pada contoh terakhir dari lagu protes dalam negeri yang sedang viral hari-hari ini dari grup Sukatani berjudul “Bayar, Bayar, Bayar” yang menyindir laku lancung oknum polisi.

3/
Sukatani adalah duo musisi Purbalingga yang mengusung punk-elektronik. Mereka punya nama panggung Alectroguy (Muhammad Syifa Al Luthfi, gitaris-programming) dan Twister Angel (Novi Citra Indriyati, vokal). Saat tampil di panggung keduanya selalu menggunakan penutup kepala balaclava yang biasa dipakai para pembalap, membuat wajah dan identitas mereka tetap anonym—setidaknya sampai selumbari (Kamis dua hari lalu, 20/2/25).

“Bayar, Bayar, Bayar” terdapat dalam album Gelap Gempita (2023) alias sudah dua tahun lalu, dan selalu dibawakan Sukatani dalam setiap penampilan panggung mereka. Di luar para fans mereka, lagu itu sesungguhnya tidak banyak diketahui publik. Namun sejak mereka membuat video permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian, tanpa mengenakan balaclava yang membuat wajah keduanya terekspos jelas, popularitas “Bayar Bayar Bayar” meroket dalam daftar penelusuran warganet di media sosial.

Terlepas dari kontroversi yang mengikuti lagu itu, dan kecurigaan publik bahwa Sukatani berada di bawah tekanan sejumlah kecil oknum aparat untuk membuat video permintaan maaf, sejatinya tren lagu protes akan terus bergulir dan muncul pada setiap rezim pemerintahan. Siapa pun yang berkuasa. Termasuk kritik kepada institusi pemegang dan pelaksana kekuasaan.

Kritik yang menguar dari lagu protes selayaknya tak dihadapi secara emosional dan berlebihan oleh objek kritik. Sebab, yang terjadi sebenarnya adalah sebuah komunikasi dialektis tentang kekuasaan melalui bingkai kesenian. Sama halnya dengan “lagu-lagu kehumasan” dari berbagai institusi—entah dalam bentuk mars atau himne—lagu-lagu protes berada pada tataran yang sama, hanya pada kutub yang berbeda.

Guru Besar Sosiologi R. Serge Denisoff dari Simon Fraser University British Columbia, Kanada, membagi lagu protes dalam dua kelompok yaitu “magnetis” dan “retoris”. Lagu protes “magnetis” bertujuan untuk mengajak pendengar masuk menjadi bagian anggota kelompok dan melakukan aksi massa, seperti magnet yang akan menarik benda-benda logam di sekitarnya untuk bergabung. Sedangkan lagu protes “retoris” hanya sebagai sarana menyalurkan rasa marah, kecewa, frustasi, tanpa ada tujuan untuk menjadi sebuah gerakan terstruktur melawan objek lagu.

Fadli Zon yang kini menjadi Menteri Kebudayaan dan Ahmad Dhani yang kini berkhidmat sebagai anggota Komisi X DPR (membidangi pendidikan, olahraga, sains dan teknologi) dengan Kementerian Kebudayaan sebagai salah satu mitra kerja, bisa berperan sebagai edukator dan mentor di kalangan pemerintah dan legislator, bahwa kemunculan lagu-lagu protes adalah sebuah keniscayaan zaman yang tak perlu dikhawatirkan. Entah dari Sukatani atau musisi/grup musik lainnya nanti, seperti Fadli dan Dhani juga pernah melakukannya pada 2018 sebagai bagian dari ikhtiar mengoreksi kekuasaan pemerintahan Jokowi.

Lagu protes, pada konteks ini, tak lain berfungsi sebagai katup pelepasan emosi terpendam masyarakat yang dihimpun dan diformulasikan oleh musisi dalam bait lirik dan aransemen musik, sebagai bagian dari percakapan tentang kekuasaan secara bermartabat dalam koridor kebudayaan yang dinamis.

Seperti pernah dilakukan Billie Holiday, Sex Pistols, Rage Against The Machine, Iwan Fals, Harry Roesli, Slank, Efek Rumah Kaca, Sukatani, bahkan oleh Fadli Zon dan Ahmad Dhani sendiri dalam kolaborasi yang memperkaya khazanah lagu protes dalam negeri. Tak bisa lain. []

22 Februari 2025

*Penulis adalah mantan pendiri dan pemimpin redaksi pertama majalah musik MTV Trax (2002) dan sosiolog Universitas Indonesia.

Exit mobile version