Ada kesan mencuat bahwa ia serius memberikan pembacanya tulisan yang terkonfirmasi. Ada kesediaan untuk sejenak mencari yang valid dari serangkai pilihan kata yang bisa ia gunakan. Kreativitas, bagi saya mengharuskan seseorang mengujinya sejak awal sebelum menghidangkannya untuk dibaca khalayak
Oleh : Darmawan Sepriyossa
–Saya pernah batal bekerja di sebuah perusahaan pada hari ketika diajak berkeliling untuk mengenal dan mengenalkan diri di tempat kerja baru. Penyebabnya sederhana, bahkan barangkali terlalu cetek untuk sebagian orang.
Saya melihat nyaris semua meja kerja wartawan di tempat yang sedianya menjadi kantor baru saya itu bersih. Licin. Tak ada tumpukan kertas, tak ada buku terbuka yang menunjukkan benda itu tengah dibaca, tak ada koran dan majalah terserak. Tak ada undangan-undangan via faks yang saat itu masih seimbang banyaknya dengan undangan via email.
Di akhir sesi putar-putar menelusuri kantor, saya kemudian menemukan asumsi jawaban kondisi bersih itu: penyeragaman. Setiap karyawan perusahaan tersebut wajib memakai seragam. Paling tidak saat berada di kantor. Jadi, alih-alih besoknya saya menjadi karyawan baru, usai jalan-jalan keliling kantor itu saya malah harus meminta maaf. Saya batal pindah dari perusahaan lama yang membolehkan saya memakai kaos oblong, ditutup dengan kemeja yang lengan panjangnya tergulung, bagian dada dibiarkan tak terkancing.
Tentu saja tak ada rumus rigid bahwa persona kreatif adalah orang-orang berkaos obong yang punya meja berantakan. Begitu pula, jangan pernah kelilipan salah sangka bahwa mereka yang berpantalon, jas dan berdasilah yang menghasilkan kerja-kerja benar dan bersih. Dari gedung bioskop saja kita tahu, kecuali dalam serial The Sopranos, film Hollywood selalu menunjukkan bahwa para mafia umumnya memakai kemeja terseterika rapi, lengkap dengan setelan licin saat melakukan aksi kotor dan pembunuhan. Mungkin demikian pula bila kita mau membelejeti dalaman para politisi di ruang-ruang parlemen kita. Barangkali.
Sebaliknya, bukankah kita pun terlalu sering menyaksikan para ’seniman’ bergaya hippy tak lebih dari sekadar tukang gaya, ketimbang hidup dengan dan besar dengan karya? Artinya, jangan pernah gampang menilai orang hanya dari penampakan luar mereka. Barba non facit philosophum, kata orang-orang Yunani lama. Jenggot tak menunjukkan seseorang itu filosof.
Meja bersih pun sebenarnya hanya kondisi real dari tiga kemungkinan ini: semua pekerjaan beres tak tertunda. Atau volume pekerjaan yang punya meja rendah-rendah saja hingga dia punya banyak waktu buat beberes. Atau ketiga, karena semua yang akan memberantakkan meja telah disembunyikan dengan baik di laci atau di sebuah sudut lemari. Artinya, kalau melihat meja kerja yang bersih, kita bahkan boleh curiga ada setumpuk pekerjaan tak terselesaikan di laci.
Tetapi jujur saja, saya juga tergolong kalangan yang suka meja kerja yang bersih, sesuka saya melihat meja itu berantakan dengan segala yang dibutuhkan manakala tengah bekerja. Dan karena sejauh ini hanya setahun dalam kehidupan kerja saya berada di luar dunia jurnalistik, artinya saya lebih menyukai meja kerja seorang wartawan yang penuh aneka bahan tulisan manakala ia tengah menulis. Lembar dokumen penuh data, arsip-arsip lama, buku dengan halaman terbuka, tak hanya koneksi pada Google dan Wikipedia. Bukankah kita pun tahu, kita tak mungkin—dan memang jangan, sepenuhnya mengandalkan Tuan Google dan Paman Wikipedia itu saat menulis?
Saya suka wartawan junior saya akan terdiam sejenak, bengong mengingat-ingat sesuatu, lalu bergerak cepat membuka-buka buku, kamus, ensiklopedi, atau situs tertentu sebelum meneruskan tulisan yang tengah ia garap. Ada kesan mencuat bahwa ia serius memberikan pembacanya tulisan yang terkonfirmasi. Ada kesediaan untuk sejenak mencari yang valid dari serangkai pilihan kata yang bisa ia gunakan. Kreativitas, bagi saya mengharuskan seseorang mengujinya sejak awal sebelum menghidangkannya untuk dibaca khalayak.
Asal saja di meja itu tak ada sekian cangkir dengan endapan tebal kopi di dasarnya. Apalagi bila ia mewajibkan dirinya terus-menerus menghisap nikotin dan mencemari udara sekitar.
Sebab satu hal saya yakin, tak ada survey apa pun hingga saat ini yang memberikan justifikasi bahwa merokok akan membuat sebuah tulisan menjadi lebih bermakna dan punya arti. [ darmawan sepriyossa, dari catatan 2015]