Nah, di saat pemakaman seorang Cina itulah pertama kali saya mereguk ‘Sprite’ yang “sejuk, jernih, bercahya” itu. Tak hanya ‘Sprite’, melainkan pula ‘Green Spot’ yang segar dan meletup-letup di lidah, serta ‘7-Up’ yang meski sama bening, rasanya sedikit berbeda dengan Sprite.
JERNIH— Waktu usia saya tujuh tahun, kelas satu di sebuah SD Inpres, semua iklan televisi—tepatnya “iklan TVRI” karena hanya ada satu-satunya tv zaman itu–dikumpulkan dalam sebuah acara khusus iklan. ‘Mana Suka Siaran Niaga’ namanya. Saya tak tahu, mana atau siapa sih yang suka siaran niaga, kecuali pengiklannya?
Karena televisi masih merupakan barang baru di kampung kami, bahkan di tahun 1970-an itu, apa pun acara yang ada pasti dipirsa. Saat itu para penonton tv di kampung saya umumnya kaum proletar kekurangan hiburan, yang tanpa tahu waktu, zonder pula rasa malu, tetap nongkrong di depan layar tv di ruang tamu tetangga.
Semua mereka tonton dengan mulut menganga. Tak hanya saya yang masih bocah, melainkan para nenek dan kakek tua. Mereka menonton dengan kening berkerut saat ‘Dunia Dalam Berita’ pada pukul 9 malam, tapi segera terbahak-bahak dan kembali ke masa kanak-kanak tatkala sore hari TVRI memutar ‘Tom and Jerry’.
Semua disaksikan, tak kecuali acara iklan. Pengumpulan iklan dalam satu acara pun dilakukan manakala—kabarnya, ada kritik pada pemerintah, pemilik TVRI, yang memang diamini. Pemerintah saat itu memahami bahwa di satu sisi iklan perlu untuk menaikkan hasrat membeli yang akan membuat industri—meminjam istilah kekinian, ‘meroket’. Di sisi lain, iklan pun tentu saja akan membuncahkan nafsu konsumerisme, yang pada saat itu dipandang rezim dengan kacamata peyorasi.
Nah, dari sekian banyak iklan yang bermunculan dalam waktu sekitar satu jam itu, mata bocah saya selalu berbinar manakala muncul iklan dari The Coca Cola Company. Produk yang diiklankan saat itu Sprite, yang kami, anak-anak, ucapkan dengan lafal ‘Sprit’, bukan ‘Sprait’ sebagaimana mestinya. Saya masih ingat jingle iklan yang mempertontonkan seorang koboy perlente berkuda putih, yang mencongklang kuda dengan kehausan, di pinggiran savanna itu.
“Sejuk jernih, bercahya…pelepas haus Sprite!…”
Sejuk jernih, bercahya… Pelepas haus Sprite..”
Sayang, saya cari iklan itu di youtube berkali-kali, tetap saja tak ketemu.
Biasanya saya yang terhipnotis untuk merasa haus itu bergegas berlari pulang ke rumah, mengambil cangkir seng dan kendi air dingin. Gluk! Gluk! Gluk! Saya pun minum sambil membayangkan minum ‘Sprit’ yang ‘sejuk, jernih dan bercahya’ itu. Saya tak berani meminta Ibu Rp 25, kalau tak salah harga sebotol Sprite di warung saat itu. Bagaimana mungkin kami, bocah-bocah kampung, saat itu meminta uang hanya untuk minum sebotol minuman ringan, manakala untuk lauk makan pun satu butir telur bebek harus didadar dan dimakan bersama? Zaman itu telur bebek yang hits, karena telur ayam belum lagi marak. Pak Harto di tahun-tahun itu belum bikin program peternakan ayam massal, yang beberapa tahun kemudian menyuplai telur ayam membanjiri pasar-pasar di Tanah Jawa, paling tidak.
Sampai kemudian saya ikut teman-teman menggembala domba di pinggiran Hutan Sawala.
Saya baru mengerti mengapa teman-teman doyan sekali menggembala domba di sana. Padahal, hutan Sawala hingga tahun 1970-an itu masih dianggap angker. Sepi, meski ada juga satu-dua orang yang datang mengunjungi sebuah ‘kabuyutan’ atau makam yang dianggap keramat di sana. Konon di Kabuyutan Sawala itu diistirahatkan jasad Mbah Buyut Bungsu, seorang dai yang dianggap sebagai penyebar Islam di wilayah Kadipaten, Jatiraga, Dawuan dan sekitarnya. Mbah Buyut Bungsu inilah yang setelah meninggal kemudian dikenal sebagai Mbah Buyut Sawala.
Soal angkernya, tahun 1980-an saja saya masih mengingat kejadian yang menggegerkan orang se-kecamatan kami. Peristiwa itu melibatkan siswa-siswa Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) yang lokasinya berada di pinggiran hutan tersebut. Konon, pada saat acara “Jurit Malam”, siswa senior yang berperan sebagai hantu untuk menakut-nakuti adik-adik juniornya, hilang dan baru diketemukan siang hari berikutnya. Itu pun dalam kondisi melotot terus. Tak bisa ditanya dan tak mampu merespons. Dia ditemukan di dalam hutan Sawala, jauh dari pos yang seharusnya ia jaga.
Selain ada makam kabuyutan, di pinggiran hutan Sawala pun terdapat Bong, istilah setempat untuk pemakaman Cina. Dan ternyata dua hal itulah yang justru disukai teman-teman saya, hingga mereka sering sengaja menggembala domba di sekitar hutan itu.
Pertama, mitos angkernya hutan Sawala membuat banyak orang yang melintas menuju Cirebon, atau sebaliknya ke Bandung, sering melempar uang kecil. Mulai dari kepingan Rp 5 hingga koin Rp 25 yang bergambar cenderawasih kecil, bagi mereka yang berdompet agak tebal. Kebiasaan itu agak lekat di kalangan para sopir bus antarkota dan kernet angkutan umum. Uang itu akan mereka lemparkan ke arah hutan, sembari meminta keselamatan dan berkah rejeki.
Nah, teman-teman para penggembalalah yang sering ketiban rejeki memunguti uang recehan tersebut. Bila kebetulan keduluan sudah ada yang mengambil, mereka dengan sengaja menanti para peziarah di makam Kabuyutan Sawala keluar pondok setelah bertemu kuncen. Menurut teman-teman, umumnya para peziarah akan memberi uang kepada mereka yang berkerumun.
Bila tidak di pinggiran hutan atau di Kabuyutan, teman-teman sering menunggu rejeki di Bong, pemakaman Cina. Mereka biasa menunggu para kerabat orang yang dimakamkan berziarah, membersihkan kuburan dan berdoa sesuai kepercayaan Kong Hu Chu di sana. Menurut teman-teman, di makam-makam berukuran besar dengan gundukan makam tinggi, apalagi bila ada patung Dewa Bumi sebagai penjaga di sebelah kiri makam dan nisan Bongpai yang indah bertuliskan kanji Cina, mereka bisa mendapatkan uang lumayan.
“Aing pernah dibere 50 perak, Sep,” kata Kancleng, teman saya yang sebenarnya senior karena berjarak usia lebih dari tujuh tahun. “Saya pernah diberi Rp 50, Sep.” Jumlah yang lumayan kala itu. Bisa membeli, mungkin, dua liter beras.
Bila kebetulan ada orang Tionghoa yang dimakamkan, itu artinya teman-teman bisa kejatuhan durian. Tak hanya uang yang pasti akan diberikan tidak satu kali– tergantung seberapa banyak sanak keluarga mendiang yang ingin berbagi–makan minum pun tak jarang tersedia melimpah ruah.
Nah, di saat pemakaman seorang Cina itulah pertama kali saya mereguk ‘Sprite’ yang “sejuk, jernih, bercahya” itu. Tak hanya ‘Sprite’, melainkan pula ‘Green Spot’ yang segar dan meletup-letup di lidah, serta ‘7-Up’ yang meski sama bening, rasanya sedikit berbeda dengan ‘Sprite’. Entah berapa botol, karena keluarga mendiang terus memaksa kami minum. Kami juga diberi anggur dan apel, buah yang jarang ada dalam kehidupan kami saat itu, kendati merasakannya bukan yang pertama buat saya.
Mungkin ada pula kebiasaan di antara kaum Tionghoa untuk sawer uang manakala keluarga yang dimakamkan datang berziarah. Soalnya, bahkan di saat tak ada pemakaman atau orang berziarah sedang sepi pun, tak jarang kami masih bisa menemukan beberapa keping uang logam di sela-sela makam. [dsy]