“Kuambil bedil. Kubidik kepalanya. Dan kutembak dari atas kuda. Hancur dia. Mati seketika. Kupikir daripada mendahului mematuk orang, lebih baik kubinasakan lebih dulu.”
Oleh : Usep Romli HM
Zaid, orang Hail (Saudi Arabia), bersama kafilah pedagang, naik unta menuju Irak, berkisah : “Ketika rombongan akan berhenti di sebuah peristirahatan kafilah, aku melihat seekor ular besar. Hitam legam. Kuambil bedil. Kubidik kepalanya. Dan kutembak dari atas kuda. Hancur dia. Mati seketika. Kupikir daripada mendahului mematuk orang, lebih baik kubinasakan lebih dulu.”
“Di peristirahatan, aku segera berbaring di sudut. Tiba-tiba badanku panas dingin. Tenggorokan kering. Kepala berat serasa ditindih gundukan besi. Mataku kesat. Tapi terlayap-layap seperti akan tidur. Dan memang aku cepat tertidur.”
“Beberapa jenak kemudia, dua orang berseragam tentara datang. Mengangkat tubuhku yang lesu tak berdaya. Menyeretku melalui lorong-lorong gelap dan panjang. Hingga tiba di sebuah ruangan besar penuh sesak manusia. Hiruk pikuk saling berteriak. Sebagian meneriakkan kata-kata, “Hukum! Hukum!” Sebagian lagi berteriak, “Bebaskan! Bebaskan!”.
“Aku didudukkan di sebuah kursi di tengah ruangan. Menghadap ke deretan meja. Di situ duduk beberapa orang berpakaian hitam-hitam.”
“Ternyata itu ruangan pengadilan. Yang berpakaian hitam-hitam itu para hakim. Dan ternyata terdakwanya adalah aku. Dengan tuduhan telah membunuh seorang warga.”
“Aku menolak keras tuduhan itu. Aku mengakui, kalau membunuh ular hitam ya. Tidak membunuh manusia.”
“Perdebatan makin ramai. Yang menuduh terus-menerus berteriak, “Hukum! Hukum!” Yang lain menimpali, “Bebas! Bebas!”
Hakim mengetukkan palu. Menyatakan aku bebas.
“Dia memang tidak membunuh warga kita. Dia hanya membunuh seekor ular. Kalau pun itu warga kita, kesalahan dia sendiri menjelma menjadi ular. Membuat siapa pun ketakutan,”kata hakim sambil mengetukkan palunya. Lalu ia memerintahkan kedua tentara tadi memulangkan aku ke tempat asal.
“Kubuka mataku sudah payah. Sinar matahari terik menyengat. Untung tertahan sehelai karung yang dijadikan atap pada dua tumpukan goni, tempat aku terbaring. Hidungku mencium harum kopi yang sedang diseduh. Aku ingin berteriak, minta kopi. Tapi suaraku hanya erangan pelan saja. Salah seorang anggota kafilah seperja-lananku, mendengar eranganku.
“Ia sadar! Ia sadar!” kawan seperjalananku memburu. Diikuti kawan-kawan lain.
“Selamat engkau! Selamat!” kawan-kawan menyalamiku bergantian.
“Selamat? Aku tertidur satu dua jam. Mengapa harus diselamati?” tanyaku heran.
“Kau pingsan empat hari empat malam. Kami harus membawamu setiap akan berangkat. Tubuhmu ibarat seonggok karung basah saja. Kukira di tengah perja-lanan, engkau akan pergi selamanya. Ternyata kau hidup kembali,“kata kawan-kawanku.
Setelah kesehata dan kekuatanku pulih, kuceriterakan pengalamanku diadili di negeri jin, gara-gara aku menembak mati seekor ular hitam di dekat peristihatan pertama.
“Ya, “jawab kawan-kawanku. “Dan itu terjadi hampir lima hari lalu.” [ ]
Diceriterakan kembali dari “The Road to Mecca” karya Leopold Weiss alias Mohammad Assad (1953)