Solilokui

Distrust Society

Kita tak lagi merasa janggal manakala dalam sebulan tak seorang pun tamu datang. Tanpa sadar, kita mengasingkan diri kepada siapa pun yang kita anggap asing. Kita menjadi begitu takut. Tapi takut pada siapa?

Oleh  : Kurnia Fajar*

JERNIH– Pada pertemuan nasional aktivis 66 sampai dengan 98, akhir 2015 lalu, Ichsanuddin Noorsy sebagai salah satu pembicara menyampaikan bahwa salah satu ketahanan yang membuat kita masih bersatu sebagai bangsa dan negara, adalah “modal sosial”.

Kurnia Fajar

Yang dimaksud Noorsy dengan modal sosial adalah relasi sosial yang kuat di antara sesama warga negara. Bila kesetiakawanan, kebersamaan dan gotong royong, yang menjadi modal sosial bangsa ini sulit dipatahkan, alhasil bangsa ini pun sulit untuk dilemahkan.

Sebagai orang yang lahir dan tumbuh pada saat Orde Baru, kemudian dewasa di Orde Reformasi, saya mengamini betul kata-kata Noorsy. Saya percaya, bahwa prasangka baik di antara kita, membuat kita optimistis dalam bernegara. Sebagai warga negara Indonesia, menurut saya, hampir tidak ada alasan untuk menjadi pesimistis. Suatu ketika, almarhum WS Rendra pernah berkata “Orang Indonesia adalah orang yang mampu beradaptasi dengan cepat, merespons setiap keadaan (baca : penindasan), tidak ada kata menyerah di hampir semua strata sosial.”

Semuanya melakoni hidup masing-masing dengan tekun. Apalagi jika dikaitkan dengan filosofi Jawa, “nglakoni urip” yang dianggap sebagai bagian pengabdian, hampir tidak ada yang mengeluh meski harus menjalani hari-hari yang penuh ketidakadilan.

Kita pernah mendengar masyarakat ada yang makan nasi aking, bulgur, nasi tiwul sebagai representasi keadaan yang begitu sulit. Namun semuanya dilalui tanpa gejolak sosial. Masyarakat di kampung kakek saya di Wonogiri, Jateng, memegang prinsip manakala ada di antara warganya yang meninggal. Semua orang yang ada di kampung tersebut bahu-membahu menyiapkan prosesi pemakaman, karena semua kukuh  dengan prinsip: setiap keluarga yang mengalami kedukaan di kampung tersebut, haram hukumnya mengeluarkan uang sepeser pun.  

Semua biaya, kebutuhan terkait prosesi pemakaman, bahkan hingga acara tahlilan,  disiapkan oleh para tetangga. Mulai dari menyiapkan minum dan jamuan bagi para pelayat, menggali kuburan, hingga segala urusan pasca-pemakaman. Bukankah ini sebuah keindahan sosial? Meski demikian, warga kampung tersebut kini didominasi orang tua. Orang-orang mudanya mengadu nasib di kota, mencari rupiah yang pasti tampak lebih “indah” dibandingkan relasi sosial di dukuh mereka.

Sampai suatu ketika saya semua jadi berbeda. Modal sosial dan relasi sosial sedikit demi sedikit, secara sistematis tercerabut dari ruh kebangsaan. Pada saat ayah saya— seorang militer bertugas di Pandeglang, Banten—saya sempat berkunjung ke sana. Kebetulan, waktu itu seorang penduduk miskin wafat. Hanya lima orang yang mengurus jenazahnya: tiga orang tetangga, saya dan ayah saya. Yang mengantar jenazah dan menguburkannya pun masih lima orang yang sama. Dipanggul dalam keranda, berjalan kaki sejauh lima kilometer dari rumah duka. Tak ada kendaraan roda empat yang membawa jenazah miskin itu untuk perjalanan menuju Khaliknya. Apalagi raung sirine. Sepi, seperti kematian itu sendiri.

Di hari lain, masih di Banten, ayah gubernur Banten saat itu, Ratu Atut, wafat. Ribuan, mungkin bahkan puluhan ribu, orang menyalatkan jenazahnya. Ribuan orang hadir di acara tahlilannya. Teman saya, seorang PNS Provinsi Banten, bahkan terlihat begitu bersemangat mengikuti tahlilannya. “Amplopnya lumayan, Kur,” begitu ia menjawab pertanyaan saya.

Saya merasa masyarakat semakin tidak peduli dengan kemiskinan, meski itu nyata di sekitar. Jika berita kemiskinan dan penderitaan ini diekspose melalui media massa, kepedulian itu masih terlihat. Namun artefak dan landmark menunjukkan hal berbeda. Pernahkah kita mengamati rumah-rumah di kampung? Saya hampir tidak melihat ada pagar di antara rumah.

Bandingkan dengan perumahan di perkotaan? Hampir semuanya berpagar, bahkan di lokasi-lokasi tertentu, pagar itu begitu tinggi. Kita tak lagi merasa janggal manakala dalam sebulan tak seorang pun tamu datang. Tanpa sadar, kita mengasingkan diri kepada siapa pun yang kita anggap asing. Kita menjadi begitu takut. Tapi takut pada siapa?

Sudah tak terasa ganjil manakala nama tetangga sebelah pun tak kita kenal. Ada beberapa yang abai dalam mendidik anak dan istri. Anak kita percayakan pada sekolah yang kita yakini lebih kompeten mengurus karakter. Ternyata kita hanya tinggal di rumah di sisa waktu, dengan sisa tenaga setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan dan kemacetan, yang tak hanya menguras energy, melainkan juga akal sehat.

Hedonic treadmill memaksa kita bekerja lebih keras agar bisa membayar cicilan rumah, utang kendaraan dan keperluan hidup lainnya. Di Lain waktu saya sering menyaksikan di UGD rumah sakit pun orang diminta menyelesaikan “administrasi” terlebih dahulu, baru kemudian RS melakukan tindakan pertolongan. Betapa mereka yang erat terkait dengan pelayanan kemanusiaan pun, kini terasa kehilangan rasa manusiawi.

Kini kita betul-betul asing pada sesama kita. Hendak meminjam uang, kita harus berbekal jaminan, atau sebaliknya, manakala hendak meminjamkan uang kepada orang lain pun kita yang akan bertanya,”Jaminannya apa?” Sistem Riba yang dikembangkan perbankan telah memaksa kita menjadi gampang curiga.

Padahal, sejatinya kita harus menolong siapa pun yang sedang ditimpa kesusahan. Mengangkat dan membuatnya bisa berdiri sendiri. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain? Maka tidak heran jika dukun-dukun dan paranormal menjadi laris, menjadi tumpuan tempat bertanya sebagian kalangan yang frustrasi dengan sesamanya.

Di saat itu, kita ada di mana? Bukankah Nabi menyuruh kita untuk tolong-menolong? Atau memang kita secara sadar tengah membangun distrust society, masyarakat yang tak lagi memiliki rasa saling percaya?

Sementara, bukankah dari teoritikus kenegaraan klasik seperti Ernest Renan, hingga cendikiawan masa kini seperti Francis Fukuyama, pun mempercayai bahwa ‘saling percaya’ menjadi dasar kekuatan suatu bangsa?

Renan, yang percaya bahwa bangsa hanya bisa tercipta dengan adanya ‘rasa kesetiakawanan yang agung’, jelas-jelas meniscayakan rasa saling percaya di antara para warganya. Sementara Fukuyama—penulis ‘The End of History and The Last Man  yang fenomenal sebelum ia menulis ‘Trust’–percaya, seluruh masyarakat ekonomi yang berhasil, disatukan oleh adanya sikap saling percaya.

“Kesejahteraan sebuah negara, seperti kemampuannya untuk bersaing, ditentukan oleh karakteristik tunggal, karakteristik budaya pervasif: tingkat kepercayaan yang inheren dalam masyarakat,” tulis dia dalam ‘Trust’. Nilai-nilai untuk saling percaya itu harus melekat di dalam masyarakat. Untuk masuk ke argument yang lebih dalam, Fukuyama meminjam pemikiran James Coleman tentang “modal sosial”. Kata kunci pemikiran Coleman adalah pada adanya kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Lalu, dengan distrust yang kita kembang-kembangkan, mau ke mana bangsa ini hendak berjalan? [ ]

*CEO PT Agro Jabar

Back to top button