Seharusnya Anies justru boleh bergembira dijauhi kaum oligarki. Pada tempatnya pula buat sesekali sok-sokan laiknya seorang Marxis, dengan berseru lantang,”Rakyat jelata Indonesia, bersatulah!” Pendanaan publik tidak hanya merupakan biaya demokrasi yang wajar dan perlu. Lebih jauh lagi, pendanaan publik potensial untuk membangun demokrasi yang sehat, karena mengembalikan demokrasi pada idiomnya yang paling purba,”Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!”
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Pada acara “Mata Najwa: Tiga Bacapres Bicara Gagasan”, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pekan lalu, Anies Baswedan–salah seorang bakal capres– secara terbuka menyampaikan kekecewaannya. Ia mengatakan, banyak pengusaha yang bertemu dengannya mengeluh karena setelah pertemuan itu pengusaha tersebut mengalami berbagai hal yang ‘ujug-ujug’.
Yang paling mudah, misalnya, mereka tiba-tiba mengalami pemeriksaan soal pajak. Aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan, pada artikelnya baru-baru ini menyatakan, besar kemungkinan hal itu dilakukan untuk menciptakan ketakutan. Tujuan akhirnya, tulis Syahganda, tak lain guna melumpuhkan kekuatan logistik Anies dan kawan-kawan seiring pencalonan.
Dalam tata aturan permainan demokrasi di negara kita yang meniscayakan hanya dua kali masa jabatan seorang presiden—yang gagal digoyang kelompok “Masih Kepingin” dengan segala upaya dan kekuatan—era Jokowi tentu saja sudah senja kala. Sejatinya, bila common sense dan rasionalitas yang bicara, oligarki mesti berbondong-bondong mencari “proxy” baru untuk mendukung kepentingan mereka. Apalagi, meski—katakanlah—survey Indikator Politik Indonesia mengatakan tingkat kepuasan publik pada Jokowi sampai menyentuh 80 persenan, alias ter-“manstab” sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia, toh tetap saja ke depan ia akan lengser dan tilem.
Siapa pun yang ia endorse, tetap saja bukan dirinya, sehingga pihak yang mengandalkan lobi-lobi dengan pemerintah ke depan wajar mencari tambatan baru. Belum lagi bila presiden baru mencontoh awal kekuasaan Jokowi, yang seolah menafikan apapun dari pendahulunya. Alhasil, para pengusaha raksasa itu seharusnya tidak saja hanya berkumpul di Prabowo yang konon merupakan capres yang didukung Jokowi. Mereka juga harusnya berada di sisi Ganjar dan Anies. Atau, bila merujuk aturan pemihakan pebisnis yang paling klasik, tidakkah mereka seyogyanya menyimpan ‘telur-telur kepentingan’ mereka relatif merata di ‘tiga keranjang’ bakal kontestan Pilpres itu?
Sisi minus dukungan oligarki
Menjelang masa jabatan keduanya selesai, 1907, Presiden Theodore Roosevelt—sering disebut “Harun Al-Roosevelt” karena kecenderungannya untuk berlaku adil—dalam sebuah pidato menyatakan kekhawatirannya tentang kontribusi perusahaan besar dalam hubungannya dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. “Kebutuhan pengumpulan dana kampanye dalam jumlah besar,”kata Roosevelt,”akan hilang jika Kongres menyediakan alokasi yang tepat dan pengeluaran yang sah dari masing-masing partai besar nasional. Sebuah alokasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan mesin politik secara menyeluruh…”
Theo Roosevelt, sebagaimana juga Roosevelt yang lebih kemudian, memang dua manusia cerdas yang melampaui eranya. Kita tahu, perlu waktu berdekade agar usulnya itu berjalan di AS.
Dan kemudian kekuatiran Roosevelt itu memang terbukti. Para pendonor besar kampanye politik presidensi AS, umumnya perusahaan-perusahaan raksasa dan mutinasional (MNC), belakangan kian sangat menentukan haluan negara itu. Brennan Center for Justice, lembaga yang berada di bawah New York University School of Law, dalam sebuah laporan terbuka kepada publik,”Empowering Small Donors in Federal Elections” yang terbit Agustus 2012 lalu, menulis bahwa karena (anggota) Kongres secara tidak proporsional bergantung pada sekelompok kecil donor dan pelobi kaya, kelompok-kelompok itu kemudian memiliki akses dan pengaruh politik yang sangat besar. Eksesnya segera terjadi: sinisme masyarakat terhadap Kongres dan pemerintah telah mencapai tingkat yang luar biasa.
Pada jajak pendapat ABC News/Washington Post, seiring siklus Pemilu AS pada 2012, ditemukan bahwa hanya 13 persen orang Amerika yang setuju dengan cara-cara Kongres menangani tugasnya. Sementara 84 persen lebih tidak menyetujuinya. Itu rekor terburuk Kongres dalam jajak pendapat sejak tahun 1974.
Dalam survei tahunan Gallup, Juni 2011, mengenai kepercayaan terhadap institusi, Kongres menduduki peringkat terakhir, dengan tingkat persetujuan hanya sebesar 12 persen. Kongres berada di belakang pilihan publik terhadap lembaga-lembaga seperti perusahaan besar, bank, buruh terorganisasi, dan sekolah umum.
Lebih kemudian, berdasarkan CNN Poll pada Juni 2011, terkuak bahwa kekecewaan masyarakat itu didorong oleh persepsi umum bahwa pejabat terpilih artinya tak lebih dari pejabat yang terpilih oleh dan untuk kepentingan donor besar, bukan kepentingan publik. Jajak pendapat CNN atau Opinion Research pada Juni 2011 itu menemukan bahwa 86 persen masyarakat beranggapan bahwa pejabat terpilih di ibu kota negara sebagian besar sangat dipengaruhi tekanan yang mereka terima dari kontributor kampanye besar.
Setahun kemudian, Opinion Research Corporation pada 2012 menemukan bahwa lebih dari tiga dari empat orang Amerika alias 77 persen, meyakini bahwa anggota Kongres lebih mungkin bertindak demi kepentingan kelompok yang menghabiskan jutaan dolar—kaum oligarki–untuk membantu mereka terpilih, daripada bertindak demi kepentingan publik. Jangan lupa pula, tiga dari lima orang AS saat itu percaya bahwa “donor politik mendapatkan lebih banyak melalui anggota Kongres terpilih, daripada uang yang telah mereka berikan sebagai bantuan kepada anggota Kongres.”
Itulah tampaknya salah satu puncak dari alergi publik AS terhadap oligarki. Publik merasa bahwa dengan uang yang mereka punya, kelompok itu mulai dan terus mengarahkan haluan negara ke arah yang mereka suka. Belakangan, kekhawatiran masyarakat AS terhadap pengaruh donor kampanye dalam jumlah besar itu mencuat lagi dalam jajak pendapat tahun 2018. Ada 74 persen warga AS yang disurvei, menganggap “sangat penting” agar “pihak yang memberikan banyak uang kepada pejabat terpilih” seharusnya “tidak mempunyai lebih banyak pengaruh politik” dibandingkan orang lain.
Untunglah, mulai 1970-an, setelah terbongkarnya skandal Watergate, terjadilah reformasi dalam pembiayaan kampanye presiden (dan anggota Kongres maupun DPR) AS. Akhirnya, setiap pemilihan presiden mulai tahun 1976, sebagian dibiayai dana publik atau para pemilihnya sendiri.
Obama, misalnya, berdasarkan sebuah artikel The Guardian, 17 Juli 2008, pada bulan Juni mengumpulkan dana sebesar $52 juta. Hingga bulan itu Obama telah mengumpulkan $347 juta, lebih dari dua kali lipat penerimaan John McCain, lawannya dari Partai Republik yang mencatatkan $143,8 juta. Obama memang telah mengesankan dunia politik AS, dengan mengumpulkan dana dari banyak donor kecil. Guardian mencatatnya sekitar 1,7 juta orang. Mereka rata-rata hanya mampu memberikan sumbangan sebesar $68 (sekitar Rp 1,02 juta dalam kurs 15 ribu).
Langkah potensial Anies
Dengan sistem yang kian menyerupai sistem politik AS yang langsung, seharusnya Indonesia bisa mengambil benchmark yang baik dari politik AS. Jangan hanya yang degil dan konyolnya saja.
Pada kasus Anies yang konon dipersulit pihak-pihak tertentu, tidaklah hina untuk mengambil cermin dari kasus Obama. Apalagi, sebagaimana Anies yang saat ini mengusung ide perubahan, tagline Obama pada saat kampanye masa jabatan pertamanya pun ia mengusung isu yang sama, yakni slogan “Change!, Yes We Can!”
Artinya, sebagaimana Obama, Anies pun sangatlah elok bila mengandalkan dukungan pendanaan dari warga masyarakat. Sebab bagaimanapun pendanaan publik tidak hanya merupakan biaya demokrasi yang wajar dan perlu. Lebih jauh lagi, pendanaan publik potensial untuk membangun demokrasi yang sehat, yakni demokrasi yang membuka seleber-lebarnya partisipasi rakyat. Pendanaan warga, sejatinya mengembalikan demokrasi pada idiomnya yang paling purba,”Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!”
Dengan mengandalkan pendanaan publik, Anies juga bisa menjaga kontak dengan konstituen, dan melibatkan kontituennya untuk berdemokrasi secara sehat. Lebih jauh lagi, dengan melakukan pendanaan publik yang lebih intens, Anies telah memelopori gerakan untuk membatasi pengaruh uang “tak Ikhlas” yang penuh kepentingan dan pamrih, dan dengan demikian membantu pula mengekang membengkaknya korupsi.
Namun jangan pernah berpikir bahwa yang akan datang hanya pendana individual semata. Ikatan idealisme, persamaan kepentingan dan tujuan mulia, akan tetap membawa kelompok besar yang seiring-sejalan-sepemikiran untuk juga datang. Kembali, berkaca kepada pengalaman Obama, toh ia pun memiliki pendana raksasa (dalam istilah AS, Super PAC—Komite Aksi Politik Super)-nya sendiri, yakni Priorities USA Action.
Jangan pernah pula lupa, dengan perkembangan internet dan IT, terobosan dalam pengembangan pendanaan warga pun bisa terjadi dengan menakjubkan. Internet yang kian mempermudah pemberian sumbangan politik, akan membuat gejala partisipasi para pendonor kecil kian memainkan peran penting dalam kampanye presiden ke depan.
Dengan begitu, Anies sejatinya akan memainkan peran sinifikan dalam reformasi pendanaan kampanye dalam politik Indonesia. Reformasi yang digulirkan Anies dkk itu harus pula mencakup upaya untuk memperkuat kekuatan pendonor kecil dengan memperkuat suara politik mereka.
Dengan fakta betapa tingginya kepedulian warga Indonesia terhadap sesamanya, reformasi pendaaan politik yang digulirkan Anies pun akan membangkitkan kesadaran rakyat untuk melakukan ‘gotong royong politik’. Secara teoritis, gotong royong yang telah menjadi budaya Indonesia ini pernah dipopulerkan teorisi Pyotr Kropotkin dalam bukunya “Mutual Aid: A Factor of Evolution” sebagai “mutual aid”. Kita telah terbiasa. Lihatlah apa yang terjadi pada 1998, manakala buruh-mahasiswa-rakyat banyak bergerak, para ibu-ibu pun berkelompok memberikan dukungan logistik dan kesehatan. Persis sama dan sebangun dengan kelompok umi-ukhti saat mendorong Gerakan 411 dan 212 beberapa waktu lalu.
Ini juga akan menjadi ‘aksi perlawanan’ tersendiri. Dan sebagaimana sebuah áksi perlawanan, pasokan massa seharusnya tidak menjadi kekhawatiran. Kita bisa meyakini optimisme David Graeber, seorang anarkis sekaligus antropolog terkemuka, bahwa barang siapa pernah terlibat langsung aksi perlawanan, niscaya akan tergoda untuk mengulanginya.
Anies seharusnya gembira. Ditinggalkan kaum oligarki selayaknya menjadi modal perjuangan. Pada tempatnya pula buat sesekali sok-sokan laiknya seorang Marxis, dengan berseru lantang,”Rakyat jelata Indonesia, bersatulah!” Ini bahkan bisa menjadi titik awal rakyat Indonesia membatasi rakusnya kaum oligarki yang gemar mendikte kekuasaan.
Ayolah, Anies, buatlah sejarah! Bukankah kalau kita masih diidjinkan mengutip Marx, “Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri”, itulah yang Anda hadapi hari ini? Di situlah kita memilih. Dan sejatinya, yang harus dipilih manusia hanyalah apa yang ia pandang benar. Lalu dengan tegar bergerak dalam upaya konsisten untuk mewujudkannya. Itulah makna istiqamah. Ayo! [ ]