“Masih,”jawab perempuan miskin dan anak yatim itu. “Ini tetes air mata bahagia kami, ketika kami menerima dua potong roti dari Ahmad bin Miskin, yang membebaskan kami dari derita kelaparan selama tiga hari.”
Oleh : H.Usep Romli HM
Syekh Ahmad bin Miskin al Baghdadi ( abad ke 3 Hijrah), salah seorang murid ulama terkenal masa itu,Imam Ahmad bin Hambal (Imam Hambali), dan Bisyr Harits al Hufy, berkisah :
“Suatu waktu aku sekeluarga menderita kemelaratan amat parah. Tak punya apa-apa untuk dimakan. Sehingga mengalami kelaparan dua hari dua malam. Menjelang hari ketiga, seusai salat duha di masjid jami kota Baghdad, datanglah sahabatku, Abu Nashr ash Shayyad. Ia mengangsurkan bungkusan berisi dua potong roti hangat, sambil berkata : “Alhamdulillah, pagi ini aku mendapat rejeki halal dan bersih. Sebelum ke rumah, tiba-tiba teringat padamu sekadar untuk berbagi. Terimalah. Insya Allah, dua potong roti ini akan bermanfaat untuk sarapan bersama keluarga di rumah.”
“Barakallahu fi mali wal ahli,”aku menerima bungkusan itu dengan penuh rasa syukur, dan mengucapkan do’a, “Berkah Alloh bagi harta dan keluarga (orang yang ikhlas berbagi.” Roti pemberian Abu Nashr, jelas akan membebaskan kami dari derita kelaparan.
Namun baru saja aku turun dari masjid, menuju jalan pulang, tiba-tiba muncul seorang perempuan setengah baya. Menggendong seorang anak kecil. Pakaian mereka lusuh. Wajah mereka sendu.. Matanya basah bekas tangisan.
“Saudaraku, tolonglah,“suaranya serak tersendat-sendat. ”Aku dan anakku ini telah tiga hari tidak makan. Kami miskin. Suamiku sudah lama wafat, hingga terpaksa kami hidup dari belas kasihan orang. Namun entah mengapa, dalam tiga hari ini, para dermawan di kota Baghdad bagai hilang di telan bumi. Tak ada seorang pun yang berkenan memberi sesuap nasi dan seteguk air kepada kami.”
Bimbang hatiku. Terbelah ragu. Antara memperhatikan dan mengabaikan kedua orang miskin itu. Bungkusan berisi roti pemberian Abu Nashr, sudah dicadangkan untuk makananku bersama anak istri. Masak harus diserahkan kepada orang lewat begitu saja?
Tiba-tiba terngiang bunyi ayat Quran, yang pernah kubaca dan kudengar ulasannya dari para guruku yang “zuhud” (sederhana) dan “wara” (apik) : “Kamu tidak akan beroleh kebajikan (surga) sebelum menafkahkan (menyerahkan) apa yang paling kamu sayangi.”(S. Ali Imran : 92).
Tiba-tiba pula aku teringat, perempuan dan anak itu, sudah tiga hari kelaparan. Sedangkan aku dan keluargaku, baru dua hari. Mereka tidak punya apa-apa lagi, selain harapan kepada kemurahan para dermawan yang tak dapat diandalkan. Sedangkan aku, dan keluargaku, masih mungkin punya jalan upaya lain, untuk mengatasi kesulitan hidup.
Maka tanpa pikir panjang lagi, kuserahkan bungkusan roti pemberian Abu Nashr itu. Perempuan itu menerima dengan tangan gemetar. Bibirnya komat-kamit mengucapkan terimakasih. Biji mata anak yang digendongnya, berkilat gembira menatap bungkusan di tangan ibunya.
Menyaksikan hal itu, dadaku terasa amat lapang. Seolah terlepas dari himpitan beban berat. Aku telah menyelesaikan sebuah pekerjaan besar. Membebaskan dua orang miskin dan yatim dari ancaman kelaparan. Tinggal menyelesaikan satu lagi pekerjaan besar lainnya. Yaitu membebaskan istri dan anakku dari ancaman yang sama.
Dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim” dan ”Lahawla wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim”, aku balikkan badan. Tidak jadi pulang ke rumah. Melainkan ke arah pasar. Mudah-mudahan di situ ada jalan ikhtiar bagiku untuk mendapatkan uang pembeli makanan. Pekerjaan apa saja, asal halal dan sesuai kemampuan, akan kutempuh.
Namun baru saja akan beranjak, tiba-tiba terdengan suara memanggil-manggil. Ternyata Abu Nashr bersama seseorang yang tak kukenal.
“Hai Abu Miskin,”kata Abu Nashr setelah mendekat. “Ini orang Basrah, kawan akrab ayahmu, tiga puluh tahun yang lalu. Kami bertemu tadi, ketika ia mencari-cari ayahmu atau anak-anaknya. Aku tahu, hanya engkau seorang anak ayahmu itu. Maka kupertemukan sekarang.”
Setelah yakin, bahwa aku anak orang yang dicari-carinya, ia berceritera. Bahwa tiga puluh tahun yang lalu, ia mengalami kebangkrutan dalam berniaga. Semua dagangannya di kota Basrah habis akibat peristiwa kebakaran hebat. Ketika mencoba bangkit lagi, semua dagangannya habis dirampok dalam perjalanan kafilah menuju kota Isfahan.
“Untunglah aku ketemu seorang yang baik hati dan pemurah. Yaitu ayahmu. Ia memberiku pinjaman sebesar sepuluh ribu dirham. Lalu aku gunakan sebagai modal. Alhamdulillah, usahaku maju pesat. Selama tiga puluh tahun ini, kekayaanku mencapai sejuta dirham. Dan semuanya bersumber dari sepuluh ribu dirham pinjaman dari ayahmu. Sebulan lampau, aku teringat akan ayahmu berikut segala kebaikannya. Segeralah aku menuju Baghdad. Ingin mengucapkan terimakasih atas bantuannya dulu. Juga mengembalikan modal pinjaman sepuluh ribu dirham berikut pembagian keuntungan sebesar empat puluh ribu dirham.”
Mendengar kisah itu, aku terpana. Hanya mampu mengucapkan “Masya Allah” dan bertakbir beberapa kali. Betapa Allah Maha Menepati Janji. Baru saja aku memberi dua potong roti kepada dua orang miskin dan yatim yang kelaparan, tiba-tiba hanya dalam sekejap muncul penggantinya berlipat-ganda. Aku semakin yakin akan kebenaran firmanNya Yang Maha Agung :
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjara) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karuniaNya) serta Maha Mengetahui”.(Q.al Baqarah : 261).
Seandainya tadi aku turuti hawa nafsu mengingat kondisi keluarga di rumah, sekaligus membiarkan dua orang miskin dan yatim kelaparan, tentu aku tidak akan mendapat rejeki nomplok halal dan bersih empat puluh ribu dirham. Bahkan mungkin aku secara tidak langsung akan membunuh dua orang akibat tiga hari kelaparan.
Aku sujud syukur di situ, disaksikan Abu Nashr dan orang Basrah. Bukan karena gembira mendapat empat puluh ribu dirham. Tapi gembira karena telah mampu berjuang melawan sikap mementingkan diri sendiri dan keluarga. Juga gembira karena aku telah berhasil menumbuhkan simpati dan belas kasih dalam diriku, terhadap orang miskin dan yatim.
Seusai menerima uang empat puluh ribu dan mengenyangkan perut seisi rumah, aku berniat akan menyisihkan sepuluh ribu dirham untuk diberikan kepada perempuan miskin dan anaknya, yang telah kuberi dua potong roti itu. Tapi siapa dia? Di mana mereka tinggal di kota Baghdad yang luas megah ini ?
Kucari mereka ke mana-mana. Namun tak pernah ketemu. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Di antara para pengemis dan gelandangan di sudut-sudut kusam Baghdad, juga tak tampak jejak mereka.
Karena lelah berkeliling ke sana ke mari, seusai shalat dzuhur di masjid jami kota Baghdad, aku ketiduran, dan bermimpi dahsyat sekali. Aku sedang berada di Alam Mahsyar. Di tengah jejalan manusia yang sedang menunggu hasil pengadilan akhirat. Mahkamah Allah SWT Ahkamul Hakimin. . Semua perbuatan manusia, sebesar bubuk atom pun, tak luput dari perhitunganNya yang Maha Adil.
Giliranku dipanggil ke dekat timbangan amat besar. Aku disuruh menyaksikan hasil dan nilai amal baik serta amal jelekku sendiri. Jika timbangan amal baik lebih berat daripada timbangan amal jelek, maka aku akan selamat. Masuk surga. Jika sebaliknya, maka aku akan celaka. Masuk neraka entah berapa lama. Hingga bersih segala dosa dan keburukanku, sebelum diperkenankan mencicipi kenikmatan surga.
Ternyata, hanya sekali hentakan saja, daun dimbangan amal keburukanku teramat sangat berat. Hingga rapat ke permukaan tanah. Sedangkan daun timbangan amal baikku, mengacung ke langit.
“Ah, sial kau, Ahmad Miskin!” bentak malaikat yang bertugas di timbangan. “Apakah engkau tak punya kebaikan sama sekali tatkala hidup dunia?”
Mulutku rapat membisu. Gemetar seluruh tubuhku. Takut dan gentar membayangkan ke mana aku akan masuk nanti. Pasti ke neraka lautan api serta beragam siksa lainnya.
“Aku pernah menyumbang sekian ratus dirham….”mencoba membela diri.
“Sumbanganmu sekian ratus dirham, penuh riya. Hanya mengharap pujian orang. Tuh, lihat, ikut menumpuk bersama semua amal keburukanmu !”tunjuk malaikat.
Tiba-tiba datang seseorang mengendong anak. Itu dia perempuan miskin dan anak yatim yang pernah kuberi dua potong roti.
“Insya Allah, ini kebaikan Ahmad bin Miskin,”kata perempuan itu sambil meletakkan dua potong roti di atas daun timbangan amal kebaikan yang mencuat ke langit. Tiba-tiba daun timbangan itu menjadi berat. Sehingga turun ke bawah. Menjadi seimbang dengan daun timbangan amal burukku.
“Masih ada lagi kebaikan Ahmad bin Miskin ?”tanya Malaikat. Aku tetap gagu membisu. Tak tahu karena memang tak punya.
“Masih,”jawab perempuan miskin dan anak yatim itu. “Ini tetes air mata bahagia kami, ketika kami menerima dua potong roti dari Ahmad bin Miskin, yang membebaskan kami dari derita kelaparan selama tiga hari.”
Dua tetes air mata, yang kusaksikan keluar dari bola mata perempuan miskin dan anak yatim, diletakkan di atas daun timbangan kebaikanku. Tiba-tiba daun timbangan itu menghunjam ke tanah. Bahkan amblas seukuran lutut. Pertanda dua tetes air mata itu berinilai kebaikan dan kebajikan sangat besar dan berat.
Suara debum daun timbangan kebaikanku itu, membangunkanku dari mimpi siang hari. Aku terbangun. Beristigfar. Juga mengucap Hamdalah. Aku segera bangkit. Melanjutkan perjalanan mencari kedua orang miskin dan yatim itu, untuk kuberi sadaqah infaq lebih besar daripada dua potong roti. Dan pasti lebih ikhlas, agar memiliki nilai amat tinggi di akhirat kelak. [ ]
Sumber : berbagai “kitab kuning” klasik.