Site icon Jernih.co

Empat Pelajaran Berharga Pasca Rehabilitasi Presiden

Rehabilitasi Presiden Prabowo atas kasus PT ASDP mengakhiri darama panjang peristiwa hukum yang serba kontroversial. Apa pelajaran yang dapat dipetik untuk semua pihak?

JERNIH – Suami dan putra Ira Puspadewi—mantan Direktur Utama PT ASDP—berpelukan erat setelah menyaksikan konferensi pers yang digelar Sufmi Dasco Ahmad, Teddy Indra Wijaya, dan Prasetyo Adi. Di hadapan media, mereka mengumumkan bahwa Presiden Prabowo telah menandatangani surat rehabilitasi bagi Ira, Yusuf, dan Harry. Dengan tanda tangan itu, babak panjang drama hukum yang penuh kontroversi akhirnya mendekati epilog: kembalinya mantan dirut dan dua direksi PT ASDP itu kepada keluarga masing-masing.

Sejak awal, kasus ini tidak berjalan seperti lazimnya perkara korupsi. Justru ia melahirkan dua kubu besar di masyarakat: yang mendukung penegakan hukum, dan yang meyakini para terdakwa tidak melakukan tindak korupsi. Bila menelusuri jejak digital melalui Drone Emprit atau Google Trends, tampak dominasi opini publik yang memihak pada para terdakwa—meyakini bahwa keputusan yang mereka ambil adalah keputusan bisnis yang tidak memiliki motif jahat.

Dinamika Kasus yang Tak Lazim

Pertanyaan pun mengemuka: bagaimana mungkin perkara korupsi melahirkan kutub pendapat yang begitu terbelah? Pada banyak kasus serupa, publik hampir selalu berpihak pada penegak hukum. Namun akuisisi PT ASDP terhadap PT JN menghadirkan cerita berbeda. Publik bahkan menyandingkannya dengan “Tom Lembong jilid 2”—sebuah rujukan pada kasus lain yang dituding sarat kriminalisasi pengambilan keputusan.

Sejumlah tokoh kemudian ikut bersuara. Mahfud MD, Rheinald Kasali, Ferry Irwandi, dan berbagai pengamat lainnya menyampaikan pandangan berdasarkan data profit ASDP, nilai jual-beli PT JN, analisis appraisal, dan terutama ketiadaan aliran dana korupsi ke rekening pribadi. Sebagian lain menggunakan pendekatan humanisme, melihat kasus ini sebagai ironi seorang profesional yang pulang ke tanah air untuk mengabdi melalui BUMN.

Namun semua narasi itu berada di luar arena persidangan. Di meja hijau, arah putusan dapat ditebak, yakni berujung pada vonis pidana. Namun vonis tidak bulat. Dua hakim menghukum, satu membebaskan—membuka ruang dissenting opinion yang tajam.

Memang masih ada upaya hukum berikutnya. Tetapi bila Mahkamah Agung menguatkan putusan, bukan hanya status hukum menjadi inkracht, masa tahanan pun dapat bertambah. Atau sebaliknya, dikurangi. Opsi bebas juga bisa terjadi, tetapi akan memakan waktu.

Hak Presiden yang Mengakhiri Kebuntuan

Di tengah situasi yang berpotensi berlarut, Presiden menggunakan hak prerogatifnya. Menurut Dasco dan Prasetyo Adi, keputusan ini diambil karena kuatnya dukungan publik terhadap para terdakwa—analisis yang sesuai dengan pembacaan atas dinamika opini masyarakat.

Keputusan itu bukan sekadar respons terhadap tekanan publik, melainkan pengakuan bahwa argumen-argumen multidimensi dari masyarakat—bisnis, hukum, keuangan, hingga aspek etika korporasi—layak dipertimbangkan. Presiden juga berkonsultasi dengan Mahkamah Agung, menandakan bahwa lembaga peradilan tertinggi pun melihat adanya perspektif lain yang tidak tertampung dalam putusan sebelumnya, termasuk doktrin penting Business Judgment Rule (BJR), kacamata yang lazim dipakai untuk menilai keputusan direksi korporasi.

Di sisi lain, fakta bahwa tidak ada aliran uang ke rekening terdakwa—hal yang diakui oleh ketiga hakim sekalipun—seakan tidak menjadi pertimbangan sentral. Tuduhan bahwa tindakan tersebut memperkaya pihak lain pun tidak dilengkapi bukti detil mengenai siapa penerima manfaat, jalur aliran dana, maupun besarannya. Bahkan belakangan KPK baru akan melanjutkan penyelidikan terhadap PT JN.

Dissenting opinion menjadi sinyal bahwa fondasi perkara ini tidak kokoh. Ruang untuk upaya hukum masih terbuka. Namun rehabilitasi presiden membuat seluruh perdebatan hukum berhenti secara telak.

Empat Pelajaran Penting dari Kasus ASDP

Peristiwa ini meninggalkan sedikitnya empat catatan penting bagi ekosistem hukum dan tata kelola BUMN:

1. KPK perlu menambah sudut pandang dalam menilai perkara korupsi korporasi.

Secara formal KPK menang di tingkat pengadilan pertama, namun gagal meyakinkan publik dan pemerintah bahwa kasus ini bukan sekadar keputusan bisnis. Rehabilitasi presiden mengisyaratkan bahwa substansi penuntutan belum sepenuhnya kuat. Mengabaikan BJR dapat menimbulkan risiko kriminalisasi terhadap keputusan bisnis yang sah—sesuatu yang berbahaya bagi iklim korporasi BUMN.

2. Kemenangan JPU hanya bersifat prosedural, bukan substansial.

Surat rehabilitasi memulihkan nama baik para terdakwa, sekaligus menghapus dampak dari kemenangan jaksa. Kerugian negara yang dituduhkan menjadi kurang relevan ketika publik dan pemerintah melihat keputusan akuisisi sebagai langkah strategis, bukan tindakan jahat.

3. Perbedaan pendapat hakim mengindikasikan lemahnya konstruksi perkara.

Satu hakim yang membebaskan menunjukkan bahwa argumen BJR memiliki landasan kuat. Pandangan ini kemudian menjadi salah satu dasar munculnya rehabilitasi.

4. Peran masyarakat sangat menentukan.

Berbeda dari kasus Tom Lembong yang sarat aroma politik, dalam kasus ini masyarakat terlibat secara organik. Pada fase awal, mereka mengawasi ketat proses peradilan dan mengkritik potensi chilling effect bagi direksi BUMN. Pada fase akhir, aspirasi publik berkembang menjadi dorongan kolektif agar presiden melakukan koreksi melalui hak prerogatif.

Kasus ASDP akhirnya ditutup tanpa ada pihak yang benar-benar menang atau kalah. Namun ia meninggalkan pelajaran berharga bagi tata kelola BUMN di Indonesia: bahwa integritas, niat baik, serta keberanian mengambil keputusan bisnis yang berisiko harus dihargai dan dilindungi—bukan dipidanakan. (*)

BACA JUGA: Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi ke Ira Puspadewi dan Dua Mantan Direktur ASDP

Exit mobile version