Site icon Jernih.co

Gara-gara Wayang Anda Hujat Ulama? Syahadat Ulang Lagi Deh!

Ilustrasi petikan cerita wayang, Bharata Yudha

Tapi tradisi banyak juga yang tidak sejalan dengan perubahan jaman. Misalnya ada adat kami dulu di Nagasaribu. Jaman kakek moyang saya dulu, ada tradisi memakan mayat keluarga kita yang meninggal. Sebagai tanda cinta. Agar si mayat tetap hidup di dalam diri kerabatnya. Pertanyaan saya “Apakah tradisi ini masih perlu dilestarikan?”

Oleh  : Azwar  Siregar*

JERNIH– Kalau ada yang menuduh saya Islam aliran garis keras, ya silakan saja. Tapi keseharian saya masih sering pakai celana pendek. Saya nggak suka pakai celana cingkrang. Saya juga nggak mau memelihara jenggot. Shalat, sesekali masih ketinggalan.

Azwar Siregar

Saya bahkan kadang masih keceplosan mengucapkan “Selamat Natal”. Saya juga tidak setuju dengan pembatasan pembangunan rumah ibadah, baik gereja, masjid, atau pun rumah ibadah lainnya.

Saya, misalnya, kecewa ketika sebagian umat Islam menolak pembangunan gereja di daerah mereka. Walaupun alasannya tidak sesuai dengan SKB Tiga Menteri. Tapi bagi saya, lebih baik seribu rumah ibadah ketimbang seratus mal atau plaza.

Nah ciri-ciri pemikiran begini, kira-kira tergolong Islam garis keras nggak ya?

Teman-teman dan sahabat karib saya juga banyak non-Muslim. Di bisnis saya,  berkali-kali yang menjadi tangan kanan dan kepercayaan saya, justru non-Muslim. Apakah saya masih masuk kategori Islam garis keras?

Rasanya sangat jauh!

Tapi untuk urusan aqidah dan membela ulama, saya akan berdiri di barisan terdepan. Sekarang saya pengen tahu, yang ribut dan menghujat Ustadz Khalid Basalamah, apa sudah menonton video beliau yang dianggap “mengharamkan” wayang tersebut?

Saya tonton bolak-balik. Dan saya tidak ada melihat sedikit pun kata “mengharamkan” wayang di video tersebut.

Ustadz Khalid cuma menyampaikan “Islam harus ditradisikan dan bukan tradisi yang di-Islamkan.” Jadi, kalau misalnya profesi dalang dianggap tidak Islami, ya tinggalkan. Kalau mau bertaubat, silakan musnahkan alat-alat untuk mendalangnya. Termasuk, ya wayang.

Pernyataan ini sebenarnya sangat jelas dan pribadi. Poinnya ke si Dalang yang bertaubat. Bukan ke semua dalang atau memusnahkan semua wayang.

Mosok narasi sederhana begini masih dibelak-belokkan banyak pihak, bahkan sampai dijadikan bahan untuk mengadukan beliau ke jalur hukum.

Rasanya bangsa kita memang darurat bernarasi, berlogika dan memahami masalah. Saya sendiri tidak sepakat sepenuhnya dengan Ustadz Khalid Basalamah. Saya sepakat dengan Islam harus ditradisikan. Tapi beliau melanjutkan “jangan tradisi yang di-Islamkan”.

Kalau menurut saya Islam harus ditradisikan dan tradisi memang harus di Islamkan. Maksud saya beberapa tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita, harus di Islamkan.

Misalnya cerita wayang. Cerita dan tokoh-tokohnya diganti saja dengan kisah islami. Misalnya sahabat-sahabat Nabi. Atau kisah para Wali Songo.

Tapi sekali lagi Ustadz Basalamah tidak bersalah dan tidak ada ucapan beliau yang bermasalah. Justru yang meributkannya yang nggak paham masalah.

Tradisi sendiri tidak selamanya bisa kita lestarikan. Karena banyak tradisi yang tidak sesuai dengan agama dan zaman.

Ok. Anggap saja sebagian dari bangsa kita alergi agama. Tapi tradisi banyak juga yang tidak sejalan dengan perubahan jaman. Misalnya ada adat kami dulu di Nagasaribu. Jaman kakek moyang saya dulu, ada tradisi memakan mayat keluarga kita yang meninggal. Sebagai tanda cinta. Agar si mayat tetap hidup di dalam diri kerabatnya

Pertanyaan saya “Apakah tradisi ini masih perlu di lestarikan?”

Banyak tradisi nenek moyang kita yang pada zamannya bisa dimaklumi, tapi tidak cocok lagi dengan zaman sekarang. Misalnya tradisi Ngayau atau berburu kepala di Kalimantan. Atau tradisi Warok-Gemblak di Pulau Jawa. Tradisi si Gajang Laleng Lipa di Bugis. Tradisi Carok di Madura. Dan masih banyak tradisi lainnya yang pelan-pelan menghilang dan terlupakan.

Jadi tidak perlu berlebihan mengagung-agungkan tradisi. Apalagi sampai menghujat ulama yang hanya menyampaikan pendapatnya sesuai ilmu yang berdasarkan kitab suci.

Silakan lanjutkan tradisi selama tidak bertentangan dengan ayat suci. Tapi sebaiknya,  lupakan tradisi kalau sudah bertentangan dengan ayat Tuhan.

Hanya saja kalau tadisi menurutmu sangat penting, jangan tanggung. Sekalian kembali ke tradisi zaman Pra-sejarah! [ ]

*Pegiat media social, bukan buzzer

Exit mobile version