Solilokui

Giorgia Meloni dan Italia yang Serba Mungkin

Tetapi ketakjuban masa muda itu tampaknya belum sepenuhnya (ia) hilang(kan).  Fratelli d’Italia (Brothers of Italy) yang didirikan Meloni pada 2012, seringkali dikaitkan sebagai turunan Movimento Sociale Italiano (MSI), gerakan yang dibangun para neofasis pemuja Mussolini pascaperang. Apalagi simbol Fratelli d’Italia pun menggunakan simbol yang menampilkan api tiga warna yang telah menjadi ikon MSI. Hal itu ditolak Meloni. Ia bersikeras bahwa nyala api itu “Tidak ada hubungannya dengan fasisme”.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Dalam politik Italia, segalanya terlihat serba mungkin. Dulu, pada 1987, rakyat Italia mendukung seorang bintang film cabul, Cicciolina, terpilih jadi anggota Parlemen. Selama masa kampanyenya buat Partai Hijau—dan kemudian Partai Radikal, Partito Radicale–Cicciolina terbiasa naik podium dengan buah dada terbuka. “Buah dadaku tak melukai siapa pun,” kata dia, “Sementara peperangan mengakibatkan ribuan orang jadi korban.”

Ia bahkan pernah melontarkan ide—entah radikal, sederhana atau gila–untuk bersedia bermain seks dengan Saddam Hussein dan Usamah bin Ladin, asal keduanya setuju untuk membuat dunia damai. Jangan salah, Cicciolina berhasil terpilih kembali untuk masa jabatan kedua saat itu.

Darmawan Sepriyossa

Lalu pada dekade lalu datang pula seorang badut ke pentas politik Negeri Pizza itu. Dan tidak sebagaimana pelawak Indonesia yang keberadaannya selama  jadi anggo-ta Parlemen pas dengan pepatah Arab “wujuduhu ka adamihi” alias tak memberi arti apa pun, Giuseppe Piero “Beppe” Grillo tak hanya nyaring. Ia juga mendatangkan tsunami politik bagi kalangan elit (politik) Itali. Grillo tergolong tokoh di balik menguatnya kekuatan partai-partai ‘populis’ di Eropa saat itu.   

Kini, kita menyaksikan seorang bekas pemuja fasisme naik ke jenjang tertinggi politik Italia: perdana menteri. Padahal, sebagaimana Indonesia mengenal PKI, tampaknya fasisme–yang pernah membuat Italia menjadi paria di Eropa–dikenang warga sebagai biang kerok kepapaan mereka. Dan jangan salah, pemuja fasis di masa muda itu juga seorang wanita: Giorgia Meloni.   

Kita tak pernah tahu apa yang membuat Meloni (sempat) mengidolakan tokoh fasis Italia itu, Benito Mussolini. Apa yang membuat Il Duce, sang diktator yang sejatinya pada Perang Dunia II berada di ketiak Hitler, itu bisa memukau Meloni muda?  Bagaimana bisa, seorang yang menjerumuskan Italia sebagai pecundang perang, yang bahkan gagal kabur ke luar Italia bersama gundiknya, Claretta Petacci, gara-gara tetap menggunakan sepatu mahal nan kinclong tersemir manakala menyamar sebagai petani, bisa ia kagumi? Mungkinkah hanya semacam rasa trenyuh, huzun, menyaksikan seorang pemimpin negeri yang awalnya dipuja-puji itu akhirnya mati digantung terbalik oleh kaum Partisan di alun-alun desa kecil Giulino di Mezzegra, 28 April 1945, atau dua hari sebelum Hitler bunuh diri?

Meloni sendiri tampaknya sadar, ada banyak orang yang akan mempersoalkan masa lalunya. Segera setelah posisinya menguat, ia kontan menyatakan kepada pers, bahwa,”Tidak ada ruang untuk sikap nostalgia.”

Lahir di Roma pada 15 Januari 1977, Meloni dibesarkan di lingkungan kelas pekerja, Garbatella, oleh ibunya, yang menjadi orang tua tunggal setelah sang ayah meninggalkan mereka. Lama terlibat dalam politik Italia, Meloni menjadi menteri termuda dalam sejarah Italia pasca-perang, pada usia 31 tahun.

Meloni muda memang sangat mengidolakan fasisme. Pada usia sangat muda, 19 tahun, ia terekam berkampanye untuk Aliansi Nasional sayap kanan. Saat diwawancarai televisi Prancis, Meloni berkata bahwa “Mussolini adalah politisi yang baik, dalam semua hal yang dia lakukan, dia lakukan untuk Italia.” Benar, bahwa setelah terpilih menjadi anggota parlemen pada tahun 2006, dia mengubah nada suaranya dengan mengatakan dictator itu telah membuat “kesalahan”, terutama soal sikap rasialis, otoritarianisme dan berpihak pada Nazi di bawah Adolf Hitler.

“Kami telah menyerahkan fasisme kepada sejarah, dan dengan tegas mengutuk hilangnya demokrasi, undang-undang anti-Yahudi yang keterlaluan, dan tragedi Perang Dunia II,”kata Meloni, dalam wawancara baru-baru ini dengan media Israel, “Hayom”.

Tetapi ketakjuban masa muda itu tampaknya belum sepenuhnya (ia) hilang(kan).  Fratelli d’Italia (Brothers of Italy) yang didirikan Meloni pada 2012, seringkali dikaitkan sebagai turunan Movimento Sociale Italiano (MSI), gerakan yang dibangun para neofasis pemuja Mussolini pascaperang. Apalagi simbol Fratelli d’Italia pun menggunakan simbol yang menampilkan api tiga warna yang telah menjadi ikon MSI. Hal itu ditolak Meloni. Ia bersikeras bahwa nyala api itu “Tidak ada hubungannya dengan fasisme”.

Sebagai salah satu negara penting di Eropa, Israel tentu saja mengamati perkembangan Italia dengan baik. Dan tampaknya juga, was-was. Bagaimanapun, sejarah fasisme yang bersikap kurang elok terhadap Yahudi membuat negara zionis itu mewaspadai Meloni. Hampir semua media Israel, baru-baru ini menulis masa lalu sang politisi wanita itu, dengan nada sangsi dan hati-hati. Termasuk media terkemuka, Times of Israel.  

Media itu melaporkan, selain memuji Iran dan Hizbullah sebagai pembela Kristen Suriah, Times menunjuk bahwa pada 2018 lalu Giorgia Meloni memuji pemimpin Suriah, Bashar Assad, musuh utama Israel. Media itu juga memuat ulang kecaman Meloni pada pembantaian anak-anak Palestina di Gaza pada tahun 2014.

“Jika bukan karena Hizbullah dan front pro-Assad lainnya,”kata Meloni dalam wawancara tv tersebut,”umat Kristen di Suriah tidak akan lagi dapat menampilkan pemandangan kelahiran Yesus Kristus selama Natal.” Tentu saja, komentar lain yang kurang bersahabat menandai berita itu.

Tetapi benar kata Meloni, “Tidak ada ruang untuk sikap nostalgia.” Baru-baru ini ia telah bersumpah untuk memberikan dukungan untuk Israel dan upayanya untuk menjauhkan partainya dari fasisme yang sering dianggap akar ideologinya. Meloni juga telah berbicara tentang kunjungan sebelumnya ke Israel, termasuk ke Museum Holocaust Yad Vashem yang digambarkannya sebagai pengalaman yang mengguncang hati nurani.

Mungkin Meloni hanya laiknya politisi yang harus fleksibel demi kepentingan. Jangan salah, Italia, sebagaimana negara-negara Eropa lainnya saat ini, tengah butuh pasokan gas alam. Dan itu bisa dipenuhi, di antaranya, dengan pasokan Israel melalui Laut Mediterania timur.

Politik, kata seorang jenderal Prancis yang kemudian jadi presiden, Charles De Gaulle, bukanlah urusan main-main. Bagi Meloni, selain hal itu tak boleh dibiarkan hanya jadi urusan para politikus, juga tak boleh dibuat terlalu rigid, kaku dan melupakan hal yang paling utama: kepentingan. [INILAH.COM]

Back to top button