Oleh: Radhar Tribaskoro
Gridlock artinya macet total. Political gridlock terjadi ketika partai rival di parlemen bergeming, menolak bergeser sedikit pun dari posisi mereka sehingga suatu kebijakan untuk kepentingan publik gagal diputuskan.
Namun ada banyak bentuk political gridlock lainnya. Institutional gridlock adalah kemacetan dalam tubuh pemerintahan karena institusi-institusinya gagal bereaksi dan mengambil kebijakan untuk mengoreksi keadaan yang salah.
Kesalahan tanpa koreksi biasanya terjadi karena ada kekuasaan besar yang mempengaruhi. Misalnya, seorang kapolres yang baru saja menangkap pengedar narkoba terpaksa melepas tangkapannya itu karena telpon pejabat atasan. Contoh lain, seorang sekda kabupaten merekomendasikan orang tanpa pengalaman cukup dan karakter memadai diangkat menjadi kepala dinas, karena bupati memaksa.
Contoh di atas termasuk institutional gridlock yang paling sederhana, terjadi akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Contoh yang paling kompleks adalah gridlock di antara oligarki. Gridlock terjadi karena sesama oligarkh paham dosa oligarkh yang lain, mereka saling melempar kode. “Jangan buka dosa saya kalau dosamu tidak mau diungkap.” Maka kesalahan-kesalahan terjadi tanpa ada koreksi.
Korban utama dari gridlock adalah pegawai negeri. Mereka mestinya bekerja profesional dan imparsial. Artinya mereka menjalankan hukum dengan bersungguh-sungguh tanpa peduli apakah menguntungkan atau merugikan yang kuat atau yang kaya. Ia tidak bekerja lebih cepat untuk orang kuasa, ia tidak boleh mempermudah syarat untuk orang kaya. Semua orang harus diperlakukan sama.
Ketika seorang pegawai negara dipaksa melakukan perbuatan menyimpang dan tidak ada kekuasaan lain yang bekerja memperbaiki kesalahan, maka kesalahan itu menjadi permanen. Banyaknya kesalahan-kesalahan yang menjadi permanen mengacaukan batas antara baik dan buruk, benar dan salah. Mental pegawai dan pejabat pemerintah menjadi rancu karenanya.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang mengalir dari lembaga-lembaga pemerintah melenceng dari tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Gridlock selanjutnya mengikis kemandirian pegawai negeri, mereka takut mengambil keputusan sendiri. Di sisi lain, gridlock memperkuat hubungan feodal di tubuh pemerintahan. Gridlock menyebabkan pemerintahan lamban karena pejabat enggan mengambil risiko.
Gridlock menjadikan fragmentasi ditubuh pemerintahan semakin luas dan dalam, karena setiap orang yang melakukan kesalahan membutuhkan perlindungan. Mereka membangun benteng-benteng perlindungan sebagai sempalan dalam sistem. Fragmentasi itu, secara tidak resmi disebut egoisme sektoral, merusak kohesi di tubuh pemerintahan.
Kesalahan tanpa koreksi meningkatkan ketidak-percayaan rakyat kepada lembaga-lembaga publik. Rakyat menilai hukum tidak bekerja baik, hukum menjauh dari tujuan menciptakan keadilan.
Gridlock itu terjadi dimana-mana pada tingkat pusat, provinsi, dan satuan-satuan pemerintahan lebih rendah.
Gridlock Jiwasraya
Kita bisa menyaksikan fenomena gridlock pada setiap kasus-kasus besar. Pada kasus Jiwasraya misalnya, persoalan mereka telah terekspos kepada Otoritas Jasa Keuangan, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan jauh-jauh hari. From day one, perjalanan Jiwasraya juga terbuka bagi otoritas-otoritas itu.
Namun kerugian yang dialami Jiwasraya menakutkan mereka. Mereka melihat bara panas melampaui geger Century. Lepas dari tanggung jawab, semua otoritas itu tidak memberikan penanganan yang pantas atas masalah yang dihadapi Jiwasraya. Otoritas keuangan, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan tahu ada masalah berat, namun mereka tidak memberikan solusi. Ibarat bola panas, mereka mengambil jarak dari Jiwasraya sejauh-jauhnya dan membiarkan manajemen Jiwasraya mengambil keputusan sendiri untuk mengatasi.
Manajemen Jiwasraya melakukan window dressing dengan merevaluasi aset dan reasuransi. Hal itu menyelamatkan neraca mereka tetapi tidak pada laporan rugi/laba dan cashflow. Jiwasraya terus mengalami bleeding. Seharusnya bleeding itu bisa dihentikan dengan menjual aset. Tetapi menjual aset BUMN bukan hal mudah. Dahlan Iskan pernah tersangkut pidana korupsi gara-gara menjual aset perusahaan daerah.
Jadi semua tutup mata ketika manajemen Jiwasraya menjual produk tidak masuk akal. Jualan laku tetapi ongkosnya mahal sekali. Jiwasraya harus menemukan investasi yang memberikan hasil lebih tinggi daripada imbalan yang mereka janjikan kepada nasabah. Jiwasraya kemudian berinvestasi pada aset yang beresiko tinggi. Keputusan yang salah diikuti oleh keputusan yang salah berikutnya. Sementara itu semua otoritas hanya menyaksikan dari jauh. Mereka tutup mata dan pura-pura tidak tahu bahwa malapetaka mendekati Jiwasraya.
Malapetaka itu meledak sekarang, rakyat tiba-tiba mesti menanggung kerugian besar Rp 17 triliun.
Semua itu terjadi akibat gridlock. Gridlock adalah kanker yang menyerang tubuh negara kita. Gridlock mengakar pada organ kekuasaan dan secara perlahan melumpuhkan fungsi organ-organ negara kita lainnya. [ ]