Kita tak tahu pasti besaran kebocoran saat ini. Tapi tampaknya saya tak terlalu salah manakala merasa kondisi pun tak banyak berubah. Alih-alih menjadi negeri yang kukuh menegaskan sikap anti-korupsi, berbagai contoh malah menunjukkan negeri ini kian ramahkorupsi alias corruption-friendly.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Begitu membaca bahwa pada Selasa (6/9) lalu Lembaga Pemasyarakatan telah membebaskan—meski bersyarat—23 terpidana sohor pelaku korupsi, ingatan saya melayang ke masa sekitar 26 tahun lalu. Saat itu, seorang wartawan yang kini telah senior menulis sebuah kolom yang tak hanya menggemparkan Indonesia, tetapi juga rumahnya karena ia kemudian dikeluarkan dari pekerjaan, “Republic of Vampire”, judulnya, mengupas begitu banalnya korupsi di Indonesia.
Vampire States adalah istilah yang dipakai majalah Newsweek saat menulis laporan panjang soal “Korupsi ala 1996”. Sebelumnya, istilah lebih ‘lembut’ yang banyak digunakan untuk menunjukkan negara-negara yang terbiasa dengan korupsi adalah soft-state, yang mulai dikenalkan ekonom besar Gunnar Myrdal dalam magnum opusnya, “Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations”.
“Republik of Vampire” sebenarnya hanya menguatkan pernyataan sosiolog UGM kala itu, alm Loekman Soetrisno, membuat kekhawatiran Loekman akan kondisi yang mengarah kepada kleptokrasi di negeri ini lebih bersipongang dan membahana. Loekman saat itu menyatakan, “Korupsi sudah merambah sampai ke desa-desa,” kata dia. Sedemikian parah sehingga dana bantuan bencana alam pun ikut dikorup. “Para aparat negara menyedot habis-habisan kekayaan negara sementara rakyat menonton dengan apatis,” kata Loekman, yang tak luput juga diulas Jawa Pos pada 5 Januari 1996.
Loekman mengatakan, sulitnya pemberantasn korupsi itu terjadi karena “makin tipisnya jumlah penguasa Indonesia yang tidak pernah melakukan korupsi.” Meski saat itu ada konsep “Pengawasan Melekat”, semua tak berjalan karena para atasan cukup korup dan membuatnya mustahil mencegah korupsi para bawahan. Para bawahan takut mengkritik atasan yang korup karena mereka sendiri menikmati sistem korup yang tercipta dan membudaya. “Rakyat tak hanya menonton. Mereka menunggu kesempatan untuk juga merampok kekayaan negara,” kata Loekman saat itu.
Rekaman sekian dekade itu justru mengingatkan saya kepada hari-hari ini. Hari-hari yang ironis karena kita telah sekian lama punya lembaga bernama KPK namun masih saja pagi kita dihiasi berita penggarongan bercitra mulia, korupsi namanya. Masih saja ada berita seorang politisi mantan aktivis institusi keagamaan kampus, justru terjerat korupsi dana pembuatan kitab suci. Hari-hari yang riuh dipenuhi warta lancung seorang menteri yang mencoleng dana bantuan sosial kaum miskin di masa pendemi, atau kabar kelakuan para pejabat di setiap tingkat yang menegaskan betapa dalam negeri ini telah terjerumus kleptokrasi.
Dua tahun sebelum lontaran Prof Loekman itu, ekonom terkemuka Indonesia, Prof Soemitro Djojohadikusumo menyampaikan bahwa kebocoran dan inefisiensi anggaran di Indonesia setidaknya 30 persen. Dengan APBN yang pada 1994 itu berkisar Rp 60 triliun, artinya ada Rp 20 triliun sendiri yang bocor, tercecer akibat perilaku para tikus yang ramai-ramai melobangi untuk mengambilnya demi keuntungan sendiri.
Kita tak tahu pasti besaran kebocoran saat ini. Tapi tampaknya saya tak terlalu salah manakala merasa kondisi pun tak banyak berubah. Alih-alih menjadi negeri yang kukuh menegaskan sikap anti-korupsi, berbagai contoh malah menunjukkan negeri ini kian ramahkorupsi alias corruption-friendly.
Ada beberapa fakta yang mendukung pemikiran betapa Indonesia terkesan ramahkorupsi meski Lembaga antirasuh KPK telah berdiri. Misalnya, seringkali putusan hakim atas koruptor lebih rendah dibanding tuntutan jaksa. Bekas Gubernur Jambi, Zumi Zola, salah seorang dari 23 mantan terpidana korupsi yang bebas Selasa (6/9) lalu, adalah salah satu contoh. Putusan hakim untuk Zumi, yakni enam tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan, delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Sementara pesohor korupsi lain, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mendapatkan pengurangan hukuman setahun dari putusan delapan tahun penjara, setelah PK-nya dikabulkan. Dikurangi sekian banyak remisi dan pengurangan hukuman lainnya, pemenjaraannya akan jauh lebih berkurang lagi. Ingat, ke-23 terpidana korupsi yang keluar Selasa lalu itu mendapatkan PB alias Pembebasan Bersyarat, yang artinya sama juga dengan keluar dengan pengurangan hukuman.
Lainnya, para bekas koruptor itu pun tak punya hambatan untuk kembali memegang jabatan mereka, baik sebagai wakil rakyat di DPR atau DPD, maupun sebagai eksekutif mengemban amanah pemerintahan. Mereka bisa maju sebagai calon legislator maupun calon senator pada Pemilu 2024. Toh Mahkamah Agung sendiri sudah menggariskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada pasal 240 ayat (1) huruf g, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR RI/DPRD dan calon anggota DPD RI. Mereka hanya diwajibkan mengumumkan kepada publik lebih dahulu bahwa dirinya pernah dihukum penjara dan telah selesai menjalani hukuman tersebut. Katakanlah, hanya semacam “pengakuan dosa”.
Itu pun hanya untuk para koruptor yang dipidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Bekas koruptor yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun penjara, mereka bisa melenggang langsung begitu saja.
Oh ya, dalam Pemilu 2019 lalu, tercatat setidaknya 49 calon anggota legislatif/senat merupakan bekas napi korupsi. Banyak dari mereka kemudian lolos menjadi anggota DPD RI dan DPRD.
Selain itu, pernahkah kita mendengar ada vonis mati untuk koruptor, dalam setidaknya dua dekade ini? Bahkan hakim yang sempat sangat ditakuti karena sikapnya, alm Artidjo Alkostar, sepanjang hayatnya tak bisa memenuhi keinginannya itu.
“Saya sebetulnya ingin menghukum mati koruptor, terus terang. Tapi secara yuridis, itu sangat sulit,” kata alm Artidjo dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab. Artidjo menyebut hal itu karena ,”…saya kira pinternya pembuat undang-undang kita,” kata dia.
Tampaknya karena itu, karena para politisi kita di DPR sebagai pembuat UU memang tak menghendaki ketegasan itu terjadi. Apakah ini karena fakta pun menunjukkan betapa para politisi ini menyumbang banyak peran pada kelompok para koruptor dalam fakta dunia hukum kita?
Setidaknya, Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengatakan, partai politik memiliki peran sangat signifikan menentukan masa depan Indonesia bebas korupsi. Berdasarkan data hingga April 2022, Firli mengatakan KPK menangani 310 perkara yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 22 perkara yang melibatkan gubernur, serta 148 perkara yang melibatkan wali kota atau wakil wali kota serta bupati dan wakil bupati se-Indonesia. Hal itu melibatkan 1.389 orang tersangka, dengan 310 anggota DPR RI-DPRD; 148 orang walikota-bupati, 33 kepala K/L, 24 hakim, dan 22 orang gubernur.
Budaya tanpa malu?
Ada yang mengatakan, budaya kita yang nyaris tak bermalu yang membuat hal busuk ini terus terjadi. Bandingkan saja dengan Korea, misalnya, negara yang saat ini melesat jauh meninggalkan kita.
Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, terpaksa mengundurkan diri dan lari dalam perasaan malu ke Hawaii pada 1960. Chun Doo-hwan, yang memimpin negara itu dari 1979 hingga 1988, dijatuhi hukuman mati. Penggantinya Roh Tae-woo dijatuhi hukuman lebih dari 20 tahun penjara karena korupsi dan pengkhianatan. Kedua pemimpin itu kemudian diampuni pada tahun 1997. Kim Yong-sam yang memerintah dari 1993 hingga 1998, dituduh menjerumuskan Korea Selatan ke dalam krisis moneter Asia dan dihukum. Ia menyaksikan putranya dikirim ke penjara karena memperdagangkan posisi resmi.
Kim Dae-jung, yang memerintah antara 1998 dan 2003, meski menerima Hadiah Nobel untuk pendekatannya ke Korea Utara, menyaksikan putranya dihukum karena menerima suap dari para pebisnis. Roh Moo-hyun memerintah dari 2003 hingga 2008, bunuh diri pada 2009 di tengah tuduhan bahwa anggota keluarganya telah menerima suap dan kakak laki-lakinya dijatuhi hukuman pada tahun yang sama. Pada 2017 lalu, Presiden Park Geun-hye, putri mantan Presiden Park Chung-hee, dimakzulkan dan menghadapi hukuman seumur hidup. Kita sama sekali tak punya keberanian untuk adil memperlakukan siapa pun, termasuk kalau pun dia mantan pemimpin kita.
Lalu bagaimana agar kita yang waras dan berkeinginan menegakkan keadilan dan masa depan terbaik bagi negeri ini tetap menjalani hidup dalam damai dan waras. Barangkali, kiatnya sebagaimana puisi penyair besar, alm Hamid Jabbar, “Jakarta 3”.
“Kecewa adalah sah
dan tak kecewa barangkali lebih indah
Tapi harap pertahankan kewarasan.
Hidup di Jakarta
rumusnya barangkali sederhana saja
Lupa.” [dsy]