Secara personal, Arief Budiman punya tempat sangat khusus. Saya ceritakan soal ini kepada Arief (dan Leila) saat bincang-bincang di Columbus. Ia hanya tertawa. Saya yakin sangat banyak orang yang — seperti saya — sudah berterima kasih padanya untuk sumbangan intelektual yang ia berikan diam-diam.
Oleh : Eep Saefulloh Fatah
Kami menjemputnya di bandara Columbus. Seingat saya, itu musim panas 2002. Saya menyetir. Dodi Ambardhi, menantunya duduk di depan, di samping kanan saya. Mas Arief Budiman dan Mbak Leila Chairani, isterinya, duduk di baris kedua.
“Mobil kamu bagus sekali,” kata Arief saat mendudukkan dirinya di kursi. Saya tak tahu persis apakah ini pujian sungguh-sungguh atau sekadar basa-basi.
Saya menjemput Arief dan Leila dengan Toyota Previa yang sudah sepuh. Usianya sudah 10 tahun waktu itu. Saya beli sebagai mobil bekas dengan harga terjangkau. Alih-alih merespon pujiannya, saya ceritakan betapa mobil MPV itu memang masih sangat bisa diandalkan. Juga berjasa. Dengannya, bersama keluarga saya dan keluarga Rizal Mallarangeng, saya menjalani Columbus – Washington DC untuk hadir dalam inaugurasi Presiden Geroge W Bush, Januari 2001.
Mobil bongsor ini pun menjadi saksi dua orang yang “mendukung” partai berbeda menjalani perjalanan panjang di bawah udara dingin dan hujan salju di sejumlah titik. Rizal memang “pendukung” tulen Partai Republik.
Perjumpaan dengan Arief Budiman di Columbus 2002 itu membawa saya pada beberapa aspek personal Arief Budiman. Ketika saya ungkapkan kekaguman pada kebugaran dan awet mudanya, ia bercerita sudah lama menjadi seorang vegetarian. Ia menganggap semua binatang adalah temannya. Karena itu, “Mana mungkin saya makan teman,” katanya setengah bergurau.
Ia terlihat sangat bersahaja. Mbak Leila Budiman juga. Sebagai pasangan mereka sangat menginspirasi. Dari luar tak terlihat sama sekali sebagai pasangan romantis. Tapi, dengan mudah kita tahu betapa kuat ikatan di antara mereka berdua. Setara dalam kebersahajaan sikap dan dalam kerendah-hatian. Setara juga secara intelektual.
Saat saya memulai perkuliahan di jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia, tak bisa tidak saya berkenalan dengan sosok Arief Budiman. Lewat ‘Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie, adiknya. Juga lewat gagasan-gagasan alternatif Arief, terutama yang saya baca dari disertasinya di Harvard University yang diterbitkan, Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende*.
Arief adalah intelektual yang berjasa besar bagi mahasiswa dan orang kampus di tahun 1980-an dan 1990-an seperti saya. Kampus dan dunia akademik saat itu dicengkram oleh suasana politik yang monolitik. Kekuasaan dikendalikan dengan langgam sentralistik, menyeragamkan, dan mengekang. Suara-suara alternatif dibatasi dan bahkan diharamkan. Dari dalam suasana ini, gagasan-gagasan alternatif Arief Budiman menyentak-nyentak.
Di zaman sekarang, siapa saja bisa bersuara keras dan kritis. Pada masa Orde Baru itu, politik jauh lebih mencekam dan mengekang. Maka cendekiawan yang kritis seperti Arief Budiman menjadi monumen yang menjulang. Atau seperti oase di tengah padang pasir.
Saat saya memimpin Senat Mahasiswa (SM) di Fakultas dan Forum Komunikasi SM dan Badan Perwakilian Mahasiswa se-Universitas, saya menjadi akrab dengan nama Arief Budiman. Sebab, ia adalah salah seorang tokoh yang sangat terlarang untuk diundang ke diskusi atau seminar yang kami adakan. Namanya ada di urutan atas dalam black list birokrasi kampus, bersama Ali Sadikin, sejumlah Tokoh Petisi 50, dan Jenderal Soemitro.
Saya tak mengenal dekat Arief Budiman secara pribadi. Apalagi dekat. Tetapi namanya punya tempat khusus untuk saya — secara personal. Ini berkaitan dengan sebuah buku tipis karyanya.
Mungkin sudah tak banyak orang ingat bahwa Arief Budiman pernah menulis sebuah buku tipis, kurang dari 100 halaman, “Pengalaman Belajar di Amerika Serikat: Sebuah Rekaman Pribadi”. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas) tahun 1983. Gramedia menerbitkannya ulang sekitar satu dekade kemudian.
Seingat saya, itu akhir 1992. Saya habiskan berjam-jam duduk di pinggir satu ruas jalan layang yang belum selesai, yang melintas di atas jalan tol jagorawi, di sekitar Taman Mini. Menghabiskan buku tipis itu. Sejak itulah saya tanam niat, suatu ketika saya ingin mengecap pendidikan di luar negeri sebagai sebuah pengalaman personal mengasyikkan seperti yang Arief Budiman tuturkan.
Pengalaman personal berikutnya terjadi di sekitar waktu yang sama. Saat itu, saya sedang mulai serius menulis skripsi. Tema sudah saya dapatkan. Pilihan kasus-kasusnya sudah saya temukan. Tapi saya masih galau dengan pilihan kerangka teorinya yang tepat.
Saat itu, Dr Farchan Bulkin (almarhum), pengajar ekonomi politik di jurusan Ilmu Politik UI, sedang giat-giatnya menggemakan “Bring the State Back In“. Teori Negara sedang menjadi bahan diskusi ramai. Saya tertarik menggunakannya. Tapi belum menemukan literatur yang secara spesifik membuat pemetaan rumpun teori dengan spektrum yang sangat luas ini.
Berjumpalah saya dengan naskah buku Arief Budiman yang belum diterbitkan, ‘Negara: Teori dan Gejalanya di Indonesia’ (1992). Saya lupa bagaimana mendapatkan naskah buku ini. Persis inilah literatur yang saya cari. Berbasis bahan pustaka buku ini, saya melakukan penelusuran literatur lebih lanjut — sesuatu yang sama sekali tak mudah di zaman pra-internet dan pra-demokrasi waktu itu.
Berkat naskah buku itu, saya pun bisa lanjut menulis skripsi. Dengan mantap. Bahkan, atas saran Drs. Arbi Sanit, pembimbing skripsi saya, bagian teorinya saya kembangkan khusus, menjadi satu bab tersendiri dalam skripsi. Berkat naskah Arief juga saya berkesempatan menulis makalah panjang tentang Teori Negara dan kontekstualisasi untuk Orde Baru yang kemudian terpublikasi dalam Jurnal Prisma.
Maka, bagi saya, secara personal, Arief Budiman punya tempat sangat khusus. Saya ceritakan soal ini kepada Arief (dan Leila) saat bincang-bincang di Columbus. Ia hanya tertawa. Saya yakin sangat banyak orang yang — seperti saya — sudah berterima kasih padanya untuk sumbangan intelektual yang ia berikan diam-diam.
Sudah lama saya tak mendengar kabar Mas Arief dan Mbak Leila. Karena secara personal memang tak dekat, saya tak punya kontak khusus dengannya. Sampai kemudian datanglah berita duka itu.
Arief Budiman berpulang dalam usia 79 tahun di sebuah rumah sakit di Ungaran, Jawa Tengah, Kamis, 23 April 2020 siang. Ia pergi setelah lama bergulat dengan Parkinson.
Seorang intelektual tulen telah pergi. Padanya kita tak hanya bersua dengan intelektualitas. Tetapi juga intelektualisme. Baginya, intelektualitas bukan sekadar perlengkapan teknokratis. Melainkan panggilan hidup. Juga panduan dan pegangan hidup.
Prof R William Liddle — dalam ucapan dukanya ke muridnya Dodi Ambardhi yang juga menantu Arief — pun menulis: “Ia membela hak siapapun untuk mengemukakan pandangannya, asal jujur secara intelektual.” Itulah intelektualisme. Dan intelektualisme itu memeluk Arief hingga akhir perjalanannya.
Selamat jalan Prof Dr Arief Budiman. Selamat menjemput kebebasan yang hakiki dalam keabadian. [ ]
(Bintaro, Jumat, 24 April 2020)
*Judul yang benar: Jalan Demokratis ke Sosialisme