Mencuri itu hina, apalagi bila yang dicuri tak bukan melainkan kata-kata. Keyakinan itu erat dipegang mendiang Pramudya Ananta Toer. Sastrawan besar itu bilang,”Siapa mencuri kata-kata, berarti mencuri pikiran. Siapa mencuri pikiran, berarti mencuri hal yang hakiki dari manusia. Mencuri pikiran, merendahkan hak-hak manusia, berarti melenyapkan apa yang membedakan manusia dari binatang,” kata Pramudya dalam ‘Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir’, halaman 53.
Tampaknya, bila saja Pram belum berpulang, ia akan lebih bermuram. Selama lima tahun terakhir, Indonesia begitu mencatat begitu banyak para ilmuwan terhormat ternyata tak lebih sekadar penjiplak.
Kejadian terakhir bahkan membuat kita lama terpana. Bagaimana tidak, bila seorang secemerlang Anggito Abimanyu pun secara telak terhantam isu plagiarisme?
Andai saja bukan Anggito, mungkin tak banyak yang akan terhenyak. Tetapi bagaimana mungkin seorang lurus dari sebuah kampus bagus; yang pernah aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia sebagai sekretaris umum; yang tidak pernah diterpa isu apa pun selama berkarier di Kementerian Keuangan; yang mampu mengundurkan diri sebagai birokrat di kementerian basah hanya demi keinginan untuk mengajar kembali di kampus yang dicintainya; yang kemudian diangkat kembali menjadi birokrat sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama karena memiliki integritas untuk memperbaiki penyelenggaraan haji dan umroh yang selama ini ditengarai sarat korupsi, pada akhirnya harus terjerembab masalah jiplak menjiplak?
Sungguh menyakitkan, bukan hanya untuk Anggito sendiri melainkan publik negeri ini. Terpelesetnya Anggito seolah membuat logika kita langsung berkata,” Kalau figur selurus Anggito saja bisa…” Episode paling akhir dari kisah ini, Anggito dikabarkan mengundurkan diri dari Universitas Gadjah Mata.
“Demi mempertahankan kredibilitas UGM sebagai universitas dengan komitmen pada nilai-nilai kejujuran, integritas dan tanggung jawab akademik, saya, Anggito Abimanyu, telah menyampaikan permohonan pengunduran diri sebagai dosen kepada Rektor UGM,” kata Anggito, membaca pernyataan tertulis pengunduran dirinya sebagai pengajar, di UC Resto, Bulaksumur, Yogyakarta, Senin (17/2/2014).
Anggito ibaratnya terpeleset kerikil kecil. Bukan buku tebal yang ia jiplak, melainkan hanya sebuah artikel pendek di harian Kompas. Ironisnyaentah bagaimana sistem di harian itu bergerak, jiplakan Anggito itu dimuat juga oleh harian yang sama.
Parahnya, plagiasi itu begitu telanjang, tak hanya kata-kata, melainkan sampai titik dan koma. Itulah yang dengan segera membuat publik sadar bahwa artikel Anggito, Gagasan Asuransi Bencana yang dimuat di Kompas, 10 Februari 2014 itu tak lain hanya tiruan kasar dari artikel Menggagas Asuransi Bencana, tulisan Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan pada 21 Juli 2006. Terlalu banyak kalimat dan paragraf yang sama persis dalam kedua artikel itu.
Anggito sendiri tetap menolak dirinya melakukan pagiasi, meski meminta maaf. “Tidak ada plagiat, itu salah kirim file, tetapi fatal,” kata Anggito.
Praktisi pendidikan Musni Umar, menyatakan terpukul oleh insiden tersebut. Bagi dia, plagiasi dalam dunia pendidikan Indonesia sudah sangat parah. Apa yang menjadi fakta menunjukkan betapa di dunia pendidikan kita, nilai-nilai kejujuran yang seharusnya menjadi pilar utama, telah roboh. “Plagiat dan segala jenisnya merupakan tabu dan dilarang keras di dunia akademik. Tidak hanya merusak kredibilitas dunia pendidikan, tetapi juga merusak masa depan bangsa,” kata pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, tegas.
Kondisi Indonesia untuk plagiarisme memang parah. Anggito, bukan yang pertama. Sebagaimana dirinya, Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Anak Agung Banyu Perwita, sebelumnya juga dipecat untuk urusan yang sama. Banyu Perwita, dosen berkarie