Jernih.co

Ironi Industri Nikel Nasional (1): Menggugat Eksploitasi Cadangan Nikel Pro-Konglomerat dan Asing

Jika diasumsikan nilai tukar USD/Rp = 14.500 dan harga jual cadangan bijih Ni kurang dari 1,7% jika diekspor nilai jual bijih berdasarkan harga bulan November sesuai International market berkisar USD 71/ton, maka devisa negara yang tak teroptimalkan akibat terbuangnya cadangan bijih Ni kurang dari 1,7% setiap tahun sejak 2020 hingga 2024, secara total Rp 1.252,04 triliun!

Oleh  : Marwan Batubara*

JERNIH– Sesuai Pasal 170 UU Minerba No.4/2009, larangan ekspor bijih mineral mestinya sudah berlaku sejak Januari 2014. Ketika saatnya tiba, muncul relaksasi melalui PP No.1/2014 dan larangan ekspor mundur ke tahun 2017. Pada 2017, kembali terjadi relaksasi melalui PP No.1/2017, sehingga larangan baru akan efektif 2022. Maka, program hilirisasi minerba pun gagal.

Ternyata, sesuai Permen ESDM No.11/2019, larangan ekspor dipercepat khusus bijih nikel, menjadi Januari 2020. Maka muncul apresiasi, karena akan diperoleh berbagai nilai tambah. Indonesia akan untung, penerimaan negara akan meningkat. Benarkah demikian? 

Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara

Merujuk presentasi Ditjen Minerba (Juni 2020) cadangan bijih nikel nasional (status terbukti dan terkira) sekitar 4.59 miliar ton, terdiri dari bijih kadar Ni lebih dari 1,7% sekitat 930,10 juta ton dan bijih kadar Ni kurang dari 1,7% sekitar 3,66 miliar ton. Berdasarkan U.S Geological Survey, Indonesia menjadi negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia (24%). Urutan berikut adalah Australia (23%), Brazil (12%), Rusia (8%), Cuba (5%), dst.

Dalam hal pendapatan, karena menjadi negara produsen terbesar dunia, dari berbagai kegiatan bisnis seputar industri nikel mulai dari penambangan, smelting, produk logam, industri turunan/hilir, dan lain-lain, maka mestinya Indonesia menjadi negara yang memperoleh pendapatan tertinggi pula di dunia. Ternyata prakteknya tidak demikian.

Dari proses penambangan saja, negara Indonesia sudah dirugikan triliunan rupiah. Belum lagi jika ditelusuri pada hal-hal lain terkait proses smelting, pricing, tarif pajak, kebijakan tenaga kerja, dll. Maka akan ditemukan kerugian negara yang semakin besar, berjumlah ratusan triliun rupiah. Karena besarnya kerugian itulah maka tulisan ini kami beri judul utama, “Ironi Industri Nikel Nasional”.

Ini bukan halusinasi. IRESS akan membuktikan nestapa di atas secara faktual sesuai infomasi dan data pendukung, serta kajian praktis ilmiah. Semua masalah akan dijelaskan dalam tulisan berseri, yang membahas aspek-aspek eksploitasi cadangan, harga bijih (Harga Patokan Mineral, HPM), tenaga kerja (TKA Cina), manipulasi sistem keuangan, dan lain-lain. Tulisan pertama ini membahas masalah terkait kebijakan eksploitasi cadangan bijih nikel.

Masalah eksploitasi cadangan nikel terkait erat antara lain dengan kebijakan hilirisasi,  profil cadangan bijih, jenis dan jumlah smelter, kepentingan industri nasional (logam dan produk turunan), serta orientasi keberlanjutan dan keadilan inter generasi. Karena itu, ekspolitasi SDA nikel mestinya jauh dari pola kuras sebanyak mungkin dalam waktu singkat.

Kebijakan hilirisasi akan memberi nilai tambah terbesar jika produk akhir bukan hanya hasil tambang dan smelting berupa produk antara seperti nickel pig iron (NPI), Ferro Nickle dan Nickel Matte, tetapi juga sampai pada berbagai proses fabrikasi produk jadi. Selain itu, bijih sebagai input smelter nikel harus termanfaatkan secara optimal tanpa ada yang terbuang. Jenis smelter yang digunakan pun harus tepat, input dan output harus sesuai.

Dalam industri nikel dikenal dua jenis teknologi pemurnian (smelting), yaitu pyrometallurgy (contoh: rotary kiln electric furnace/RKEF dan blast furnace/BF) dan hydromtelallugy (high pressure acid leach/HPAL dan mix hydroxide precipitates/MHP). Saat ini di Indonesia telah beroperasi 11 buah smelter RKEF dengan total produksi 443.000 ton nikel. Smelter teknologi HPAL (3 buah) dan MHP (3 buah) saat ini masih dalam tahap perencanaan. Sesuai data dari KESDM, hingga 2026 total smelter nikel akan bertambah menjadi 29 buah.

Bahan mentah sebagai input smelter RKEF adalah bijih nikel dengan kadar logam Ni lebih dari 1,8%, disebut saprolite yang harga FOB international November 2020 sekitar USD 81/WMT. Sedang input untuk smelter HPAL dan MHP adalah bijih dengan kadar logam Ni kurang dari 1,5%, disebut limonite. Harga limonite berdasarkan harga FOB international berkisar antara USD 55/WMT, tergantung kandungan kadar logam Sc (Scandium). Smelter lokal yang berdiri di Indonesia saat ini baru menetapkan Harga Patokan Mineral (HPM) semenjak bulan Oktober 2020, dimana selisih harga FOB international antara HPM dengan Harga International berkisar USD 48 (HPM FOB 1.8 % bulan November 2020 hanya USD 33 versus harga internasional USD 81).

Dalam kondisi smelter di Indonesia menggunakan teknologi RKEF yang membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (Ni lebih dari 1,7%), smelter kadar rendah belum tersedia dan ekspor bijih nikel (kadar rendah) dilarang, maka bijih nikel kadar rendah sebagai “bijih ikutan” kegiatan eksploitasi, akan menjadi “waste” yang terbuang sia-sia. Hal ini tentu sangat merugikan dari sisi ketahanan mineral, penerimaan negara dan nilai tambah.

Hingga 2026, berdasarkan data ESDM akan beroperasi 29 smelter dan dimungkinkan akan beroperasi lebih dari 40 smelter berinput bijih kadar Ni lebih dari 1,7% membutuhkan bijih yang terus meningkat. Cadangan bijih yang dimiliki Indonesia sekitar 930,10 juta ton. Kebutuhan bijih seluruh smelter tersebut pada 2020, 2021, 2022, 2023, 2024, 2025 dan 2026 masing-masing adalah 46,71 juta ton,      72,98 juta ton,      143,01 juta ton, 153,56 juta ton, 213,57 juta ton, 213,57 juta ton dan 213,57 juta ton. Maka pada 2026 smelter akan kekurangan pasokan bijih kadar Ni lebih dari 1,7% sekitar 126,75 juta ton!

Terlihat, praktis cadangan bijih kadar Ni lebih dari 1,7% hanya bertahan sekitar 6 tahun. Dan dimungkinkan kekurangan pasokan bijih nikel ini akan lebih cepat dari perkiraan apabila jumlah smelter melebihi dari yang diperkirakan.

Dengan analisis yang sama, jika cadangan bijih nikel berkadar rendah Ni kurang dari 1,7% (limonite) sekitar 3,66 miliar ton, dan smelter didominasi teknologi RKEF, dengan asumsi yang moderat stripping ratio mendapatkan ore kadar 1,8 % adalah 1 banding 2, maka cadangan bijih nikel tersebut hanya akan bertahan maksimal sekitar 14 tahun! Ketahanan low grade nikel ini akan jauh lebih cepat lagi apabila striping ration lebih tinggi dari 1 : 2. Kondisi ini menunjukkan industri nikel nasional tidak sustainable.

Sejalan dengan usia eksploitasi yang singkat tersebut, sebagian bijih Ni kurang dari 1,7% justru terbuang percuma. Hal ini terjadi karena secara alami, jika tanah berada pada lapisan teratas (permukaan bumi), maka keberadaan fisik bijih nikel kadar rendah ada pada lapisan berikut, dan nikel kadar tinggi berada di bagian terbawah. Artinya, saat nikel kadar tinggi (saprolite) di bagian bawah diekstrak, maka secara praktis nikel kadar rendah juga ikut terambil.

Akibat smelter HPAL belum beroperasi dan larangan ekspor bijih, maka bijih nikel kadar rendah (Ni kurang dari 1,7%) menjadi waste, terbuang percuma! Selama tujuh tahun sejak 2020 –2026, volume bijih nikel kadar rendah yang akan “terbuang” masing-masing 93,44 juta ton, 145,96 juta ton, 286,05 juta ton, 307,13 juta ton, 427,05 juta ton, 427,05 juta ton.

Jika diasumsikan nilai tukar USD/Rp = 14.500 dan harga jual cadangan bijih Ni kurang dari 1,7% jika diekspor nilai jual bijih berdasarkan harga bulan November sesuai International market berkisar USD 71/ton, maka devisa negara yang tak teroptimalkan akibat terbuangnya cadangan bijih Ni kurang dari 1,7% setiap tahun sejak 2020 hingga 2024, masing-masing adalah Rp 92,88 triliun, Rp 145,081 triliun, Rp 284,300 triliun, Rp 305,286 triliun, dan 424,491 triliun. Total devisa tak teroptimalkan 2020-2024 adalah total Rp 1.252,04 triliun!

Selain itu, karena terbuangnya bijih Ni kurang dari 1,7%, negara juga kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan bea keluar (10%), royalty (10%) dan PPh (1,5%). Kehilangan pendapatan setiap tahun sejak 2020 – 2024 adalah Rp 19,96 triliun, Rp 31.19 triliun, Rp 61.12 triliun, Rp 65.64 triliun, dan Rp 91.27 triliun. Total devisa tak teroptimalkan 2020-2024 adalah Rp 268,18 triliun!

Di samping itu, ketahanan mineral nasional pun terancam! Berbagai kerugian ini terjadi karena nickel ore terbuang percuma akibat belum siapnya smelter HPAL. Penyebab utama adalah, eksploitasi serampangan, minim visi, alpa prinsip zero waste mining extraction, dan gagal menjalankan prinsip sustainable exploitation yang berkeadilan. Penyebab lain, bisa saja karena menjadi korban konspirasi investor dan negara asing.

Jika negara dan bangsa rugi ratusan triliun rupiah akibat salah kelola, moral hazard dan rekayasa konspiratif, maka para konglomerat dan investor Cina justru untung besar. Mereka bukan saja mengeluarkan biaya investasi rendah karena menggunakan teknologi smelter murah (investasi RKEF lebih rendah dibanding HPAL), memperoleh bijih nikel kadar tinggi berharga murah, secara manipulatif dan sarat kejahatan pajak, mereka pun bahkan mendapat berbagai keringanan bea masuk dan pajak. Para konglomerat dan investor Cina pun bekerja sangat erat untuk menjamin pasokan produk antara (intermediate, bukan produk akhir!) dari smelter, terutama nickle pig iron (NPI) yang memang sangat banyak dibutuhkan Cina. 

Uraian di atas menunjukkan negara telah dirugikan secara ekonomi, ketahanan mineral  dan lingkungan akibat kebijakan eksploitasi tambang nikel yang tidak menerapkan prinsip-prinsip manajemen sumber daya berkelanjutan, good mining practices, zero waste extraction dan keadilan antargenerasi, serta good governance. Investor Cina datang menguras bijih nikel Indonesia secara brutal dan sarat moral hazard demi mengeruk keuntungan dan memenuhi kebutuhan produk nikel negaranya. NKRI justru terlibat, mendukung, atau “termanfaatkan”?

Kembali ke pertanyaan di awal tulisan, maka percepatan larangan ekspor bijih bukan hal yang penting dan menguntungkan, tetapi justru merugikan karena besarnya volume bijih tambang nikel yang terbuang. Jika ekspor bijih nikel kadar rendah dibolehkan dan Indonesia sebagai produsen terbesar tambang nikel menerapkan pembatasan/kuota produksi, maka negara justru memperoleh tambahan pendapatan. Bukan kerugian ratusan triliun rupiah.

Pemerintah harus kembali pada amanat Pasal 33 UUD 1945, SDA nikel harus dikuasai negara melalui BUMN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penambangan dan smelting serta fabrikasi produk turunan harus didominasi BUMN, bukan oleh swasta konglomerat, apalagi oleh asing. Karena lebih menguntungkan konglomerat dan China, maka sekarang saatnya pemerintah menghentikan kampanye hilirisasi industri nikel inskonstitusional, manipulatif dan anti sustainable development atas nama peningkatan ekonomi, investasi (FDI), lapangan kerja, penerimaan negara, dan lain-lain.

Akhirnya, dari pada menebar “angin surga” tentang fabrikasi produk nikel dan litium untuk batere mobil listrik, lebih baik pemerintah segera menerapkan kebijakan penambangan nikel dan mineral sesuai prinsip-prinsip konstitusi, keberkelanjutan, zero waste extraction, berdaulat, bermartabat dan pro rakyat. Ironi dan nestapa industri nikel harus diakhiri. Dominasi konglomerat dan Cina, serta pejabat pro-Cina harus digantikan oleh BUMN dan NKRI. Maka, segera terapkan pembatasan produksi tambang guna peningkatan ketahanan mineral dan penerimaan negara demi kesejahteraan rakyat.[ ]

Jakarta, 8 Desember 2020.

* Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)

Exit mobile version