Site icon Jernih.co

Islam dan Negara [1]

Ilustrasi: Perang Aceh

Ideologi jihad secara jelas ditunjukkan dalam Perang Aceh (1873-1903 dan sesudahnya), waktu itu jihad melawan kafir merupakan satu-satunya alasan perang. Sekalipun motivasinya bermacam-macam banyak pemberontakan petani pada abad ke-19 juga menunjukkan ideologi jihad. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihadlah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah dan banyak laskar lain, serta tentara “resmi”. Perlawanan pada komunisme sebelum dan pada 1965-1966 adalah berkat ideologi jihad itu.

Oleh   : Prof Kuntowijoyo*

JERNIH—Sejarah adalah guru kehidupan (historia vitae magistra). Dengan pengala-man sejarah, orang menjadi lebih arif dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Dengan belajar kita menjadi tahu.

Tuhan bertanya:“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui?” (QS Az-Zumar [39]: 9)

Sebagai kelompok, umat sudah belajar banyak  dari sejarah. Diharapkan bahwa umat “tidak akan kehilangan tongkat dua kali”.

Prof Dr Kuntowijoyo

Agama dan negara

Agama dan negara adalah dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya. Agama adalah kabar gembira dan peringatan (basyiran wa nadzira, baca QS Al-Baqarah [2]: 119), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa (coercion). Agama punya khatib, juru dakwah, dan ulama, sedangkan negara punya birokrasi, pengadilan, dan tentara. Agama dapat memengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama (collective conscience), negara memengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan, dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar.

Agama dan negara dapat bertemu, ketika keduanya dilembagakan dalam partai, suatu gejala yang bisa terdapat di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Semua partai mengklaim mewakili umat Islam, semua partai punya lembaga keislaman. Dalam Pemilu sering terjadi “perang” simbol memperebutkan suara pemilih Muslim. “Perang” simbol itu semakin berkurang bersama kecenderungan pemilih meninggalkan politik simbolis menuju politik substantif, bahkan ada kecenderungan ke arah politik yang pragmatis.

Adapun ormas-ormas agama relatif bebas dari pengaruh campur tangan negara, sepanjang mereka tidak berbuat yang negatif. Biasanya tokoh-tokoh mereka hanya mengatakan agama sebagai moral force (KH. Abdurrahman Wahid, NU) atau menganut high politics (H.M. Amien Rais, Muhammadiyah), pendek kata semuanya sependapat bahwa ada keterkaitan antara agama dan negara.

Dalam sejarah Indonesia masa kini, agama dan negara dapat bertemu dalam tiga OPP, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Tidak diragukan lagi ketiganya sangat tergantung pada pemilih Muslim, sebagai mayoritas pemilih. “Tanpa Islam, tak akan ada demokrasi’, kata Aswab Mahasin (Ummat, No. 21/1996). PPP biasanya mengklaim diri sebagai mewakili aspirasi Islam, meskipun bukan partai Islam. Mereka berusaha menjaring suara yang secara tradisional menyalurkan suaranya ke partai “Islam”. Golkar makin percaya diri bahwa ia pun berhak mewakili suara Islam. Maka berdirilah MDI (Majelis Dakwah Indonesia), Tarbiyah Islamiyah, Satkar Ulama Indonesia, Lembaga  Pengajian Al-Hidayah, dan AMII (Angkatan Muda Islam Indonesia). Golkar semakin “hijau”.

Sementara itu PDI yang pada mulanya fusi dari partai-partai “sekular” dan non-Muslim, meskipun masih mendapat kesulitan dalam mencari jati dirinya, juga melirik pemilih Muslim. Kesulitan itu timbul karena PDI tidak bisa mengklaim mewakili nasionalisme (persis seperti PPP tidak bisa mengklaim satu-satunya partai “Islam” atau Golkar semata-mata golongan “fungsional” saja).

Terhadap PDI, umat Islam pernah sakit hati ketika ia menolak masuknya pesantren dalam sistem pendidikan hasional (RUU Pendidikan Nasional, 1988), menolak RUU Peradilan Agama (1989), dan tidak menolak RUU Peradilan Anak (1996). Meskipun demikian, PDI sudah berusaha dengan mendirikan MMI (Majelis Muslimin Indonesia) sejak 1984.

Agama sebagai ajaran

Ajaran Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia. Islam membentuk civic culture (budaya bernegara), “national” solidarity, ideologi jihad, dan kontrol sosial. Civic culture dapat dicari contohnya di kerajaan-kerajaan Islam yang benar-benar baru, sebab kerajaan Islam di Jawa Tengah, misalnya, tata negaranya banyak dipengaruhi oleh Hinduisme, seperti kerajaan Mataram. Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh tata negara Islam.

Buku tata negara, seperti “Tajus Salatin” mempunyai pengaruh yang luas. Tata kota Banten lama juga dipengaruhi oleh tata kota Islam dengan masjid, pasar, dan keraton sebagai pusat. Yang lebih jelas sebagai contoh adanya civic culture ialah di daerah Filipina Selatan—yang pengislamannya datang dari Indonesia—dengan lembaga baru seperti sultan dan kadi ketika di Filipina Utara orang masih hidup dalam satuan-satuan kecil kesukuan. Contoh adanya civic culture itu pasti terdapat di Indonesia, sebab sebuah laporan abad ke-16 menyebutkan di Sumatra saja ada 19 kerajaan kecil, Islam dan belum. Ketika Islam tersebar di Nusantara sejak awal ke-16 pasti sebuah civic culture yang baru pun berkembang.

Solidaritas “nasional” terjalin karena pengislaman Nusantara menjadikan seluruh Indonesia sebuah kesatuan, sebuah network. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Persamaan agama, budaya, dan lingua franca (Melayu) menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasionalisme. Penyebar Islam di Lombok adalah Sunan Prapen yang berasal dari Giri. Raja Islam pertama di Madura Barat belajar agama dari Sunan Kudus. Ternate juga menjadi Islam lantaran Giri. Banjarmasin menjadi Islam karena hubungannya dengan Demak. Makassar menjadi Islam berkat hubungannya dengan Ternate. Syekh Yusuf dari Makassar menjadi guru agama di Banten, dan dibuang Belanda ke Afrika Selatan juga karena perlawanannya bersama orang-orang Banten.

Ideologi jihad secara jelas ditunjukkan dalam Perang Aceh (1873-1903 dan sesudahnya), waktu itu jihad melawan kafir merupakan satu-satunya alasan perang. Sekalipun motivasinya bermacam-macam banyak pemberontakan petani pada abad ke-19 juga menunjukkan ideologi jihad. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihadlah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah dan banyak laskar lain, serta tentara “resmi”. Perlawanan pada komunisme sebelum dan pada 1965-1966 adalah berkat ideologi jihad itu.

Tentu saja ada efek-efek negatif dari ideologi jihad, baik yang sungguh-sungguh maupun yang berupa fabrikasi, tetapi semua itu tenggelam dalam kebaikan ideologi itu. Karena, ideologi jihad itu dinamis. Perang adalah jihad kecil, sedangkan jihad besar, menurut Nabi, adalah jihad melawan nafsu. Mengentaskan kemiskinan dan menghapuskan kesenjangan adalah jihad nasional kita. Penimbunan kekayaan dan kesenjangan struktural adalah “nafsu” nasional kita. .

Kontrol sosial dalam negara Pancasila—di negara dengan ideologi lain, perlu analisis lain—tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tetapi terutama oleh agama. Bayangkan kalau tidak ada agama yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu banyak punya satpam.

Risiko bagi agama untuk “melindungi” orang kaya itu menyebabkan agama dimasukkan dalam daftar kekuatan kontrarevolusioner yang dimusuhi PKI sebelum 1965. PKI dan simpatisannya mengidentikkan NU/Masyumi dengan tuan tanah, termasuk banyak karya “ilmiah”. Tetapi, “jasa” agama ini sering dilupakan orang. Tidak ada satu karya ilmiah pun yang “membela” agama dari sudut ini. Mengenai ketertiban orang sering hanya mengingat polisi, hukum, dan peraturan.

Agama sebagai legitimasi

Agama menunjang politik dengan memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Legitimasi kepada negara sudah lama dilakukan oleh Islam. Dalam babad diceritakan bahwa walisanga adalah penasihat-penasihat raja—pada waktu raja dan kerajaan tidak dapat dipisahkan. Raja-raja Mataram adalah khalifah (wakil Tuhan, kinarya wakil Hyang Agung) dan panatagama (penata agama). Ada abdi dalem keputihan (abdi dalem santri).

Kiranya hal yang sama berlaku sekarang. Legitimasi itu ada pada ideologi Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sekalipun tidak jelas benar tapi umat Islam dapat mengartikannya sebagai tauhid. Juga pelarangan terhadap komunisme memperbesar legitimasi, mengingat komunisme dan Islam saling bermusuhan. Departemen Agama, penyelenggaraan haji, MTQ, MUI, Bank Muamalat, tindakan terhadap ajaran Islam yang menyimpang, dan undang-undang pangan membuktikan tekad negara untuk menjadi panatagama. “Upah” yang diharapkan supaya dengan bukti-bukti itu negara mendapatkan legitimasi.

Semua OPP baru merasa sah kalau mampu menunjukkan komitmennya pada Islam, dengan mendirikan lembaga keislaman di lingkungannya. Tidak satu pun OPP yang secara terang-terangan menyatakan diri sebagai partai sekular, karena hal itu bertentagan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta akan dipandang tidak sah menurut Islam. Bergabungnya tokoh-tokoh agama ke dalam sebuah OPP akan menegaskan legitimasi itu.

Perorangan memperoleh legitimasi lewat doa politik, sowan politik (perorangan di-sowani atau so-wan), dan hubungan dengan seorang tokoh agama. Kalau kebetulan perorangan itu adalah pejabat, dia dapat memperoleh legitimasi dengan mudah: misalnya, hanya dengan memukul bedug pembuka dan memberikan pengarahan pada sebuah seminar atau muktamar. Bersalaman dengan seorang tokoh agama juga punya makna legitimasi.

Agama sebagai angka

Khusus untuk OPP setidak-tidaknya umat adalah angka. Perolehan suara dalam Pemilu pasti ditentukan oleh suara mayoritas. Memang di permukaan tampak bahwa orang Islam semakin sadar agama sekarang, tetapi apakah itu memengaruhi voting behavior? Jangan-jangan hanya mitos politik sehubungan dengan mobilitas sosial kaum santri (Baca buku Abdul Munir Mulkhan, “Runtuhnya Mitos Politik Santri”, Yogyakarta: SIPRESS, 1992). Apakah kesadaran itu gejala lapisan atas atau massa? Untuk itu umat, jamaah haji, jamaah masjid, dan majelis-majelis taklim patut menjadi “rebutan” OPP.

Sejarah pemilu menunjukkan bahwa pemilih Muslim bukanlah massa yang kritis, mungkin karena masih banyaknya umat yang “buta politik”. Voting behavior mereka dipengaruhi oleh politik patron-client, simbolisme, emosionalisme, submissiveness (penurut), dan prinsip safety first (utamakan selamat). Munculnya “fundamentalisme” akhir-akhir ini, kita khawatir, justru merupakan gejala adanya publik apolitik, yang hanya akan memperkuat kedudukan massa yang tidak kritis itu. Kalau ini yang terjadi, maka pemilih Muslim tidak lebih dari angka, kuantitas tanpa kualitas. [Bersambung]

*Almarhum, cendikiawan Muslim terkemuka

Exit mobile version