Site icon Jernih.co

Islam dan Negara [2]

Pak Harto dan Ibu Tien naik haji

Pada 1989 (UU No. 2/1989) pesantren dimasukkan dalam sistem pendidikan nasional. Kemudian pada tahun yang sama (UU No. 7/1989) ada Undang-Undang Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam yang dirintis sejak 1985, pada 1991 secara resmi dimasyarakatkan melalui Inpres No. 1/1991. Ada “Program Seribu Dai” atas inisiatif Presiden Soeharto yang sejak 1990 mengirim dai ke daerah terpencil dan daerah transmigrasi yang diselenggarakan oleh MUI/ YABMP/Yayasan Dharmais. Pada tahun 1991 berdirilah BMI (Bank Muamalat Indonesia). Yang menarik dari BMI ialah soal nama. Semula bank itu akan disebut “Bank Syariah Islam’, tetapi dikhawatirkan akan mengingatkan pada Piagam Jakarta—jadi ada implikasi politiknya.

Oleh   : Prof Kuntowijoyo*

JERNIH–Hubungan antara Islam dan negara sebagian ajeg sebagian turun-naik. Kita “terpaksa” membedakan agama sebagai kekuatan politik dan agama sebagai ibadah. Politik Islam demikian sudah dijalankan pada peralihan abad ke-20 oleh Pemerintah Hindia Belanda atas anjuran C. Snouck Hurgronje dari Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Baca H. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, Jakarta: LP3ES, 1985). “Islam politik” ditekan, “Islam ibadah” diangkat.

Prof Dr Kuntowijoyo

Hasilnya? Lahirnya SI (Syarikat Islam) pada 1911—beberapa menegaskan 1905—red Jernih— berkat mobilitas sosial (kelas menengah terpelajar dan usahawan) yang menjadikan Islam sebagai akidah. SI membawa umat di masa peralihan dari Gelombang I ke Gelombang II. Sadar atau tidak rupanya Orde Baru memakai politik Islam semacam itu sepanjang 1970-1990 (Buku Abdul Aziz Thaba, “Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru”, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, tidak memilahkan politik dan ibadah meskipun disinggung sedikit).

Kepada “Islam politik” Orde Baru hubungannya diwarnai dengan kecurigaan, dan kepada “Islam ibadah” sepanjang tahun 1970-1990 menunjukkan kenaikan terus-menerus. Kecurigaan itu baru berakhir pada 1990 dengan berdirinya ICMI. ICMI yang lahir karena mobilitas sosial (kelas menengah terpelajar dan usahawan) adalah gerakan akidah—bukan organisasi politik, sekalipun ternyata mempunyai dampak politik yang berarti. ICMI mengantarkan umat di masa peralihan dari Gelombang II ke Gelombang III. ICMI mirip dengan SI yang juga lahir berkat mobilitas sosial. Bedanya, kalau SI bersandar pada ideologi, ICMI pada ilmu.

“Islam politik”

Mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat dalam terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional, zaman Belanda, dan NKRI (“DI/TII”) menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam politik’.

Ketika pada awal Orde Baru (1966-1967) akan dibentuk PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) negara menolaknya. Demikian juga ketika rehabilitasi Masyumi diusahakan (1966-1967). Pada 1968 berdirilah Parmusi (Partai Muslim Indonesia), tetapi kemudian partai itu dikendalikan oleh orang-orang yang terlalu propemerintah, sehingga kehilangan daya kritis. Masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN 1978 dan “asas tunggal” Pancasila diterima umat sebagai usaha-usaha politik untuk melemahkan Islam, sekalipun kemudian ada “kompromi” mengenai kedua persoalan itu.

Demikianlah sepanjang 1970-1990 kata-kata seperti “ekstrem kanan’, “NII, “mendirikan negara Islam’, dan “anti-Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada “Islam politik”. Berjatuhanlah korban-korban di Nusakambangan, Cipinang, dan tempat-tempat lain. Keadaan ini tentu saja akan berubah, setelah surutnya generasi yang mengalami trauma “DI/TII’. Karena itu umat Islam dan seluruh bangsa akan beruntung kalau sejarah ditulis dengan jujur, tidak berdasar kepentingan sesaat.

“Islam ibadah”

Bidang ibadah bebas berkembang pada zaman Orde Baru. Di sini akan dibahas bidang pendidikan dan dakwah. Pendidikan agama di sekolah negeri dari SD sampai PTN merupakan sumbangan penting bagi konvergensi antara “santri” dan “abangan’, dan antara Islam “tradisionalis” dan Islam “modernis”. Di samping masyarakat, Departemen Agama juga membina sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ada Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMTP), Madrasah Aliyah (setingkat SMU), dan IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Dulu ada PGA (Pendidikan Guru Agama), PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri), dan SP IAIN (Sekolah Persiapan IAIN).

Pemerintah Orde Baru juga aktif mengembangkan dakwah. Pada tahun 1969 didirikan PDII (Pusat Dakwah Islam Indonesia) untuk mengoordinasikan kegiatan dakwah. Pada 1974 PDII menyelenggarakan lokakarya ulama yang mengawali berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang secara resmi berdiri pada 1975. MUI berada di atas partai dan golongan politik. Ibadah berada di atas politik?

Sementara itu peringatan hari-hari besar Islam selalu diselenggarakan secara resmi; ini berarti bahwa tidak ada persoalan dengan “Islam ibadah’. Pada 1982 berdiri YABMP (Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila). Yayasan itu bertujuan untuk mendirikan masjid bagi kalangan yang tidak mampu. Bahkan masalah pelik, yakni obsesi Orde Baru untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas mendapat tanggapan positif dari “Islam ibadah”: NU dalam Munas 1983 dan Muhammadiyah dalam Muktamar 1985. Penerimaan itu terjadi setelah keduanya yakin bahwa Pancasila tidak menjurus pada pembentukan agama baru dan tidak berarti sekularisasi.

Pada 1989 (UU No. 2/1989) pesantren dimasukkan dalam sistem pendidikan nasional. Kemudian pada tahun yang sama (UU No. 7/1989) ada Undang-Undang Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam yang dirintis sejak 1985, pada 1991 secara resmi dimasyarakatkan melalui Inpres No. 1/1991. Ada “Program Seribu Dai” atas inisiatif Presiden Soeharto yang sejak 1990 mengirim dai ke daerah terpencil dan daerah transmigrasi yang diselenggarakan oleh MUI/ YABMP/Yayasan Dharmais. Pada tahun 1991 berdirilah BMI (Bank Muamalat Indonesia). Yang menarik dari BMI ialah soal nama. Semula bank itu akan disebut “Bank Syariah Islam’, tetapi dikhawatirkan akan mengingatkan pada Piagam Jakarta—jadi ada implikasi politiknya. Rupanya negara masih alergi “Islam politik” tapi tidak “Islam ibadah”.

“Islam akidah”

Pada akhir 1990 berdirilah ICMI (Ikatan Cendekiawan Musllim se-Indonesia). Persis seperti SI (Syarikat Islam) yang dikritik para ulama yang mendirikan NU (Nahdlatul Ulama) pada 1926 sebagai hanya memikirkan politik, ICMI juga dilihat banyak orang sebagai organisasi politik. K.H Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PB NU) melihatnya sebagai organisasi primordial dan sektarian pada awalnya, belakangan ia melihatnya sebagai berpolitik dengan berusaha mendominasi birokrasi dan ABRI.

Banyak birokrat terlibat dalam kepengurusan dan keanggotaan ICMI dari pusat, wilayah, dan satuan, sehingga orang secara sah mempertanyakan independensi ICMI. ICMI adalah “Islam akidah’, bukan “Islam politik” atau “Islam ibadah” Karena itu, sebagai “Islam akidah” ICMI tidak boleh membedakan birokrat-rakyat, mantan ABRI-sipil, pegawai negeri-swasta, dan pengusaha-karyawan. Semuanya boleh terlibat, semuanya berhak beramal.

Program Tunggal ICMI ialah 5-K (Peningkatan – kualitas iman dan takwa, kualitas pikir, kualitas karya, kualitas kerja, dan kualitas hidup). Pada 1992 mendirikan Yayasan Abdi Bangsa dengan pelindung H. Moehammad Soeharto yang menerbitkan harian Republika. Ada ORBIT untuk beasiswa, ada MASIKA untuk forum-forum diskusi generasi muda, ada CIDES untuk informasi pembangunan, dan ada PINBUKBMT untuk para pengusaha kecil.

Satu-satunya yang dihindari ICMI ialah terlibat dalam politik praktis. Kalau selama ini ada menteri, duta besar, rektor, gubernur, bupati, dan anggota legislatif aktif di ICMI, mereka menduduki suatu jabatan bukan sebagai angota ICMI, tapi sebagai pribadi. Umat dan negara harus memberi kesempatan bagi ICMI untuk bekerja. Jangan-jangan ICMI berhasil sebagai eksperimen akidah Islam!

Negara menunjang agama

Negara yang berdasarkan Pancasila berjasa pada agama karena dua hal: (1) menyediakan anggaran, dan (2) membuat birokrasi terlibat dalam penyebaran agama.

Meskipun betul bahwa dana “itu datangnya atas kemurahan Tuhan, pajak rakyat, dan sifat pengeluaran dana itu timbal-balik, tetapi umat perlu berterima kasih pada negara bahwa banyak anggaran telah dikeluarkan untuk keperluan umat. Kita ingin mencatat Departemen Agama yang “tidak menghasilkan” itu. Depag mempunyai pejabat sampai ke tingkat kecamatan. Ada seksi keruhanian Islam di tiap unit kantor, yang mesti sebagian dananya berasal dari negara. Perayaan harihari besar, proyek-proyek keagamaan, pembangunan material, dan pengeluaran dana oleh Pemda (seperti MTQ) semuanya adalah dari uang rakyat yang dikelola oleh negara. Kita tidak bisa membayangkan andaikata Indonesia jadi negara sekuler dan menutup semua pengeluaran untuk agama.

Anggaran rutin dan anggaran pembangunan tentu banyak yang dipergunakan untuk keperluan umat. Yang kita takutkan ialah ada dana, “inkonvensional” (seperti SDSB) yang mengalir ke umat. Kalau ini terjadi berarti yang haq dan yang batil telah tercampur. Satu ayat Al-Quran menyatakan:  “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil”. (QS Al-Baqarah [2]: 42).

Pemilihan pejabat di zaman penjajahan banyak didasarkan pada jarak seseorang dengan agama. Makin jauh dari Islam, seseorang semakin akseptabel jadi pejabat. Seorang yang sedang menjabat dalam birokrasi, kemungkinan promosinya akan terhambat kalau dekat dengan agama. Bahkan, andaikata dekat dengan “Islam ibadah” sekalipun. Karena transformasi dari “Islam ibadah” ke “Islam politik” sangat mungkin terjadi.

Orde Baru sangat jauh dari kebijakan semacam itu. Banyak pejabat yang terlibat dalam ormas Islam. Adalah hal yang manusiawi kalau “Islam politik” banyak dijauhi para pejabat karena mitos-mitos politik masih sering menghantui. Hanya saja konsep “monoloyalitas” merupakan sebuah dokumen antidemokrasi yang harus dipikirkan kembali, mengingat proses demokratisasi dan HAM sedang berjalan. Jangan lupa, kita justru mengharapkan adanya massa yang semakin kritis.

Bagaimanapun, secara tidak langsung birokrasi telah berjasa, terutama karena kaum birokrat banyak yang masih mempunyai etos ing ngarsa sung tuladha di tengah masyarakat yang sifat patron-client-nya (panutan-pengikut) sangat kuat. Kita ingin mencatat secara khusus tentang peranan ABRI dalam Islamisasi.

Banyaknya petugas keruhanian Islam di jajaran ABRI patut dipuji. Meskipun ABRI hanya mungkin melahirkan “Islam ibadah’, tetapi disiplin, tepat waktu, dan memegang teguh janji itu adalah bagian dari kepribadian Islam. Tidak heran bahwa para mantan ABRI banyak yang bergabung ke “Islam akidah’.

Banyak lagi peranan birokrasi. Akhir tahun 1990 Bahasa Arab mulai ditayangkan di TVRI, hal yang sangat membantu dalam dakwah. Pada 1991 ada SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pengumpulan zakat, sehingga batas-batas “Islam politik” dan “Islam ibadah” mulai mencair.

Harapan

Dengan keluarnya penataan ormas dan parpol (UU No. 8/1985) seharusnya sudah terkubur perbedaan antara “Islam politik” dan “Islam ibadah” Ada tanda-tanda bahwa dikotomi “Islam politik” dan “Islam ibadah” itu akan digantikan dengan dikotomi lain, yaitu pro dan antipemerintah. Dikotomi “baru” dapat datang dari pihak negara atau masyarakat.

Kita menginginkan agama yang mandiri, tetapi tetap terlibat dalam pergumulan sejarah. Islam bukanlah agama yang mengidealkan keterpencilan, Islam ingin menjadi pelayan negara dan masyarakat. Namun dengan caranya sendiri, yang bebas dari semua keterpengaruhan, baik dari negara maupun masyarakat. Fungsi agama di antaranya adalah kritik sosial, kritis baik pada negara maupun masyarakat. [  ]

*Almarhum, cendikiawan Muslim terkemuka

Exit mobile version