Jika setiap orang diciptakan untuk misi hidup tertentu, apa misi hidup ibu memang jadi kenek? Apa dia tak punya keluarga yang membiayai dan meringankan bebannya? Atau malah itu bukti betapa perkasa seorang emak-emak, yang tak berpangku tangan pada belas kasihan orang lain?
Oleh : Anwar Holid
JERNIH–Seorang kawan di Jakarta bercerita, dalam perjalanan ngantornya sering melihat seorang emak-emak kenek metromini. Tiap kali menyaksikan pemandangan itu entah dari halte atau bus Trans-Jakarta, dia merasa hina dan hatinya copot, meski cuma bisa menelan ludah menahan sedih. Seketika ia merasa perjalanannya berdesak-desakan, mengejar bus, ditambah naik KRL bolak-balik ke tempat kerja jadi tak ada apa-apa dibanding perjuangan ibu itu.
Ada yang bilang, setiap orang diciptakan untuk misi hidup tertentu. Kawanku tanya: apa misi hidup ibu itu jadi kenek? Apa dia tak punya keluarga yang mampu membiayai dan meringankan bebannya? Atau malah itu bukti betapa perkasa seorang emak-emak? Dia tak berpangku tangan pada belas kasihan orang lain.
Bagaimana dengan kita sendiri? Aku dengan kondisi begini pun terkadang mengeluh. Keberatan atas kelakuan orang lain, merasa betapa berat mencari tambahan rezeki, ingin dapat kemudahan dan fasilitas, menilai hidup bisa segitu kejam, masih sempat kepikiran utang atau nyicil ini-itu karena merasa yakin bisa bayar.
Lah… emak-emak itu jadi kenek buat membiayai dirinya, keluarga, mungkin sedikit buat bayar utang yang sulit dilunasi, menyelipkan secuil untuk ditabung, dan berusaha gembira di antara kesempitan. Sementara kita, mungkin bahkan surga pun sudah malas mencium bau diri kita.
Memang kita suka trenyuh atas nasib orang lain yang terlihat lebih buruk atau kondisinya lebih membuat orang prihatin. Kita berdoa agar mereka kuat dan mendapat keringanan. Tapi, terkadang aku sangsi apa berdoa memang bisa mengubah sesuatu dan bukan sekadar melegakan pelantunnya.
Sementara di luar sana ada orang terus menikmati kesenangan, harta berlimpah, dakwah di sosial media soal cinta kasih, kampanye soal perdamaian, bersedekah, melestarikan alam, terdengar enteng ngomong ini-itu soal banyak hal, kesetaraan, kebebasan berpendapat, memilih kelamin dan orientasi seks, melayani banyak perdebatan, ikut gerakan antiterorisme, menasihati baiknya begini-begitu, atau jadi buzzer berhonor tinggi.
Itulah orang dengan privilese — punya harta lebih untuk melancong, mencobai ini-itu, melampiaskan pikiran dan perasaan, merayakan semua tanpa beban… semata-mata karena mampu. Seolah-olah mereka pun sedang menjalankan misi hidup dengan sempurna.
Dua kontras itu memantik tanya: apa Tuhan memang sudah menjatah masing-masing buat setiap hamba-Nya? Atau justru sang hamba yang harus menempuh jalan hidup sesuai jalur dan tujuannya? Seperti olahraga, masing-masing punya kelas. Kelas ringan jangan diadu dengan kelas berat. Pelari 100 m beda berlatih dan dietnya dengan pelari 42 km. Jangan dipertarungkan secara gegabah.
Begitulah setiap orang menempati kelasnya. Ia punya harga diri, tidak mengemis pada orang lain—tak layak dihina, tak pantas mengganggu. Tinggal melakoni hidup dan drama masing-masing.
Nah, emak-emak kenek metromini itu seperti sedang masuk kelasnya. Ia tengah mengambil jatah hidupnya. Mencari nafkah tanpa sungkan, tanpa sun-screen, menantang matahari, tahu-tahu bertahun-tahun kemudian menua dan tak beranjak dari sana, tetap di kelas itu. Apa itu berarti beliau tidak naik kelas? Mungkin ia memilih jatah dan jalan hidupnya karena itu cara terbaik yang bisa dia tempuh.
Orang yang tabah menghadapi cobaan dan mampu mengonversinya jadi manfaat, dialah orang hebat. Emak-emak kenek itu membuat kawanku sadar atas kebesaran Tuhan yang Mahabesar.[ ]
Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.