Di sela-sela istirahat, kami bercerita hal-hal sepele, termasuk tawaran saya agar sekiranya ia wafat, semoga ia berkenan mewakafkan otaknya untuk saya pelajari. Ini saya sampaikan juga di depan seminar dan mendapatkan respon serius dari Kang Jalal. “Kamu serius ya?” ia bertanya di saat kami istirahat makan.
Oleh : Taufiq Pasiak*
JERNIH– Tidak baik menceritakan aib, apalagi aib sendiri. Namun, kali ini saya harus bertenggang rasa dengan diri sendiri karena ini adalah “aib” diri sendiri.
Sekira tahun 1991 kami masih jadi anak-anak miskin. Satu-satunya kekayaan kami adalah semangat mencari ilmu yang luar biasa. Tak banyak literatur tersedia, tak banyak buku yang bisa dibaca. Lebih dari itu, toh ada tak ada duit buat membeli buku.
Perpustakaan UNSRAT menjadi tempat sandaran membaca buku. Di sanalah bacaan kami bertambah. Tiap tiga hari ada buku yang dipinjam dan dibawa pulang. Jika punya sedikit duit, maka buku itu difoto kopi. Itu pun hanya beberapa bagian saja.
Buku “Psikologi Komunikasi” adalah salah satu buku koleksi perpustakaan yang rajin kupinjam. Ada beberapa eksemplar buku ini, terutama yang terbit tahun 1989. Tiap tiga hari kupinjam buku ini berganti-ganti. Apa pasal, karena setidaknya ada 10 halaman yang akan kurobek. Lima kali meminjam maka akan ada 50 halaman buku yg kukoleksi (“Ya Allah ampunilah dosa hambamu saat itu”).
Robek-merobek ini tak memuaskan hati. Kami ambil strategi lain. Kawan saya, Coen Husain Pontoh (mahasiswa Fakultas Peternakan), bersepakat dengan saya untuk “mencuri” buku. Aku memilih mencuri buku “Psikologi Komunikasi”. Kami berhasil. Cuma tampaknya petugas sudah curiga, sehingga sejak saat itu mereka hati-hati meminjamkan buku pada kami.
Buku ini khatam kubaca, sampai bertahun-tahun kemudian ketika bertemu penulisnya, Jalaludin Rahmat. Kekagumanku pada penulis buku ini luar biasa. Ia pandai menyusun kata dan kalimat, serta piawai menjelaskan dengan gamblang hal-hal yang sulit.
Terpikir olehku suatu waktu akan bertemu dengan penulis hebat ini.
Suatu malam sekira tahun 2002, aku dan Mas Hernowo (almarhum), editor Penerbit Mizan yang menerbitkan bukuku, “Revolusi IQ” (2002), berhasil sampai di rumah Kang Jalal di Bandung. Kang Jalal barusan tiba dari Makasar dan membawa oleh-oleh markisa dan kue.
Sampai larut malam kami bercerita panjang lebar soal otak. Kang Jalal sangat tertarik pada ilmu otak yang kebetulan menjadi bidang yang kupelajari. Bertahun-tahun kemudian ia menyadur buku-buku tentang otak yang semuanya mendapatkan semacam endorsment lisan dariku. Ia selalu menghubungi untuk bertanya beberapa istilah teknis yg hanya dipahami oleh mereka yang mendalami ilmu otak ini, seperti neuron, sinaps, Glia, dan lain-lain.
Sejumlah diskusi kami lakukan, setidaknya untuk menerjemahkan sejumlah gagasan tasawuf menjadi bentuk psikoterapi. Saya memberi sentuhan Neurosains agar gagasan psikoterapi ini memiliki landasan dalam klinis dan psikologi. Sejumlah kawan memberitahukan bahwa kini ada pokok bahasan Neurosains dalam Jurusan Psikoterapi di UIN Sunan Gunung Jati, Bandung. Sentuhan Neurosains dalam psikoterapi berbasis tasawuf menjadi tanda kemajuan penting dalam integrasi sains dan spiritualitas.
Dalam rentang waktu lama kami sering bertelepon meski hanya sekadar menyapa, berdiskusi bagaimana ilmu komunikasi bersinergi dengan ilmu otak. Sampai suatu waktu ia mengundangku untuk berbicara dalam dies natalis Fakultas Ilmu Komunikasi dan Publikasi Universitas Padjajaran Bandung. Aku diminta bicara soal Neurosains dan Komunikasi. Ia bercerita bahwa ia akan mengusulkan agar Neurosains menjadi salah satu mata kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi.
Di sela-sela istirahat, kami bercerita hal-hal sepele, termasuk tawaran saya agar sekiranya ia wafat, semoga ia berkenan mewakafkan otaknya untuk saya pelajari. Ini saya sampaikan juga di depan seminar dan mendapatkan respon serius dari Kang Jalal. “Kamu serius ya?” ia bertanya di saat kami istirahat makan.
Seingatku, ia ada dua kali ke Manado, dan dua kali itu mampir berdiskusi di rumahku. Kami duduk lesehan dengan singkong rebus dan goreng, disertai sambal terasi dan kopi.
Ketika Kang Jalal menjadi anggota DPR RI, ada dua kali kuhubungi terkait masalah seorang kawan yang punya kaitan dengan komisi Kang Jalal. Seterusnya tidak kuketahui hasilnya.
Sekali waktu ia menghubungi tengah malam buta, tiba tiba. Ia minta pendapatku terkait anaknya yang mau dioperasi kepala. Aku memberikan pendapat yang kemudian ternyata ia bersetuju dengan pendapatku.
Meski sesekali, kami masih berhubungan via WA dan SMS. Hingga tadi siang (Minggu, 15/2) kudengar kabar bahwa ia wafat. Innalillahi wa inna ‘ilaihi roojiun. Husnul khotimah, Insya Allah. Selamat jalan Kang Jalal. Ilmumu menjadi warisan berharga yang tiada tara. [ ]
*Dr. dr. Taufiq Pasiak, MKes, MP, akademisi Universitas Sam Ratulangi, Manado