Oleh Pandu Radea
Untuk saat ini sejarah sunda dapat terang benderang berkat naskah Pangeran Wangsakerta. Karyanya seperti Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara dan Carita Parahyangan Sakeng Jawa Kulwan melengkapi puzle sejarah sunda yang sebelumnya minim data. Dari naskah-naskah Wangsakerta — selanjutnya disingkat NNW — daftar atau urutan para penguasa Galuh, Sunda dan Galunggung dapat tersusun.
Banyak yang meyakini naskah Wangsakerta sebagai data sejarah, namun banyak pula yang meragukannya. NNW ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dan tim nya setelah pelaksanaan Gotrasawala sejarah di Cirebon tahun 1677 M. Dan sepanjang kemunculannya, NNW dirundung polemik.
Butuh 21 tahun bagi Pangeran Wangsakerta untuk menyusun ribuan sargah yang isinya merekontruksi sejarah Sunda, bahkan nusantara. Naskah tersebut kemudian diteliti oleh Drs. Atja dan Saleh Danasasmita dan di populerkan oleh Drs. Yoseph Iskandar dalam majalah Mangle dan kemudian dibuat buku berjudul Sejarah Jawa Barat, (Pustakaning Raja Kawasa) diterbitkan oleh Geger Sunten tahun 1997.
Namun kehadiran NNK yang menghebohkan kemudian dipersoalkan oleh banyak peneliti sejarah. Mereka sangat meragukan NNW sebagai naskah asli karena tekhnik penulisannya yang dianggap moderen tidak sesuai trend di jamannya. Selain itu dari sisi fisik naskah, diduga kuat merupakan naskah salinan yang ditulis abad 19-20 M
Dengan kata lain NNW yang ada sekarang bukan naskah asli yang ditulis Pangeran Wangsakerta. Bahkan beberapa peneliti seperti Prof, Dr. M.C. Ricklefs, Dr. Hasan Muarif Ambary dll menganggapnya NNW adalah naskah palsu. Walaupun dianggap palsu, naskah Wangsakerta tetap fenomenal dan selalu dirujuk sebagai sumber sejarah sekunder.
Salah satu yang menarik dari NNW dalam menuliskan sejarah Sunda adalah urutan para penguasa kerajaan di masa klasik, yaitu dari masa Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, Kendan, Galuh, Galunggung dan kerajaan-kerajaan lainnya. Urutan para raja itu tersusun sistematis dilengkapi dengan angka tahun eksistensinya. Hal seperti ini tidak ditemukan dalam naskah-naskah sunda kuno lainnya.
Dalam banyak hal, isi NNW sejalan atau melengkapi dari naskah-naskah sunda kuno lainnya yang lebih sahih, terutama naskah Carita Parahyangan (CP) yang ditulis abad 16 M. Hal tersebut tidak mengherankan sebab salah satu naskah Wangsakerta yang berjudul Carita Parahyangan Sakeng Jawa Kulwan (CPSJK) bersumber dari naskah Carita Parahyangan yang ditulis sebelumnya.
Keterangan tersebut didapat dari pembukaan naskah CPSJK yang ditulis sendiri oleh Pangeran Wangsakerta, bahwa ia menulis CPSJK berdasarkan Naskah Carita Parahyangan yang ditulis di Sumedang pada masa Geusan Ulun berkuasa. Naskah CP menurut CPSJK ditulis oleh seorang abdi dalem yang menjabat nangganan atas perintah Geusan Ulun.
Salah satu bagian menarik dari dua naskah tersebut, yang luput dari pantauan sejarawan adalah adanya beberapa raja Sunda, Galuh dan Galunggung yang dipusarakan di wilayah antar Kawali dan Panjalu.
Sang Mokteng dan Sang Lumahing
Dalam CP beberapa nama raja disebut Sang Mokteng atau Sang Lumahing. Istilah mokteng atau lumahing disematkan bagi raja-raja yang telah mangkat. Dalam bahasa Jawa kuno kata mokteng yang berasal dari kata mokta ring, memiliki makna yang melesat di. Lumahing dalam bahasa Kawi ditulis Lumaheng yang artinya bertempat di.
Mokteng berkaitan dengan moksa yang dimaknai kebebasan atau lepasnya jiwa raga dari ikatan duniawi menuju swarga. Mokta sebagai gambaran melesatnya (perjalanan) jiwa menuju swarga selalu di bubuhi kata ring yang menunjukan tempat. Lepasnya jiwa dalam naskah religi sunda kuno disebut juga kaleupasan.
Biasanya penyebutannya mokteng maupun lumahing selalu satu paket dengan nama raja dan tempat wafatnya. Dengan kata lain sang moteng maupun sang lumahing merupakan gelar anumerta bagi raja ataupun penguasa yang wafat di suatu tempat.
Misalnya prabu Ragasuci dikenal sebagai Sang mokteng Taman, Prabu Langlangbumi disebut Sang mokteng Kreta, Prabu Linggabuana disebut Sang Lumaning Bubat, Dewa Sanghyang bergelar Sang Mokteng Patapan, Prabhu Pucukwesi Sang Mokteng Hujungcariang, Sang Prabhu Wulunggadung Sang mokteng Jayagiri dll.
Kata mokteng dan lumahing, di Sunda umumnya digunakan sebagai bahasa naskah karena dalam prasasti untuk menyebut raja yang wafat ditulis sida-mokta. Seperti pada Prasasti batu tulis bogor yang menyebut rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta di guna tiga (Rahyang Dewa Niskala yang di pusarakan di Guna Tiga) dan rahyang niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang (rahyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan di Nusa Larang)
Masyarakat sunda secara umum menyebut istilah sang moteng maupung sang Lumahing cukup dengan kata ngahiyang dan itu berlaku sampai saat ini. Kata ngahyang dipengaruhi oleh anasir agama lokal sunda yang dalam naskah Siksa Kandang Karesian disebut agama Jati Sunda, karena menempatkan unsur Hyang sebagai adikodrati tertinggi di atas dewa-dewa Hindu atau Buddha.
Kawali – Panjalu, lintasan Pusara Para Raja
Kawali dan Panjalu awalnya dua kecamatan di Kabupaten Ciamis yang posisinya berdampingan. Namun setelah Kawali dimekarkan, kini dua kecamatan itu dibatasi oleh Kecamatan Lumbung. Di dua lokasi yang dilintasi jalan sepanjang 14 km terdapat lima raja Sunda-Galuh dan Galunggung yang diperabukan. Tiga tokoh diperabukan di Desa Winduraja, Kecamatan Kawali. dan sisanya di Ciomas dan Panjalu.
Desa Winduraja merupakan simpul jalur jalan yang menghubungkan Ciamis, Panjalu dan Cirebon. Dalam naskah Carita Parahiyangan (CP) yang disusun oleh Abdurrahman, Etty RS dan Edi S Ekajati serta Buku Yuganing Raja Kawasa (Drs. Yoseph Iskandar) terdapat tiga tokoh yang bergelar Sang Mokteng Winduraja.
Yang pertama yaitu Rakeyan Gendang, dengan gelar Brajawisesa (989-1012 Masehi). Ia adalah putra Prabu Wulung Gadung (Sang Luma Hing Jayagiri). setelah wafat disebut Sang Mokteng Winduraja. Raja yang ke dua adalah Prabu Darmaraja merupakan penguasa Sunda Galuh yang memerintah dari tahun 1042 -1065 Masehi. Ia dinobatkan dengan gerlar Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Salakasuandabuana.
Prabu Darmaraja memiliki istri bernama Dewi Surastri puteri dari Ratu Galuh Dewi Sumbadra, memiliki putra bernama Prabu Langlang Bumi. Prabu Darmaraja adalah putra Sri Jayabhupati yang terkenal. Ketika Prabu Darmaraja meninggal tahun 1065 M, ia dipusarakan di Winduraja sehingga dikenal sebagai Sang Mokteng Winduraja. Nama Darmaraja di abadikan menjadi nama Desa Darmaraja yang masuk ke wilayah Kecamatan Lumbung.
Yang ketiga adalah Prabu Darmakusuma (1157-1175 Masehi), tokoh ini adalah penguasa tiga kerajaan yaitu, Sunda, Galuh dan Galunggung. Sehingga berhak menyandang nama Mahaprabu. Darmakusuma adalah putra Batara Danghyang Guru Darmawiyasa dan cucu Batari Hyang Janapati Ratu Galunggung. Di pusarakan di Desa Winduraja sehingga disebut juga Sang Mokteng Winduraja.
Darmakusuma memiliki putra yang kelak memegang peranan penting bagi perkembangan sejarah berikutnya, yaitu Darmasiksa. Darmasiksa dikaruniai usia panjang yaitu 122 tahun lamanya untuk memerintah kerajaan Sunda ( 1171-1297 Masehi). Menurut CPSJK salah seorang cucu Darmasiksa dari putrannya yang bernama Rahiyang Jayadarma menikah dengan Dewi Naramurtti, Putri Mahisa Cempaka dari Jawa timur dan melahirkan Sang Nararya Sanggramawijaya alias Rakeyan (Raden) Wijaya, sang pendiri Majapahit.
Raja Sunda Galuh ke empat adalah Bunisora Suradipati yang berkuasa di Kawali tahun 1357-1371 M. Ia adalah adik dari Mahaprabu Linggabuana yang gugur di Bubat tahun1357. Bunisora Suradipati menjadi penguasa Galuh Sunda mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang saat itu masih kecil. Bunisora Suradipati wafat tahun 1371 dan bergelar Sang Mokteng Geger Omas. Geger Omas adalah nama arkhais dari Desa Ciomas yang berada di wilayah Kecamatan Panjalu.
Raja Sunda Galuh yang kelima yaitu Mahaprabu Niskala Wastu Kancana yang di pusarakan di Nusalarang sehingga berjuluk Sang Mokteng Nusalarang. Nusalarang merujuk kepada pulau yang berada di tengah Situ Lengkong Panjalu. Dulu, di tengah Nusalarang, tepatnya di belakang bangunan makam Hariang Kancana terdapat area tanah yang hanya ditumbuhi lumut, lokasi tersebut patut dicurigai sebagai pusara Prabu Wastu.
Area tersebut cukup mencolok karena hanya satu-satunya spot yang tidak ditumbuhi pepohonan di tengah hutan lindung yang rapat oleh pepohonan. Namun sayang karena ketidakfahaman sekelompok orang yang menerima perintah berdasarkan mimpi, tempat yang seharusnya dijaga keasliannya kini telah dibongkar, dan diatasnya didirikan bangunan permanen tempat menyimpan prasasti baru dari bahan tembok.
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana adalah penguasa besar kerajaan Sunda Galuh yang harum namanya karena berkat kebijaksanaannya mampu membawa kerajaan ke puncak keemasannya. Namanya dituliskan dalam tiga prasasti sunda, yaitu Prasasti Kawali 1, Prasasti Batu Tulis bogor dan Prasasti Kabantenan.
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana berkuasa atas Sunda Galuh tahun 1371 M sampai 1475 M. Ia adalah putra Prabu Linggabuana yang gugr di Bubat. Salah satu cucunya yang bernama Jayadewata atau lebih dikenal Prabu Siliwangi kelak mewarisi kecakapan dan kebijaksanannya saat memimpin kerajaan Pajajaran di Bogor.
Sebetulnya, bila nama Mahaprabu Linggabuana disertakan, maka daftar para raja sunda Galuh yang dipusarakan di Kecamatan kawali akan bertambah menjadi empat orang, disamping yang dipusaraka di Winduraja.
Mahaprabu Linggabuana beserta keluarganya yaitu Permaisuri Lara Lingsing dan putrinya, Dyah Citraresmi (Pitaloka) dalam naskah CP maupun CPSJK dituliskan semuanya gugur di Bubat, Majapahit. Namun diperkirakan abu jenazahnya di Bawa ke Kawali dan di puasarakan di Situs Astana Gede Kawali yang ditandai dengan Prasasti Sanghyang Lingga Hyang.
Pusara Para Raja yang bergelar Sangt Mokteng Winduraja sudah teramat sulit dilacak lokasinya. Namun salah satu tempat yang patut dicurigai adalah Kabuyutan Cinuraja yang kemudian digunakan sebagai makam Pangeran Mahadikusumah, Bupati Kawali (1592-1643 M) di masa awal perkembangan Islam. Di Cinuraja terdapat lingga dari batu alam yang disebut Sanghyang Teuas. Lingga tersebut berwatak hinduisme, yang patut diduga merupakan salah satu pusara.
Di Desa Winduraja terdapat delapan makam karamat dan tiga bukit kecil yang memiliki ciri sebagai punden. Di Karamat Argadinata terdapat batu meja yang memiliki ciri tingalan pra Islam. Juru kuncinya pernah bercerita bahwa sebelum menjadi kkomplek pemakaman Islam, tempat tersebut merupakan patilasan raja sapulo jawa.
Di Ciomas terdapat kabuyutan yang disebut Makam Gede, yaitu kawasan pemakaman Islam yang berada dalam hutan lindung. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Kyai Panghulu Gusti. Tidak dapat dipastikan apakah Bunisora Suradipati di pusarakan di Makam Gede sebelum menjadi pemakaman Islam seperti sekarang.
Enam orang raja penguasa Sunda-Galuh dan Galunggung yang dikebumikan di Kawali, Winduraja, Lumbung dan Panjalu menunjukan kawasan tersebut telah disakralkan sejak abad 11 M sampai abad 15 M. Hal itu juga memberi penjelasan lain kenapa Kawali dipilih sebagai ibukota Kerajaan Sunda Galuh oleh Prabu Ajiguna Linggawisesa tahun 1333 M. Tentu, selain letak geografisnya yang strategis, juga adanya faktor kedekatan emosional dengan para karuhun yang dipusarakan di Winduraja.