“Ayahku biasa membeli barang-barang remeh-temeh dari orang miskin dengan harga tinggi, walaupun dia tidak membutuhkan barang-barang tersebut. Kadang-kadang dia bahkan membayar lebih untuk itu. Aku tertarik pada hal ini dan lantas bertanya mengapa dia melakukannya? Ayah menjawab, “Anakku, ini adalah sedekah yang terbungkus dengan harga diri.”
Oleh : Egy Massadiah
JERNIH– Di akhir pekan, sambil menyiapkan masakan buka puasa racikan saya sendiri, saya membaca postingan seorang kawan. Ia memberi judul tulisannya itu “Kedermawanan yang Tertukar”.
Seorang wanita bertanya pada penjual telur yang sudah tua, “Berapa harga telurnya?” Penjual telur menjawab, “Satu butir harganya Rp 2.500, Nyonya.”
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2024/04/Egy-Massadiah.jpg)
Wanita itu berkata, “Saya mau mengambil enam butir, tapi dengan harga Rp 12.500. Kalau nggak segitu, ya sudah, nggak jadi beli.”
Penjual telur menjawab, “Baiklah, mungkin ini awal yang baik karena dari tadi tak ada satu pun telur yang berhasil saya jual.”
Wanita itu mengambil telur-telur tersebut dan berjalan dengan perasaan senang bahwa dia sudah “menang”. Kemudian dia masuk ke dalam mobil mewahnya dan pergi ke restoran bersama temannya.
Di sana, dia bersama temannya memesan apa pun yang mereka sukai. Mereka makan sedikit dan menyisakan banyak dari apa yang sudah mereka pesan. Kemudian wanita tersebut membayar tagihan. Tagihan makannya sampai Rp 450 ribu. Dia memberi-kan uang Rp 500 ribu, dan berkata bahwa restoran tak perlu memberikan uang kembalian.
Kejadian seperti ini mungkin terlihat normal bagi pemilik restoran. Tapi sejatinya akan sangat menyakitkan bagi penjual telur tua yang dagangannya masih saja ditawar murah itu.
Intinya adalah: “Mengapa kita selalu menunjukkan bahwa kita punya kuasa ketika kita membeli dari orang-orang yang membutuhkan? Mengapa juga kita jadi ‘sok’ dermawan kepada orang-orang yang bahkan tidak membutuhkan kedermawanan kita?”
Suatu ketika saya pernah membaca: “Ayahku biasa membeli barang-barang remeh-temeh dari orang miskin dengan harga tinggi, walaupun dia tidak membutuhkan barang-barang tersebut. Kadang-kadang dia bahkan membayar lebih untuk itu. Aku tertarik pada hal ini dan lantas bertanya mengapa dia melakukannya? Ayah menjawab, “Anakku, ini adalah sedekah yang terbungkus dengan harga diri.”
SemangART berlibur! [ ]