Dalam beberapa literatur Sunda klasik, di antarana “Paéh di Popotongan” karya M.K. Hardjakusumah (Balai Pustaka, 1932), diungkapkan perbedaan penampilan orang Sunda dengan yang lain,dari keadaan kepalanya. Kepala orang Sunda, tertutup rapat. Perlambang menghargai “isi kepala ” (otak).
Oleh : H. Usép Romli HM
“Banda” adalah harta. Kekayaan. Tatar Sunda dan orang Sunda, sejak dulu ter-kenal kaya raya. Sehingga ada istilah “bru di juru bro di panto, ngalayah di tengah imah, raweuy beuweungeun rambay alaeun”. Subur makmur gemah ripah loh jinawi. Disertai keadaan aman tenteram “tiis ceuli herang mata, sepi paling towong rampog”.Tak ada huru-hara, kerusuhan yang memekakkan telinga. Tak ada begal tak ada garong. Aman tenteram sejahtera.
Hal itu dikarenakan orang Sunda memiliki sikap hidup “kudu ngakal ambeh ngakeul”. Rajin berusaha di segala bidang, agar cukup sandang pangan. Hidup mandiri, tidak tergantung kepada pihak lain. Bahkan harus dapat menolong orang lain. Mampu “nulung ka nu butuh nalang ka nu susah”.
Dalam tatakrama kehidupan sehari-hari, hubungan dengan sesama dan alam lingkungan, orang Sunda memegang teguh prinsip “mipit kudu amit, ngala kudu menta”. Memelihara etika kasopanan, untuk saling harga ,menghargai. Terhindar dari sifat licik, korup dan hanya ingin untung sendiri.
Keadaan demikian, didasari keharmonisan kehidupan sehari-hari orang Sunda dengan alam lingkungan sekitar. Kasih mengasihi antar pribadi dan masyarakat. Mencintai “sarakan banjar karang”, sebagai tanah air tempat lahir, yang menjandi sumber “hirup hurip” mental spiritual dan fisik material.
Alam Tatar Sunda termashur “héjo lémbok”. Gunung-gunung menghijau teduh, bukit-bukit indah asri. Sebab gunung dan bukit, merupakan sumber mata air, yang akan menjadi “huluwotan” sungai-sungai berair jernih.
Sungai merupakan salah satu harta kekayaan terpenting orang Sunda. Sebab sungai menjadi bagian tak terpisahkan dari “hirup hurip” orang Sunda, baik secara nyata diambil manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari, maupun secara “siloka”. Perlambang. Dengan adanya sungai, orang Sunda menjalin kebersaman. “Ka cai jadi saleuwi, ka lebak jadi salogak”. Tak pernah egoistis dan individual-istis, menjauhi perilaku “pagirang-girang tampian”, yang tak terpuji. Haram bagi orang Sunda berperilaku egoistis (merasa benar sendiri) dan individualistis (memencilkan diri) .
Dari keberadaan sungai, orang Sunda menciptakan petuah petatah petitih, yang mengandung pedoman untuk membereskan persoalan. Seperti “herang caina, beunang laukna”. Menyelesaikan masalah, tanpa masalah. Tak ada yang kalah,tak ada yang menang. “Win win solution” yang menyenangkan semua pihak.
Sedangkan “bendo” merupakan alat penutup kepala. Menandakan “ciri sabumi cara sadésa” yang membedakan orang Sunda dari etnis atau bangsa lain yang suka “bubudugulan”. Membiarkan kepala terbuka. Dalam beberapa literatur Sunda klasik, di antarana “Paéh di Popotongan” karya M.K. Hardjakusumah (Balai Pustaka, 1932), diungkapkan perbedaan penampilan orang Sunda dengan yang lain,dari keadaan kepalanya. Kepala orang Sunda, tertutup rapat. Perlambang menghargai “isi kepala ” (otak).
Banyak macam tutup kepala koleksi orang Sunda, selain “bendo”. Ada yang disebut “kopeah” (kopiah) yang juga punya bermacam nama. Seperti “ketu”, “kerepus”. Ada yang dimakan “iket“ (ikat kepala), yang memiliki aneka model. Seperti “barangbang semplak”, “paros nangka”, “entog mulang” ,dll.
“Bendo” juga menggambarkan kekuasaan. Perumpamaan “kuma nu dibendo”, berarti bagaimana keinginan yang berkuasa. Jaman dulu kekuasaan orang Sunda besar dan kuat. Secara géografis, meliputi pulau-pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang disebut “Sunda Besar”. Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, yang disebut “Sunda Kecil”. Bahkan nama beberapa hewan penting, dalam istilah ilmiah (Latin) menggunakan kata “Sunda”. Seperti “Boss sundanicus” (banteng), “Panthera tigris sundaica” (harimau lodaya).
Jika jaman tempo dulu, Tatar Sunda dan orang Sunda hebat perkasa, tentu masa kini dan masa mendatang pun jangan berubah. Harus mampu memper-tahankan prestasi dan reputasi yang diwariskan para leluhurnya.
Jangan sampai terjadi “banda beak, bendo cuplak”. Alias miskin sengsara, mela-rat hina. [ ]