Kepergian Pak Arief jelas kehilangan besar. Dalam konteks saat ini, ketika berbeda dianggap nyinyir dan kritik ditabukan lalu suara lantang ditangkap, kepergian Pak Arief semakin terasa
Oleh : Dian Islamiati Fatwa
Mendengar berita duka pak Arief Budiman telah pergi Kamis pagi kemarin, mata saya basah, kenangan kebersamaan kami saat kami tinggal di Melbourne muncul kembali.
Suatu malam dalam acara konferensi di Universitas Victoria di Flinder st. Pak Arief memanggil saya di dekat pintu keluar.
Beliau tampak resah. “Tolong antar saya Dian cepat.”
“Wah saya parkir agak jauh, Pak. Kemana?”
“Bukan, antar saya ke toilet,” beliau tampak bingung.
“Lha kan saya perempuan, nggak bisa antar masuk ke toilet laki-laki.”
Beliau menatap saya agak lama, lalu tertawa. “Saya lupa kamu perempuan. Saya tahu kamu hanya Dian. Gender neutral, tidak laki tidak perempuan,”ujarnya masih terkekeh-kekeh lalu mengulurkan tanganya minta dituntun.
Di situlah saya baru menyadari kondisi fisik Pak Arief sudah menurun. Tidak bisa menahan pipis lama dan tentu tidak bisa ditinggalkan bepergian sendiri, apalagi dengan angin Melbourne yang semriwing dingin.
Bila hubungan kami tidak dekat, tentu pak Arief tidak akan minta diantar ke toilet. Sebagai sesama warga Indonesia yang hidup di luar negeri, hubungan kami sudah seperti keluarga.
Di Melbourne, para mahasiswa Indonesia menganggap Pak Arief Budiman adalah dewa penyelamat. Saat masih aktif mengajar di Melbourne University, Pak Arief pasti akan memberikan job-reference bagi mahasiswa Indonesia yang datang ke ruangannya. Kerja apa pun, mulai dari asisten dosen, tutor sampai cleaner.
Job reference Pak Arief ini sakti, siapa pun yang membawa surat reference beliau pasti diterima kerja, walau pun untuk bekerja sebagai pencuci piring di restoran kampus Universitas Melbourne.
Siapa pun mahasiswa yang pernah kuliah di Melbourne pasti mengamini apa yang saya tulis.
Menemui kakak Soe Hok–aktivis mahasiswa penentang Soekarno dan Soeharto, ini juga cukup mudah, tidak perlu janjian, seperti profesor bule lainnya di Australia.
“Beliau kan orang besar, Kak, dan tidak kenal saya. Saya nekat ketuk pintu ruangan Pak Arief, karena butuh job-reference, eh diterima masuk. Nggak sampai 10 menit suratnya sudah selesai diprint. Besoknya saya langsung bisa masuk kerja..he he he..”
Itu cerita salah satu mahasiswa Indonesia Timur yang terkesan dengan sikap tulus Pak Arief membantu mahasiswa Indonesia.
Meskipun sudah bergelar profesor, pendiri studi Indonesia di Universitas Melbourne tidak pernah memandang rendah orang, bahkan terhadap mahasiswa muda yang baru dikenalnya.
Saya memang tidak pernah minta job reference ke Arief, tapi sering datang ke acara diskusi setiap Jumat sore. Dengan tas kain yang selalu nempel di pundak, Pak Arief tetap khusuk mau mendengar mereka yg berbeda pendapat tanpa memotong, dan sama sekali tidak pernah menonjolkan diri. Sayang acara diskusi ini kemudian tdk berlanjut setelah Pak Arief pensiun.
Lama tak jumpa, saat berobat di klinik akupuntur daerah Lygon st., saya melihat sosok sepuh berjalan tertatih sedang menyeberang jalan dengan perempuan berjilbab. Hampir saya tidak mengenali beliau karena berat badannya susut dan seluruh rambutnya berubah warna menjadi silver.
“Aku pikir taokeh dari mana, hebat bisa gandengan dengan perempuan berjilbab, eh ternyata Pak Arief. Sehat pak?” sambut saya dengan gembira.
“Saya kan memang Cina,”jawabnya terkekeh sambil ngeloyor mencari tempat duduk.
“Iya ya, kok berani-berani ya, gandengin perempuan, berjilbab pula,” timpal Bu Leila Budiman, istri beliau, sembari ikut meledek dan tertawa.
Baru saya mengetahui, meskipun sudah pensiun Pak Arief dan Bu Leila Budiman sering ulang alik Melbourne-Salatiga, memanfaatkan fasilitas kesehatan sebagai permanent resident. Seingat saya Pak Arief menderita Parkinson, obat-obatan ini mahal sekali di Indonesia. Sementara di Australia, para pensiunan mendapat subsidi yang cukup besar.
Meskipun tidak sehat betul, Pak Arief tetap bisa menikmati hidup sebagai senior citizen di Australia.
Pernah saya joget bareng ‘Kopi Dangdut’ di Konsulat Jenderal saat acara perkenalan Konjen baru Victoria ibu Dewi Wahab. Jauh dari tanah-air, lagu-lagu dangdut memang menjadi favorit kami. Saya tarik tangan Pak Arief yang tampak menikmati alunan Dangdut yang dinyanyikan warga Diaspora Melbourne. Tak dinyana, beliau sigap berdiri langsung ikut bergoyang meliuk-liuk.
Jujur saya agak khawatir, karena kalau telat obat, tubuh beliau bisa tiba-tiba stiff, kaku seperti patung. Tapi tidak tega melihat ekspresi mukanya yg sangat menikmati acara malam itu. We had a ball that evening!
Ngobrol dengan Pak Arief tidak bisa hanya setengah jam. Bila saya baru balik dari Indonesia, kami bisa ngobrol berjam-jam. Tentu tak jauh-jauh dari politik. Sesekali Pak Arief bicara tentang Latin Amerika, riset yang dilakukan saat sekolah di Harvard. Juga konsep pembangunan dan kapitalisme. Seru. Ini memaksa saya harus menggoogle setiap usai diskusi dengan beliau, penasaran dengan diskusi tadi.
Suatu siang di musim panas, saya datang membawa Brem, oleh2 dari Indonesia.
“Lagi rindu apa, Pak?”
“Saya kangen baca Tempo atau Kompas,” ujarnya sembari matanya menerawang. Menunggu majalah Tempo dari Indonesia biasanya mengandalkan mahasiswa Indonesia yang pulang kampung, atau penelitian.
Generasi Pak Arief tentu lebih menyukai membaca printed paper daripada online. Karena itu Pak Arief sangat antusias kalau saya datang karena kami bisa bergosip politik berjam-jam. Sampai-sampai diingatkan Bu Leila karena beliau harus beristirahat.
Karena dekat, sayapun tidak sungkan protes kalau beliau bercanda agak nyerempet-nyerempet sexist.
“Idih..Bapak kok ngomong gitu sih?”
“Kamu kayak bule, Dian. Kemarin saya juga diprotes dosen bule perempuan waktu saya mengomentari sesuatu. Saya bilang ‘semok’. Dia ngerti bahasa Indonesia. Padahal kalau di Indonesia kan biasa ya.. Saya tidak ada maksud mengecilkan perempuan, tapi kebiasaan ngomong di Indonesia gitu. Maaf ya.”
Begitulah Pak Arief, cepat minta maaf meskipun beliau jauh lebih senior, sepantaran ayah saya, suka ngomong apa adanya, tapi tetap respect terhadap protes saya and never take personally.
Pernah saya mengundang Pak Arief datang ke rumah di Toorak untuk acara surprise ultah Pak Nuim Khaiyath, penyiar senior Radio Australia ABC. Pak Arief dan Bu Leila Budiman datang terlambat. Mereka tampak lelah, ketika muncul di pagar.
“Saya lupa bawa alamatmu, Dian, jadi kami sudah sampai di Mathoura road, tapi nggak tahu nomer berapa,” apology Bu Leila.
“Saya hampir putus-asa mau pulang karena capek cari-cari. Tapi Arief ngotot. Dia bilang, jarang ada orang Asia tinggal di Toorak. Coba kita jalan terus, kalau ada bau nasi atau pandan, pasti itu rumah Dian. Intuisi Arief bener, kami mencium bau nasi sedang ditanak,” ujar Bu Leila yang tampak gembira berhasil menemukan rumah saya dengan hanya menggunakan indera penciuman.
Sementara Pak Arief cepat mengambil piring dan langsung menikmati nasi kuning hangat dari rice cooker yang berjasa membantunya menemukan rumah saya.
Ketika Prof. Hafid Abbas berkunjung ke Melbourne, saya ajak Bang Hafid membezoek Pak Arief. Kebetulan hari itu adalah acara kumpul-kumpul masyarakat Minang Saiyo, di mana Bu Leila adalah anggota aktif Minang Saiyo. Kami memutuskan ikut acara tersebut dan kemudian pergi ke Dandenong, daerah pegunungan tak jauh dari Melbourne.
Minggu pagi kami jemput Pak Arief di rumah beliau daerah Brunswick. Meskipun mengalami tremor, beliau berusaha bisa memasang sepatu sendiri. Saya berusaha menolong, tapi Bu Leila melarang.
Saya berikan topi saya untuk melawan terik musim panas, Pak Arief tidak peduli apakah topi yang dipakainya itu topi perempuan. We had a great time. Saya kagum dengan Bu Leila yang telaten merawat Pak Arief, menyuapi saat makan siang dan tetap mesra!
Perjalanan ke Dandenong terasa singkat, karena Pak Arief terus berceloteh dengan tebak-tebakan politik dan cerita zaman Orde Baru. Pak Arief mengemas cerita getir Orde Baru dengan gayanya yang lucu, membuat kami semobil terbahak-bahak.
Masalah timbul ketika Pak Arief tiba-tiba ingin pipis dan badannya kaku. Obat terlambat diminum. Obat lalu cepat kami minumkan. Saya merayu Pak Arief agar bisa sedikit bisa menahan sebelum sampai di tempat tujuan. Agak susah ngebut karena jalan menuju Dandenong agak sedikit meliuk dan menanjak. Pak Arief tidak lagi menghiraukan pemandangan indah Dandenong, karena fokus menahan pipisnya.
Setiba di rumah Anita, wartawan ABC yang tinggal di Dandenong, tubuh Pak Arief masih kaku seperti kayu. Saya mencoba memapah dari mobil, byuh beratnya seperti mengangkat lemari jati. Tubuh kaku itu ternyata berat sekali.
“Ayo Pak, kita turun, nanti kita joget lagi. Mau joget ‘Kopi-Dangdut’? Kalau bapak kaku begini, kita joget gaya Michael Jackson saja gimana,” canda saya. Pak Arief diam, tidak menyahut. Matanya kosong menatap ke tanah. Ngilu melihatnya.
Begitu cepat perubahan itu. Setengah jam lalu, beliau masih bercanda, dan setengah jam kemudian, beliau diam dan badannya kaku. Tapi tak lama, setelah obatnya mulai merasuk bekerja, saya menemukan sosok pak Arief lagi. Bercanda kembali dan malam itu beliau makan dengan lahap.
Saya membayangkan perjuangan Bu Leila setiap hari merawat pak Arief dengan sabar. Tidak mudah. Apalagi bila berada di Melbourne, tanpa helper.
Barangkali ini adalah jalan terbaik. You are free from pain now. Pak Arief telah menyelesaikan tugasnya dengan paripurna, menorehkan sejarah sebagai cendekiawan yang berjuang agar dapat berpikir merdeka dan suara-suara kritis tetap dihormati.
Kepergian Pak Arief jelas kehilangan besar. Dalam konteks saat ini, ketika berbeda dianggap nyinyir dan kritik ditabukan lalu suara lantang ditangkap, kepergian Pak Arief semakin terasa.
Selamat jalan Pak Arief, beristirahatlah dengan tenang. You had a remarkable life. Knowing you was the success story of my life. We will meet again for sure, joyfully, on the other side. Mungkin nanti kita bisa berjoget Kopi Dangdut lagi. Tunggu saya. [ ]
Pejaten, sahur pertama Ramadhan
24 April 2020