kopi susu/kopi susu gulanya pasir
badan lesu/ terlalu banyak pelesir…
Oleh : Anwar Holid
JERNIH–Mendengar keroncong selalu mengingatkanku pada seorang uwak yang tinggal di Tasikmalaya. Dia fans berat keroncong, punya cukup banyak album kaset diskografinya. Bahkan dulu ketika media VCD mulai umum, dia juga suka beli. Semua orisinal. Meski kami beda selera, toh setiap kali berlibur ke rumahnya aku tetap suka buka-buka sleeve kaset atau VCD keroncong.
Apa menariknya keroncong, coba? Penyanyi perempuannya hampir selalu pakai kebaya, musisinya sering kelihatan sudah paro baya, kesannya jauh dari dinamis. Yang juga suka membuatku kurang terkesan ialah karena barangkali lagu-lagu “asli” keroncong cenderung stagnan. Sementara sebagian keroncong yang aku dengar adalah cover version dari lagu-lagu pop cengeng tahun 1980-an. Bayangkan, sudah liriknya bikin tak tahan, iramanya keroncong pula! Tapi sisi baiknya, minimal aku dengar seperti apa Gesang, Sundari Sukotjo, Waldjinah, Toto Salmon, termasuk virtuositas Idris Sardi.
Seiring meluasnya selera musikku, termasuk pada musik daerah dan tradisional, rasanya aku makin bisa menghargai genre musik Indonesia yang sejarahnya sudah amat tua. Bersyukur juga aku dulu sesekali mendengar keroncong dari koleksi uwak-ku, entah sengaja atau karena sedang beliau putar memenuhi rumahnya. Kita harus bangga dan sadar bahwa keroncong adalah salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang sangat berharga — sebelum terlambat, siapa tahu bisa-bisa nanti diklaim Malaysia.
“Songs From Old Djakarta In Krontjong Beat” aku dengar dari koleksi vinyl Budi Warsito, seorang penggemar musik Indonesia lama, di perpustakaan Kineruku, Bandung. Ini album kompilasi, artinya musisinya beragam, diiringi sebuah orkes keroncong di bawah pimpinan Brigadir Jenderal R. Pirngadie. Beliau pula yang mengaransemen musik dan sekalian jadi dirigen. Dalam prosesnya, rekaman ini mendapat bantuan teknis dari Tan Eng Liem.
Musik keroncong yang konon awalnya dimainkan para musisi tidak terlatih (amatir), di tangan Brigadir Jenderal R. Pirngadie dimainkan oleh para musisi terlatih, menjadi sangat asyik: melodinya menonjol, sementara ritemnya mengiringi dan mengisi ruang nada menjadi penuh.
Seksi string dan brass, terutama biola dan flute, punya sumbangsih menonjol di setiap lagu. Permainannya sangat dinamik dan meliuk-liuk seiring dendang para vokalis yang kerap terdengar manja, bikin gemas, main-main, sekaligus effortless. Juga backing vocal dan koor-nya memberi kesan kuat dan sangat padu. Contoh terbaiknya barangkali ada di “Djali-Djali” (track 3) dan “Gambang Semarang” (track 7). Mereka menimpali lead vocal dengan amat merdu, bersahut-sahutan.
Mengejutkan sekaligus menyenangkan mendapati bahwa di tangan seorang jenderal tentara kita bisa mendengar keroncong yang bisa dibilang terbaik. Keroncong olahannya bukan hanya terasa tulen, melainkan membuktikan bahwa musik lawas tersebut ternyata bisa disajikan dengan dinamik.
Dari judul, kita tahu album ini merupakan cover version dari lagu-lagu rakyat Jakarta yang penciptanya anonim, namun sebenarnya menunjukkan lagu-lagu tersebut sudah begitu populer dan mengakar, contoh “Djali-Djali” dan “Surilang.” Bahkan “Dajung Sampan” (track 1), menurut Ariani Darmawan — sutradara film dokumenter musik “Anak Naga Beranak Naga” — konon saking bekennya sampai pernah diadaptasi menjadi sebuah lagu pop di Tiongkok berjudul “Tien Mi Mi,” dipopulerkan oleh Theresa Teng. Liriknya pun terasa sungguh familiar, mudah diikuti dan memancing sing along, serta kerap mengundang senyum berkat isinya yang jenaka. Sebagian tentang hal sehari-hari (onde-onde, kopi susu, serabi, juga menahan rindu), disampaikan secara berpantun dan berima.
Di lagu “Lain Dulu Lain Sekarang” terdengar lirik begini:
…yang lucu yang lebih gemukan,
kalau dansa kayak gajah piaraan…
Sementara di “Kopi Susu” terdengar nyanyian:
kopi susu
kopi susu gulanya pasir
badan lesu
terlalu banyak pelesir…
lalu disambung:
kopi susu…
kopi susu gulanya batu
hati rindu
sudah lama tidak bertemu
Lagu-lagu rakyat Jakarta lama ini juga memperlihatkan adanya pengaruh kuat dari musik peranakan Arab dan Tionghoa. Pilihan nada-nada tinggi para vokalis dan suara biola yang meliuk-liuk di hampir sekujur album ini sangat terasa warna gaya gambang kromongnya, yang memang saling pengaruh-mempengaruhi.
Dengan total durasi hanya 28 menit (hampir setiap lagu berdurasi di bawah 3 menit), rasanya terlalu singkat dan lekas habis bila kita hanya mendengarnya satu dua kali. Kita mau mendengar lagi dan lagi. Karena piringan hitam ini sudah tua umurnya, suara kemereseknya terdengar cukup kentara, hingga bagi orang yang belum terbiasa, barangkali sedikit mengganggu. Namun kata Budi, “Bunyi kemeresek itu bukan gangguan, melainkan karakter.” [ ]
Kredit info:
Songs From Old Djakarta In Krontjong Beat
Various Artists
Arranged & directed by Brigadier General R. Pirngadie, with techinal assistance of Tan Eng Liem
Produser: Jajasan Seni Tetap Segar, Djakarta
Direkam oleh: Dimita Moulding Industries Ltd., Djakarta
Label: Evergreen Monoaural Records (Mono TTS-570M)
Format: Vinyl, LP, 12″
Genre: Keroncong, krontjong, folk
Tahun rilis: 1965
Durasi: 28 menit (12 tracks)
Side 1:
1. Dajung Sampan 2. Kitjir-kitjir 3. Djali-djali 4. Stambul Djampang 5. Lain Dulu Lain Sekarang 6. Tjentik Manis
Side 2:
1. Gambang Semarang 2. Kelap-kelip 3. Kopi Susu 4. Onde-onde 5. Surilang 6. Persi Rusak
*Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: https://halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.