Irgun dan Lehi merespons dengan strategi yang sudah mereka sepakati. “Dinding rumah warga kami pasangi bom. Jika memungkinkan, kami lempar granat sampai masuk ke dalam rumah mereka. Rumah-rumah itu meledak, menewaskan penghuninya,” ungkap Ben-Zion Cohen, komandan lapangan dari pihak Irgun yang menggunakan nama perang Giora. Menurut Benny Morris, profesor sejarah dari Ben-Gurion University, Beersheba, “ … para anggota milisi mencuri uang dan perhiasan dari para penyintas sebelum membakar mereka. Bahkan mutilasi dan pemerkosaan pun terjadi.”
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH–Judul Skema (Sketsa Masyarakat) kali ini terinspirasi satu artikel di Haaretz edisi 16 Juli 2017. Sang penulis Ofer Aderet (usia 36 tahun saat tulisannya terbit) adalah wartawan harian Israel itu. Sebetulnya Aderet memberikan judul lebih panjang, yakni “Testimonies from the Censored Deir Yassin Massacre: ’They Piled Bodies and Burned Them’ (“Kesaksian dari Pembantaian Deir Yassin yang Ditutup-tutupi: ‘Mereka Menimbun Mayat dan Membakarnya’) untuk tulisannya itu.
Saya pinjam sebagian judul Aderet untuk kepraktisan saja, namun inti artikelnya akan tetap saya tampilkan utuh di akhir tulisan ini.
Saya ingin lebih dulu mengajak pembaca mengarungi masa lalu, mundur 75 tahun silam. Melihat lebih dekat tragedi Deir Yassin pada 9 April 1948 dan dampak yang ditimbulkannya sampai sekarang bagi hubungan Palestina – Israel yang rentan dan rawan.
Seluruh pendapat yang saya gunakan berasal dari kalangan Yahudi. Dari guru besar sejarah, pakar geopolitik Timur Tengah, komandan milisi yang terlibat dalam pembantaian, sutradara film dokumenter, jurnalis, dan sebagainya. Sumber lainnya adalah arsip foto Israel Defence Forces (IDF), siaran Deutsche Welle (“Israel – Story of A Contested Country”), situs Encyclopedia BritIDFannica dan Jewish Virtual Library.
Kita akan melihat bagaimana narasi Pemerintah Israel yang menyebut tragedi Deir Yassin dalam versi resmi sejarah dan kurikulum sekolah mereka sebagai bagian dari upaya luhur kemerdekaan dan berdirinya negara Israel, ternyata mendapat perlawanan intelektual dari masyarakat mereka sendiri.
1/
Deir Yassin (Arab: Dayr Yassin) adalah nama sebuah desa yang terletak lima kilometer di barat Yerusalem. Terletak 800 meter di atas permukaan laut. Pada 1948, jumlah warga sekitar 750 orang yang menghuni 150-an rumah batu. Kandungan bumi Deir Yassin kaya dengan batu gamping, komoditas alam yang diandalkan warga dan membuat kehidupan mereka cukup mapan. Di desa itu ada dua SD, beberapa toko, dan dua masjid. Tak ada sinagogue dan gereja.
Lokasi Deir Yassin strategis karena berada di jalur Yerusalem dengan kawasan pantai Mediterrania, termasuk Tel Aviv. Kendati selama pemerintahan Inggris (British mandate) terjadi beberapa kali kerusuhan antara warga Yahudi dan Arab di sejumlah tempat, namun situasi di Deir Yassin tetap aman damai. Apalagi warga desa mempunyai kesepakatan perdamaian dengan Haganah, kelompok militer Yahudi terbesar yang berdiri pada 1920 dan kelak menjadi tulang punggung IDF.
Namun sebuah peristiwa di New York pada 29 November 1947 membuat arah sejarah berubah. Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 181. Daerah yang turun temurun ditempati warga Palestina akan dibagi menjadi dua: Negara Arab dan Negara Yahudi.
Yerusalem mendapatkan status sebagai corpus separatum, sebuah wilayah terpisah di bawah otorita internasional. Jika terwujud, maka Yerusalem di semua penjurunya akan dikelilingi pemukiman warga Arab. Orang-orang Yahudi, terutama yang tinggal di Yerusalem, menyebut mereka diblokade. Kekhawatiran muncul dan kian besar dari hari ke hari.
Pada 10 Maret 1948, Badan Yahudi untuk Israel yang dipimpin David Ben-Gurion bersama Haganah mengumumkan Rencana Dalet (Ibrani: Tochnit Dalet) atau “Plan D(alet)”, sebuah operasi militer Zionis untuk menguasai wilayah pemukiman warga Arab Palestina. “Plan D adalah rencana penaklukan kota-kota dan desa-desa Arab di dalam dan sepanjang perbatasan wilayah yang dialokasikan bagi Negara Yahudi sesuai Resolusi PBB. Jika terjadi perlawanan warga Arab, maka mereka harus diusir keluar. Jika tak ada perlawanan, mereka bisa tetap tinggal di bawah kekuasaan militer Yahudi,” ujar Yehosafat Harkabi, direktur Intelijen Militer Israel AMAN (1955 – 1959) dan kemudian menjadi guru besar Hubungan Internasional dan Kajian Timur Tengah di Hebrew University of Jerusalem.
Tahap awal Plan D dimulai dengan Operasi Nachson pada awal April 1948. Targetnya untuk membuka jalur Yerusalem–Tel Aviv agar sepenuhnya dalam kontrol Yahudi. Nama Nachson terinspirasi dari Nachson ben Aminadav, orang Israel pertama yang melangkahkan kaki memasuki Laut Merah yang terbelah ketika Musa dan bani Israel dikejar tentara Fir’aun.
Operasi Nachson dilakukan oleh Giveti (sekarang bernama Brigade 84 IDF) yang merupakan unit khusus Haganah, dengan komandan Shimon Avidan.
Sesuai dengan target operasi, maka kawasan pemukiman Arab di sepanjang Yerusalem – Tel Aviv yang berjumlah 13 tempat, yakni Al Qastal, Deir Muhaysin, Khulda, Saydun, Deir Yassin, Qalunya (berpenduduk 1.260 orang, 350 di antaranya adalah Yahudi), Bayt Naqquba, Bayt Thul, Saris, Khirbat Bayt Far, Deir Ayyub, Wadi Hunayn (berpenduduk 3.380 orang, 1.760 di antaranya adalah Yahudi), dan Bab el-Wad, akan dibuat tunduk pada keinginan Yahudi.
2/
Pada Jum’at, 9 April 1948, pukul 4.30 pagi waktu setempat, ratusan anggota dua milisi Yahudi radikal Irgun dan Lehi (sudah memisahkan diri dari Haganah), mendadak memasuki Deir Yassin dalam keremangan fajar. Semua anggota bersenjata selain membawa bom dan granat.
Milisi Irgun, lengkapnya Irgun Zvai Leumi Eretz Israel atau “Kelompok Militer Nasional di Tanah Israel” yang dikenal juga dengan nama Etzel, sejak 1943 dikendalikan oleh pemimpin tertinggi Menachem Begin (kelak menjadi PM Israel 1977 –1983). Sedangkan Lehi, lengkapnya Lohamei Herut Yisrael atau “Pejuang Pembebasan Israel”) dikenal juga sebagai Stern Gang karena didirikan oleh Avraham Stern. Sebelum mendirikan Lehi, Stern pernah menjadi anggota Irgun. Baik Irgun dan Lehi memiliki rekam jejak anti pemerintahan Inggris di Palestina, namun tak pernah menyerang Arab Palestina, sampai Tragedi Deir Yassin terjadi.
“Ada 100 orang anggota Irgun yang ikut operasi itu,” ungkap Menachem Begin seperti didokumentasikan Jewish Virtual Library di situs mereka. Sedangkan dari Lehi ada 32 anggota. “Satu truk terbuka yang dipenuhi peralatan pelantang suara (loud speaker) juga digunakan sampai ke depan jalur masuk ke Deir Yassin dan mengumumkan agar warga segera meninggalkan desa. Banyak yang mengikuti imbauan itu,” lanjut Begin.
Pengakuan Menachem Begin ini diragukan sejumlah cendekiawan dan sejarawan Israel, termasuk ilmuwan politik dan sosiologi kondang Amos Perlmutter. Menurut mereka, truk itu terperosot dalam parit pelindung desa yang dibangun pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman Empire) pada Perang Dunia I, sehingga tidak pernah ada pengumuman bagi penduduk desa Deir Yassin untuk keluar dan evakuasi.
Versi lain menyatakan truk berhasil dikeluarkan dari parit dan bisa melanjutkan perjalanan ke Deir Yassin untuk melakukan tugasnya. Sejarawan dan filsuf Uri Milstein yang memiliki spesialisasi dalam sejarah militer, dalam bukunya “Sejarah Perang Kemerdekaan Israel” Jilid 6 (1999), mengutip pengakuan seorang anggota milisi yang terlibat operasi. “Salah seorang dari kami yang paling fasih bahasa Arab menggunakan pelantang suara meminta warga untuk segera meninggalkan desa tanpa membawa senjata. Saya tidak tahu apakah warga mendengar jelas pengumuman, tetapi saya tahu bahwa imbauan itu tak ada pengaruhnya.”
Yang dia maksud adalah bahwa warga Deir Yassin menolak dan melawan. Bahkan ada yang membalas dengan tembakan alih-alih patuh mengikuti perintah milisi.
Irgun dan Lehi merespons dengan strategi yang sudah mereka sepakati. “Dinding rumah warga kami pasangi bom. Jika memungkinkan, kami lempar granat sampai masuk ke dalam rumah mereka. Rumah-rumah itu meledak, menewaskan penghuninya,” ungkap Ben-Zion Cohen, komandan lapangan dari pihak Irgun yang menggunakan nama perang Giora. “Saya yang bertanggung jawab di Deir Yassin. Bahkan menurut saya seharusnya terjadi ‘lebih banyak Deir Yassin’ hingga semua orang Arab pergi dan hanya ada satu Negara Israel saja,” katanya dalam sebuah film dokumenter Born in Deir Yassin. (Cohen meninggal dunia Oktober 2021 dalam usia 94 tahun). Yehoshua Zettler, komandan lapangan dari milisi Lehi menambahkan, “Warga desa Deir Yassin melarikan diri meninggalkan rumah-rumah mereka kocar-kacir seperti kucing ketakutan.”
Pembantaian di Deir Yassin berlangsung lima jam. Setelah itu panglima tertinggi Irgun, Menachem Begin, menggelar konperensi pers bersama perwakilan Palang Merah Internasional. Koran The New York Times yang mengutip Begin menulis lebih dari 200 orang warga Arab Palestina tewas, 40 orang ditangkap, 70 orang perempuan dan anak-anak dibebaskan. Warga sisanya meninggalkan desa mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan Bir Zeit University dan diterbitkan dalam monograf berjudul “Destroyed Palestinian Villages Documentation Project” (1987), menyimpul-kan korban pembantaian Deir Yassin sebanyak 107 warga Arab Palestina tewas dan 12 orang terluka.
Pada 2017, profesor sejarah Eliezer Tauber pada Bar Ilan University memublikasikan hasil risetnya sendiri dengan kesimpulan total warga Deir Yassin yang tewas adalah 101 orang dengan rincian 61 orang tewas dalam pertempuran melawan milisi Irgun dan Lehi, 17 orang meninggal dalam kondisi tidak diketahui, 12 orang meninggal dalam ‘zona abu-abu’ yang situasinya bisa diperdebatkan, dan 11 orang dari satu keluarga warga Arab Palestina dibunuh oleh seorang anggota Irgun.
Badan Yahudi untuk Israel yang dipimpin David Ben-Gurion merespons kejadian itu dengan menyatakan “kengerian dan rasa jijik kami kepada para pelaku.” Badan Yahudi juga mengirimkan surat resmi kepada Raja Abdullah dari Kerajaan Transjordan (nama sebelum menjadi Jordania) yang menyatakan mereka tidak terlibat dengan tragedi yang terjadi di Deir Yassin karena Irgun dan Lehi bukanlah anggota Haganah yang merupakan sayap militer resmi Badan Yahudi.
Tak sampai tujuh hari setelah pembantaian Deir Yassin menyebar luas dan menjadi pembicaraan publik, terjadi pembalasan dendam oleh satu milisi Arab yang menyergap konvoi Yahudi menuju Rumah Sakit Hadassah, Yerusalem. Serangan itu menewaskan 77 orang Yahudi dan melukai 23 lainnya.
Sejak itulah saling sergap, serang, bunuh, hancurkan, antara milisi-milisi Yahudi radikal dan Arab militan, silih berganti terjadi dengan menjadikan peristiwa-peristiwa sebelumnya sebagai justifikasi untuk melakukan serangan berikutnya. Sampai sekarang.
3/
Apa yang sebenarnya terjadi di Deir Yassin selain yang diungkapkan Ben-Zion Cohen, sang komandan lapangan?
Surat resmi Delegasi Inggris di PBB tanggal 20 April 1948 yang ditujukan kepada Dr. Ralph J. Bunche, Sekretaris Utama PBB–Komisi Bangsa-Bangsa untuk Palestina (Principal Secretary UN – Nations Comissions on Palestine) menjelaskan sembilan poin dengan rinci. Beberapa di antara poin itu adalah:
Poin 1: Inggris meyakini bahwa operasi militer yang dilakukan oleh Irgun dan Stern Group (Lehi) dilakukan sepengetahuan Haganah.
(Itu berarti Inggris tidak mempercayai penjelasan David Ben-Gurion dan Badan Yahudi bahwa Haganah tidak terlibat dan tidak mengetahui operasi tersebut).
Poin 3 & 4: Perempuan dan anak-anak ditelanjangi, dibariskan, difoto, dan kemudian dibantai dengan tembakan otomatis dan mereka yang selamat menceritakan tentang perilaku kebinatangan yang lebih luar biasa. Mereka yang ditawan diperlakukan dengan kebrutalan yang merendahkan martabat.
Poin 5: … keseluruhan aksi itu telah dikutuk oleh pers Yahudi dan dikecam oleh Kepala Kerabian ( Chief Rabbinate).
Poin 9: Seorang perwakilan Palang Merah Internasional yang mengunjungi Deir Yassin pada 11 April bersaksi bahwa dia melihat di satu gua terdapat tumpukan mayat sekitar 150 lelaki, perempuan dan anak-anak, sedangkan di gua lainnya ditemukan 50 mayat lagi.
Menurut Benny Morris, profesor sejarah dari Ben-Gurion University, Beersheba, “ … para anggota milisi mencuri uang dan perhiasan dari para penyintas sebelum membakar mereka. Bahkan mutilasi dan pemerkosaan pun terjadi,” katanya. Sangat biadab.
Mengapa seorang guru besar ilmu sejarah berdarah Yahudi dan berkebangsaan Israel berani menyimpulkan seperti itu? “Saya bukan sejarawan yang menyembunyikan sesuatu,” kata Morris dalam wawancara dengan harian Israel, Yedi’ot Aharonot, 2010. “Ada sejarawan yang selalu sibuk menyembunyikan sesuatu, tetapi saya selalu percaya bahwa mengajarkan kebenaran itu penting.”
4/
Sebagai penutup, kita kembali pada artikel Ofer Aderet di koran Haaretz edisi 16 Juli 2017 yang menginspirasi tulisan Skema (Sketsa Masyarakat) ini. Aderet menjadikan film dokumenter karya sutradara Israel, Neta Shosani, yang berjudul Born in Deir Yassin (2017) sebagai fokus utama artikelnya.
Sekitar sepuluh tahun sebelum dokumenter dibuat, Shosani yang masih menjadi mahasiswi Bezalel Academy of Arts and Design, Yerusalem, sedang mengerjakan tugas akhir tentang dokumentasi visual Rumah Sakit Jiwa Kfar Shaul. Saat mendalami sejarah berdirinya RSJ itu, dia terkejut menemukan fakta bahwa daerah itu dulunya bernama Deir Yassin yang diganti namanya oleh Pemerintah Israel setelah pembantaian 1948.
Namun mencari keotentikan cerita tentang apa yang pernah terjadi di sana juga tak mudah. Dari hasil riset melalui internet, Shosani dapatkan foto-foto para korban pembantaian. “Namun setelah diverifikasi lebih jauh, ternyata itu foto-foto korban Sabra & Shatila,” katanya mengacu pada pembantaian terhadap pengungsi Palestina di kamp pengungsi Lebanon yang dilakukan oleh milisi Kristen Maronit Lebanon yang radikal (dengan keterlibatan Ariel Sharon—red Jernih).
Shosani lalu mendatangi Pusat Arsip Militer Israel di bawah IDF. Dia dapatkan foto-foto para anggota milisi Irgun dan Lehi, namun tak satu pun foto warga desa Deir Yassin yang menjadi korban. Shosani juga menyambangi Pusat Arsip Haganah. Dia nyaris putus asa karena tak berhasil mendapatkan foto-foto korban.
Tanpa disangka menjelang pulang, seorang tua mendekatinya dengan hati-hati dan memperkenalkan diri. “Namanya Shraga Peled, umur 91, mengaku pernah bekerja sebagai petugas Haganah Information Service,” ujar Shosani. “Dia mengajak saya ke sebuah ruangan dan mengatakan bahwa dialah yang memotret pembantaian di Deir Yassin, termasuk warga desa yang diikat di pohon lalu dibakar.”
Foto itu bersama foto-foto lain yang mengabadikan kekejaman anggota milisi, diserahkan Peled kepada atasannya. “Setelah itu saya tak pernah melihat lagi foto-foto karya saya tersebut namun tetap jelas di kepala saya,” ujar Shosani mengulangi cerita Peled kepada Ofer Aderet.
Berdasarkan informasi tersebut Shosani kembali mendatangi Pusat Arsip IDF dan Kementerian Pertahanan. Kedua lembaga menolak permintaan Shosani dengan memberikan alasan “penghormatan terhadap yang sudah mati”. Shosani tak menyerah. Dia ajukan petisi ke Mahkamah Agung agar foto-foto korban Deir Yassin yang sudah puluhan tahun disembunyikan Pemerintah Israel bisa diakses publik.
Mahkamah Agung dalam tanggapan terhadap Petisi Shosani, pada 2010, menyatakan bahwa setelah melihat foto-foto korban pembantaian Deir Yassin, mereka tak bisa mengabulkan permintaan Shosani. Foto-foto tetap harus dijauhkan dari mata publik.
Dari penolakan itu, Shosani berjuang mencari satu per satu anggota milisi Irgun dan Lehi yang masih hidup, serta sumber-sumber lain yang kredibel untuk film dokumenternya .
Kini film dokumenter Born in Deir Yassin besutan Shosani berdurasi 1 jam 3 menit itu bisa ditonton di YouTube. Penting ditonton terutama bagi—meminjam ucapan Profesor Benny Morris—“mereka yang tidak suka menyembunyikan sesuatu dan percaya bahwa mengajarkan kebenaran itu penting.” [ ]
*
Cibubur, 16 Oktober 2023
*Penulis adalah sosiolog, penulis penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 bidang Sastrawan/Budayawan Nasional dan National Writer’s Award 2021 Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA, mantan redaktur kompartemen luar negeri majalah berita Gatra dan Tempo.