Site icon Jernih.co

Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferry Latuhihin Kepada Purbaya

Kritik Latuhihin merefleksikan pertarungan panjang antara dua mazhab mazhab netralitas ekonomi ala FEUI dan mazhab keberpihakan ala Sumitro Djojohadikusumo. Satu menekankan disiplin dan efisiensi sistem; yang lain menekankan moral dan keadilan sosial. Sumitronomics menolak anggapan bahwa ekonomi bisa netral di tengah ketimpangan sosial. Bagi Sumitro, netralitas adalah mitos. Negara bukan hanya wasit, melainkan pemain yang harus turun ke lapangan ketika permainan menjadi timpang. Ia menulis: “Keberpihakan bukan pelanggaran terhadap ekonomi, melainkan koreksi terhadap ketimpangan yang dihasilkannya sendiri.”

Oleh     :  Radhar Tribaskoro*

JERNIH–Pernyataan Prof. Ferry Latuhihin bahwa kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa “menyalahi hukum ekonomi” mengguncang ruang publik. Kritik itu bukan sekadar teknis, melainkan ideologis — tentang batas peran negara dalam ekonomi dan hak moral negara untuk berpihak.

Di balik perdebatan ini, tersimpan pertarungan panjang antara dua mazhab besar yang membentuk arah pembangunan Indonesia: mazhab netralitas ekonomi ala FEUI dan mazhab keberpihakan ala Sumitro Djojohadikusumo. Satu menekankan disiplin dan efisiensi sistem; yang lain menekankan moral dan keadilan sosial. Pertanyaannya kini: bisakah keduanya disatukan tanpa menyalahi hukum ekonomi maupun hati nurani bangsa?

Dua Mazhab yang Membentuk Nalar Ekonomi Indonesia

Mazhab Netralitas (FEUI) berakar pada rasionalitas sistemik. Ekonomi, dalam pandangan ini, bekerja layaknya mesin yang efisien bila terbebas dari intervensi politik. Negara cukup menjadi wasit, menjaga stabilitas moneter dan fiskal, tanpa ikut bermain di lapangan. Netralitas dianggap bentuk tanggung jawab: disiplin adalah moralitas tertinggi.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran klasik Milton Friedman, yang menyatakan bahwa “the business of business is business.” Dalam logika Friedman, tugas ekonomi adalah memaksimalkan efisiensi pasar; segala bentuk intervensi politik berisiko menciptakan distorsi.

Namun Mazhab Keberpihakan (Sumitronomics) menolak anggapan bahwa ekonomi bisa netral di tengah ketimpangan sosial. Bagi Sumitro, netralitas adalah mitos. Negara bukan hanya wasit, melainkan pemain yang harus turun ke lapangan ketika permainan menjadi timpang. Ia menulis: “Keberpihakan bukan pelanggaran terhadap ekonomi, melainkan koreksi terhadap ketimpangan yang dihasilkannya sendiri.”

Pandangan Sumitro ini memiliki resonansi global. John Maynard Keynes juga pernah mengingatkan: “The market can stay irrational longer than you can stay solvent.” Artinya, pasar tanpa koreksi moral dan kebijakan publik bisa bertahan dalam ketimpangan yang lama — dan itulah saat negara harus turun tangan.

Dua mazhab ini mewarnai arah pembangunan kita selama puluhan tahun — dan kini bertemu lagi dalam figur Ferry dan Purbaya.

Niat Purbaya dan Kritik Latuhihin

Kebijakan Purbaya memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara bukan sekadar soal bunga. Itu adalah usaha untuk menghidupkan uang negara yang diam agar berputar ke sektor produktif. Di saat UMKM kesulitan kredit, negara justru menimbun dana besar di kas pusat. Purbaya ingin mengembalikan fungsi fiskal sebagai mesin kehidupan, bukan sekadar penjaga saldo.

Ia mencoba menghubungkan moral politik — bahwa uang publik harus bermanfaat bagi rakyat kecil — dengan mekanisme ekonomi. Ini bukan sekadar injeksi dana, tetapi percobaan membangun keseimbangan sistemik antara politik dan ekonomi: kebijakan yang tetap rasional, namun memiliki arah sosial.

Sebaliknya, Ferry Latuhihin menilai langkah itu berisiko menyalahi “hukum dasar ekonomi.”  Menurutnya, bank-bank Himbara tidak kekurangan dana. Mereka tidak menyalurkan kredit UMKM bukan karena likuiditas, tetapi karena insentif dan risiko tidak seimbang. Menambah dana tanpa memperbaiki struktur risiko sama saja dengan “menambah bensin tanpa menyalakan mesin.”

Ferry melihat bahaya distorsi pasar: ketika politik mengintervensi tanpa memahami logika sistem keuangan, koreksi alami ekonomi hilang. Dalam bahasanya, “Kebijakan ekonomi yang dibuat untuk tujuan politik akan kehilangan daya koreksi alamiahnya.”

Namun di sinilah letak perbedaan cara pandang: Ferry melihat ekonomi sebagai sistem tertutup, sementara Purbaya melihat ekonomi sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar.

Keseimbangan Sistemik: Jalan Tengah antara Akal dan Nurani

Perdebatan ini bukan tentang siapa yang benar, melainkan tentang bagaimana menjaga keseimbangan antarsistem sosial. Ekonomi yang sehat memang tunduk pada logika efisiensi, tetapi tidak bisa steril dari nilai politik dan moral publik. Sebaliknya, politik yang berpihak tidak boleh menafikan disiplin ekonomi.

Dalam bahasa yang sederhana, keseimbangan sistemik adalah kopling yang sehat antara logika akal dan nurani. Politik memberi arah, ekonomi memberi batas. Keduanya saling menegakkan, bukan meniadakan.

Langkah Purbaya, bila dilihat dari kacamata ini, bukan pelanggaran hukum ekonomi, melainkan upaya menyehatkan hubungan antara dua sistem yang selama ini timpang. Ia mencoba menautkan kebijakan fiskal dengan denyut ekonomi riil — bukan menggantikan mekanisme pasar, tetapi menghidupkannya kembali agar tidak beku oleh ketakutan birokratis.

Sebagaimana diingatkan Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001: “Markets by themselves often lead to inefficient outcomes, especially when there are asymmetries of information and power.” Artinya, jika negara tidak turun tangan menyeimbangkan kekuasaan pasar, yang lahir bukan efisiensi, melainkan oligopoli.

Ferry menjaga disiplin akal, Purbaya menyalakan nurani sosial. Keduanya diperlukan dalam ekonomi modern yang kompleks. Karena sistem ekonomi yang baik harus bisa bernapas — mengatur ritme antara stabilitas dan gerak, antara kebebasan dan kontrol.

Tugas pemerintah bukan menggantikan pasar, tetapi memastikan titik keseimbangan dinamis di antara keduanya. Dani Rodrik, ekonom Harvard, menyebutnya “smart government” — bukan pemerintah besar, tapi pemerintah yang tahu kapan harus mengintervensi dan kapan harus mundur. Rodrik menulis: “Good economics is not about choosing between the market and the state, but finding the right balance between them.

Dengan logika itu, keberpihakan bukanlah pelanggaran terhadap ekonomi, melainkan bentuk koreksi adaptif agar sistem kembali bekerja bagi masyarakat luas.

Menemukan Mazhab Ketiga: Etika Keseimbangan

Indonesia membutuhkan mazhab ketiga — Etika Keseimbangan — yang memadukan moral Sumitro dan disiplin Widjojo. Mazhab ini menolak dikotomi lama antara efisiensi dan keadilan. Ia mengakui bahwa pasar perlu diarahkan, tapi bukan dikendalikan sepenuhnya; bahwa negara perlu berpihak, tapi dengan mekanisme koreksi yang terukur.

Sumitro pernah menulis dalam Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional: “Pemerintah tidak boleh takut memihak. Netralitas di tengah ketimpangan adalah bentuk keberpihakan kepada yang kuat.”

Sedangkan Widjojo Nitisastro, dalam Pengalaman Pembangunan Ekonomi Indonesia, mengingatkan: “Pembangunan adalah seni menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas; keberpihakan tanpa keseimbangan akan menghancurkan fondasi yang menopangnya.”

Etika keseimbangan juga menemukan dukungannya dari pemikir kontemporer. Amartya Sen dalam “The Moral Dimension of Economics” (1983), pemenang Nobel Ekonomi 1998 itu menulis: “Economics without ethics is a machine without a driver; ethics without economics is a driver without a machine.” Pesan Sen ini menegaskan bahwa moralitas dan rasionalitas bukan musuh, melainkan dua roda dari kendaraan yang sama.

Ha-Joon Chang, ekonom Korea Selatan, juga menegaskan dalam “Bad Samaritans” (2007): “Every successful economy in history has relied on government intervention — the real question is how, not whether, the state should intervene.” Sejarah mengajarkan bahwa semua negara yang berhasil membangun ekonominya, tidak pernah lepas dari intervensi negara.

Dari Teori ke Praktik: Bagaimana Keseimbangan Dibangun

Keseimbangan sistemik bukanlah konsep abstrak. Ia memiliki wujud praktis dalam kebijakan publik:

1. Dana publik boleh digerakkan, asalkan diarahkan dengan sistem insentif yang jelas dan pengawasan yang transparan.

2. ⁠⁠Keberpihakan boleh dilakukan, asalkan dipandu akal sehat ekonomi dan data empiris.

3. Politik boleh mengintervensi ekonomi, asalkan tetap menjaga sirkulasi sehat antar keduanya.

Kuncinya adalah desain kebijakan yang memastikan positive feedback loop: keberpihakan sosial memperkuat efisiensi ekonomi, bukan sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan kopling yang sehat: keterhubungan antara dua sistem yang saling memperkuat, bukan saling meniadakan.

Ferry dan Purbaya bukan musuh, melainkan dua elemen dalam sistem yang sama — satu menjaga tatanan, satu menggerakkan perubahan. Perbedaan mereka bukan tanda kerusakan, melainkan tanda bahwa sistem kita masih bernapas, masih mencari keseimbangan antara disiplin dan keberpihakan.

Kita tidak perlu memilih antara akal dan nurani, antara hukum ekonomi dan hukum moral. Yang kita butuhkan hanyalah hubungan yang sehat di antara keduanya — keseimbangan sistemik yang memungkinkan ekonomi bekerja efisien tanpa kehilangan jiwa sosialnya.

Sejarah menunjukkan: negara yang bertahan bukanlah yang paling efisien atau paling dermawan, melainkan yang paling seimbang. Dan keseimbangan itulah bentuk paling nyata dari keberpihakan yang cerdas — keberpihakan yang tidak melanggar hukum ekonomi, melainkan mengembalikan hukum itu kepada tujuan aslinya: kesejahteraan manusia.

The purpose of economics is not to study goods but mankind,” tulis Alfred Marshall lebih dari seabad lalu. Kalimat ini seolah menjawab perdebatan Ferry dan Purbaya hari ini: bahwa hukum ekonomi bukan kitab yang kaku, melainkan panduan hidup yang harus terus disesuaikan dengan denyut masyarakat. Selama negara berupaya mengembalikan ekonomi kepada manusia, bukan sebaliknya, maka keberpihakan bukanlah pelanggaran — ia adalah tanda bahwa sistem ini masih memiliki hati. [ ]

*Penulis adalah anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Ketua Komite Kajian Ilmiah Forum Tanah Air (FTA).

Exit mobile version