Jernih.co

Ketika ISAFIS Dapat Penghargaan Langsung dari Sekjen PBB

Menjadi headline Kompas bukan peristiwa luar biasa. Itu hanya bagian dari rutinitas. Diliput TVRI (satu-satunya saluran televisi di masa itu). pun hal biasa. Wawancara media berita maupun radio bukan lagi kebanggaan; sudah terasa normal, seolah konsekuensi dari aktivitas yang tidak pernah berhenti. Semua didapat saat masih berstatus mahasiswa S1. Bukan mahasiswa pasca-sarjana, bukan orang tua berumur 40 tahun ke atas yang dimuda-mudakan dengan bertahan jadi pengurus ormas kepemudaan

Oleh     :  Geisz Chalifah

JERNIH– Organisasi itu bernama ISA of Indonesia sebelum kemudian berubah menjadi ISAFIS-Indonesia Student Association for International Studies. Sekretariatnya sederhana saja, sebuah rumah tua di Menteng, Jalan Banyumas No. 2. Dari tempat itulah gagasan besar tentang diplomasi, hubungan internasional, dan pergaulan global mahasiswa Indonesia tumbuh dengan dahsyat.

Setiap Sabtu kami berkumpul untuk rapat mingguan; hampir tidak ada satu bulan pun yang kosong. Bahkan sering dalam sebulan kami menggelar dua hingga tiga kegiatan: seminar umum, diskusi dengan berbagai kedutaan besar di Jakarta, sampai forum bersama perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

ISAFIS pada masa itu seperti ruang dialog anak muda yang gemar isu internasional. Sangat aktif; sangat menggebu-gebu.

Menjadi headline Kompas bukan peristiwa luar biasa. Itu hanya bagian dari rutinitas. Diliput TVRI (satu-satunya saluran televisi di masa itu). pun hal biasa. Wawancara media berita maupun radio bukan lagi kebanggaan; sudah terasa normal, seolah konsekuensi dari aktivitas yang tidak pernah berhenti. Semua didapat saat masih berstatus mahasiswa S1. Bukan mahasiswa pasca-sarjana, bukan orang tua berumur 40 tahun ke atas yang dimuda-mudakan dengan bertahan jadi pengurus ormas kepemudaan.

Kegiatan ISAFIS tidak hanya di dalam negeri. Kadang program pertukaran pemuda ke Kanada, Jepang, Australia, hingga Amerika Serikat. Kadang undangan dari PBB di New York. Pada medio 1986, undangan datang untuk ISAFIS dari UNIC (United Nations Information Center) Jakarta mengenai program United Nations Internship Program bagi sarjana atau mahasiswa tingkat akhir dari Indonesia. Yang hadir saat itu Faizal Motik dan beberapa lainnya.

Setiap forum digilir bergantian; tidak pernah hanya menjadi jatah ketua umum. Siapa pun yang berangkat harus memenuhi kriteria objektif. Karena semuanya transparan, tidak pernah ada perselisihan. Saya sendiri mengikuti Nakasone Programme ke Jepang.

Secara organisasi, tampilannya keren sekali. Di mata mahasiswa umum, ISAFIS terlihat sangat berwibawa. Tapi kalau tahu isi dalamnya, kesan itu bisa langsung bubar. Di dalam ISAFIS, urusan bercanda tidak ada adabnya, semena-mena dan sekena-kenanya. Faizal Motik, yang kami panggil Bang Ical, bukan hanya motivator bagi kami semua tetapi juga biang keladi gaya bicara yang “seperti tidak pernah disekolahkan” itu. Banyak hal menjadi bahan guyon; tidak peduli anak menteri atau anak ketua ormas Islam. Semua hal yang bersifat feodal itu runtuh di ISAFIS.

Tak ada senioritas berlebihan; semuanya egaliter. Bahkan saya yang lahir dan besar di Poncol pun kadang gagap menghadapi bercandaan di situ. Jenis jokes-nya tidak langsung: kalimat menggantung yang perlu ditafsir dulu baru bisa tertawa. Bercandanya  ISAFIS itu khas; tidak intelek, tidak kasar, tapi sarkastik. Entah bagaimana menjelaskannya. Yang jelas, bahkan untuk tertawa pun harus pintar.

Namun semua itu berubah drastis ketika bertemu perwakilan negara asing. Seketika semua berjas, berdasi, dan bersikap elegan  Demikian pula yang perempuannya.  Sebagaimana layaknya para diplomat. Dalam urusan seperti itu, mahasiswa yang tergabung di ISAFIS jagonya.

Bang Ical paling marah bila kami menyalami orang asing sambil menunduk, entah itu duta besar, sekretaris, atau atase pendidikan. Baginya, rasa percaya diri adalah etika diplomasi.

Tahun 1987 datang kejutan besar. Perwakilan PBB di Jakarta memberi kabar bahwa ISAFIS mendapat penghargaan Peace Messenger yang ditandatangani Sekjen PBB, Javier Pérez de Cuéllar. Satu-satunya penghargaan PBB yang diberikan kepada organisasi mahasiswa di Indonesia.

Dan hari itu, kami yang biasa bercanda tanpa aturan, yang rapatnya kadang jadi kacau karena selalu saja ada kalimat menggantung yang digunakan untuk meledek sesuatu. Tetapi mimpinya besar, tiba-tiba menyadari: ternyata dari rumah tua di Menteng itu, suara kami sampai ke jantung PBB, dan dunia mendengarnya. [ ]

Exit mobile version