Site icon Jernih.co

Ketika Para Politisi Matang Karena “Pahadreng”

HOS Cokroaminoto dalam sebuah momen politik, ilustrasi

Sebelumnya, pada tahun 1950-an, di sebuah kampung kecil bernama Seungkeu, Kecamatan Banyuresmi, sekitar 10 km dari Kota Garut, terdapat tokoh historis bernama Wira, yang diakui sebagai “guru politik” sekaligus “guru spiritual” Sutan Syahrir, perdana menteri RI pertama dan Ketua Umum Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Oleh   :  Usep Romli HM*

JERNIH– Dalam semua kamus bahasa Sunda, tak ada keterangan tentang kata “pahadreng”. Padahal itu merupakan kata atau istilah yang sering dipakai masyarakat sehari-hari, sebagi padanan kata “pasea” (bertengkar), “parea-rea omong” (adu mulut).

Alm. Usep Romli HM

Mungkin karena “pahadreng” berasal dari bahasa Belanda “vergadering”. Debat, adu pendapat, diskusi, dan baru dikenal sekitar awal tahun 1900-an. Tepatnya tahun 1905, ketika lahir organisasi “Sarikat Dagang Islam” (SDI),yang kemudian berubah menjadi gerakan politik “Sarikat Islam” (SI). Sebuah organisasi modern militan bentukan H.Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Dari berbagai sumber, baik lisan maupun tulisan, SI aktif menyelenggarakan pendidikan politik dalam arti luas, baik yang berkaitan dengan urusan administrasi tata negara tingkat elit, maupun urusan sosial kemasyarakatan tingkat “akar rumput”. Kader-kader SI sudah tampil mewarnai perjalanan bangsa dan negara RI sejak sebelum kemerdekaan. Nama-nama Agus Salim, Abdul Muis, Sudibjo, dll., adalah kader-kader SI yang punya integritas pada bidangnya masing-masing.

Agus Salim, salah seorang dari sembilan penandatangan “Piagam Jakarta” 22 Juni 1945 (delapan lainnya : Sukarno, Hatta, Yamin, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoeyoseo, A.A.Maramis), pernah menjadi menteri luar negeri RI. Konon ia menguasai sebelas bahasa terkemuka di dunia, sangat jenius berdiplomasi, namun tak pernah punya rumah sendiri. Sering berpindah-pindah kontrakan, sebagaimana dituturkan salah seorang yuniornya Mochamad Roem (pernah menjadi menteri dalam negeri, salah seorang tokoh perunding kemerdekaan, yang menghasilkan kesepakatan “Roem-Van Royen” tahun 1947), dalam buku “Sejarah Tokoh Bangsa” susunan Yanto Bashri  dan Retno Sufiatni (2005).

Abdul Moeis lebih terkenal sebagai sastrawan. Menulis novel sejak 1930-an. Karya-karyanya yang telah menjadi klasik, masih menjadi bahan telaah dam bacaan wajib di sekolah-sekolah. Antara lain “Salah Asuhan”, “Untung Surapati”, “Robert Anak Surapati”, dll.

Sedangkan Soedibjo (Sudibyo), dikenal sebagai menteri penerangan tahun 1950-an, yang merintis perpustakaan di setiap kecamatan, agar para “juru penerang” (Jupen) memiliki minat baca dan kesadaran literasi, dan menularkannya kepada masyarakat luas dalam rangka pemberantasan buta huruf (PBH).

Pendidikan politik yang diselenggarakan SI, tidak terbatas di kota-kota besar melainkan tersebar di daerah-daerah. Hingga tingkat kecamatan dan desa. Sebelum masa kemerdekaaan, kegiatan pendidikan politik SI itu dinamai “pahadreng”. Diselenggarakan di kota-kota kecamatan, hampir sebulan sekali. Sering dihadiri tokoh-tokoh SI pusat, termasuk H.O.S. Tjokroaminoto sendiri.

Tak heran, jika kader-kader SI waktu itu, memiliki kemampuan orasi di atas rata-rata, menjadi “orator” yang memikat publik. Juga memiliki kemampuan menulis di berbagai media massa, sebagaimana dicontohkan H.O.S Tjokroaminoto yang menerbitkan beberapa majalah dan suratkabar.

Presiden RI pertama, Soekarno (1901-1970), merupakan anak didik langsung H.O.S Tjokroaminoto. Terkenal sebagai orator ulung dan penulis piawai. Membaca tulisan- tulisannya yang terkumpul dalam “Di Bawah Bendera Revolusi” (jilid 1 dan 2, 1966), “Sarinah” (1957), “Indonesia Menggugat” (1940), dll, sama enaknya dengan mendengarkan pidato-pidatonya.

Kabupaten Garut paling sering menyelenggarakan “pahadreng”. Tak heran, jika dari Garut kelak bermunculan tokoh SI (PSII) tingkat nasional. Antara lain KH Yusuf Tauziri (pendiri pesantren “Darusssalam” Wanaraja, Garut, anggota DPR-GR 1960-1965), KH Mustofa Kamil (pejuang kemerdekaan, wafat di Gresik, pada peristiwa 10 Nopember 1945), Arudji Kartawinata (1905-1970), yang menjabat ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) 1963-1966.

Tradisi “pahadreng” yang disemaikan SI sejak 1920-an, di Garut sempat berkembang menjadi “kursus politik” yang tumbuh subur selama 1960-1965. Salah satu tempat “kursus politik” di Garut, terletak di Jl.Bank 14. Diselenggarakan oleh Burhan Mustafa, seorang tokoh nasionalis/PNI sejak tahun 1930-an. Dari tempat kursus tersebut, lahir beberapa tokoh politik yang mentas di tingkat nasional dan daerah. Salah seorang putra kandung Burhan, yaitu Awan Karmawan Burhan, menjadi tokoh Golongan Karya (Golkar) pusat. Beberapa periode menjadi Ketua DPP Golkar dan anggota DPR. Sebelum aktif di Jakarta, Awan Karmawan bersama rekan-rekannya (al.Rahman Tolleng, Midian Sirait, Mansur Tuakia, dll) mendirikan surat kabar mingguan “Mahasiswa Indonesia” (MI) yang sangat fenomenal dalam sejarah pers Indonesia (1966-1974).

Masih di kota Garut, KH Anwar Musaddad (1908-2000), tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah menjadi murid dan sekretaris H.O.S Tjokroamonoto pada 1920-an, sempat mendirikan “kursus politik” (1960-1965) bagi para santri dan ajengan. Terutama untuk membendung faham komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang mencoba mengelabui umat Islam dengan mendirikan ormas “Ikhwanul Muslimin”. Pada tahun 1963, beberapa ulama “IM” PKI, mengeluarkan fatwa menghalalkan daging tikus untuk dimakan, yang cukup menghebohkan.

Sebelumnya, pada tahun 1950-an, di sebuah kampung kecil bernama Seungkeu, Kecamatan Banyuresmi, sekitar 10 km dari Kota Garut, terdapat tokoh historis bernama Wira, yang diakui sebagai “guru politik” sekaligus “guru spiritual” Sutan Syahrir, perdana menteri RI pertama dan Ketua Umum Partai Sosialis Indonesia (PSI). Hal ini diungkapkan oleh Rosihan Anwar, penulis buku “Sutan Syahrir, Riwayat Hidup dan Perjuangannya” (1981).

Menjelang Pemilu 1955, Sutan Syahrir bersama kawan-kawan (antara lain Sujatmoko, Subadio Sastrosatomo, Achdiat Kartamiharja, dll) sering “sowan” kepada Wira Seungkeu. Seorang saudara Wira, yaitu Sastra, terpilih menjadi anggota Konstituante (MPR) dari PSI.

Kiprah sejarah dan perkembangan “pahadreng” sebagai cikal bakal “kursus politik” SI tahun 1920-an, berhasil menegakkan peran dan fungsi politikus saat itu. Sehingga tidak menjadi “tikus main poli” seperti zaman sekarang. [  ]

*Almarhum. Tulisan ini pernah dimuat Jernih pada saat almarhum bergabung bersama.

Exit mobile version