Pertanyaan tentang ijazah, sebagaimana tercantum dalam pendapat hukum Tim Pembela Eggi Sujana dkk, seharusnya tetap berdiri di atas prinsip terang-benderang: bahwa setiap dokumen yang dipakai untuk menduduki jabatan publik bukan lagi milik pribadi. Ia telah menjadi milik publik, sebagaimana kursi kekuasaan itu sendiri adalah titipan rakyat. Kita tahu: ijazah hanyalah penanda kecil dari integritas seorang pemimpin. Namun lebih kecil lagi adalah kenyataan bahwa negeri ini tampaknya tak ingin integritas itu diuji.
Oleh : Radhar Tribaskoro*

JERNIH– Ada yang getir terasa dalam perkara ijazah ini. Bukan pada lembaran kertas itu sendiri—kertas selalu rapuh, mudah tersobek, mudah pula dibakar—melainkan pada cara sebuah negara, dengan segala perangkat kekuasaannya, merespons pertanyaan sederhana dari warganya sendiri.
Di negeri yang katanya demokratis, pertanyaan itu bukanlah permusuhan; ia adalah bentuk paling dasar dari cinta: keinginan untuk memastikan bahwa yang memerintah tidak patah dari kejujurannya. Tapi cinta macam ini rupanya dianggap mengancam.
Pertanyaan tentang ijazah, sebagaimana tercantum dalam pendapat hukum Tim Pembela Eggi Sujana dkk, seharusnya tetap berdiri di atas prinsip terang-benderang: bahwa setiap dokumen yang dipakai untuk menduduki jabatan publik bukan lagi milik pribadi. Ia telah menjadi milik publik, sebagaimana kursi kekuasaan itu sendiri adalah titipan rakyat. Namun negeri ini tampaknya telah bergeser. Kebenaran tidak lagi berdiri sebagai sesuatu yang boleh dibuka—ia menjadi sesuatu yang harus dipertahankan, bahkan bila perlu dengan aturan yang dibengkokkan.
Dan di sinilah demokrasi mulai retak, bukan oleh teriakan, melainkan oleh kesunyian .
Sebab demokrasi, pada akhirnya, bukan hanya tentang pemilu atau kotak suara. Ia adalah tentang kemampuan rakyat untuk bertanya, dan kemampuan negara untuk menjawab. Ketika yang pertama ditakuti dan yang kedua dihindari, demokrasi kehilangan napasnya.
***
Di banyak tempat, pelapor adalah saksi. Dan saksi adalah cahaya. Karena itu hukum memberi mereka perlindungan: agar mereka bisa bicara tanpa dibungkam. Tetapi dalam perkara ini, seperti yang disampaikan dalam pendapat hukum itu, pelapor tidak berdiri di ruang yang aman. Mereka justru menjadi tersangka lebih cepat daripada laporan yang diajukannya sendiri.
Ini sebuah ironi kecil yang tidak bisa dirayakan. Sebab apa artinya negara bila ia curiga pada orang yang hanya ingin memastikan kebenaran? Apa artinya kepolisian bila ia lebih cekatan memproses suara yang mengganggu ketenteraman kekuasaan, ketimbang keresahan publik?
Hukum seharusnya seperti air—jernih, tenang, tetapi kuat. Namun ketika prosedur dilompati, syarat-syarat formil diabaikan, penyitaan dilakukan tanpa dasar hukum yang tepat, laboratorium forensik bekerja tanpa fondasi administratif, maka yang mengalir bukan lagi air, melainkan sesuatu yang keruh. Mengair ke mana saja, mengikuti kontur politik, bukan kontur keadilan. Dan dalam kekeruhan itulah demokrasi perlahan kehilangan pantulannya.
***
Kita tahu: ijazah hanyalah penanda kecil dari integritas seorang pemimpin. Namun lebih kecil lagi adalah kenyataan bahwa negeri ini tampaknya tak ingin integritas itu diuji. Alih-alih membuka dokumen dan menunggu debat publik mereda dengan sendirinya, negara memilih langkah yang lebih cepat, lebih keras, dan lebih sunyi: mempidanakan para penanya.
Demokrasi tidak mati oleh letusan senapan. Ia mati oleh ketakutan. Ketika rakyat belajar bahwa bertanya itu berbahaya, ketika kritik dianggap kejahatan, ketika laporan dianggap provokasi, maka orang-orang akan diam. Dan diam adalah awal dari pemerintahan yang tak lagi merasa perlu diawasi.
Barangkali inilah yang paling gelap dalam perkara ini: bukan soal apakah dokumen itu asli atau tidak, tetapi bagaimana negara membentuk preseden—bahwa kebenaran tak perlu diuji, cukup diperintahkan. Bahwa ketidakpastian bisa dihapus bukan dengan penjelasan, tetapi dengan pemidanaan. Bahwa hukum bisa dipakai untuk menutup pintu, bukan untuk membukanya.
***
Seorang presiden, tentu saja, boleh “cawe-cawe”. Konstitusi memberi ruang bagi kepala negara untuk turun tangan ketika negara membutuhkan arahan. Namun bila “cawe-cawe” itu berubah menjadi upaya menjaga keheningan publik, maka kita sedang memasuki wilayah lain: wilayah di mana kekuasaan tidak memperkuat struktur demokrasi, tetapi menutup celah-celahnya.
Mereka yang memahami negara tahu: kekuasaan yang tidak diuji akan mudah tergelincir. Mereka yang memahami demokrasi tahu: setiap upaya membungkam kritik adalah langkah pertama menuju regresi politik. Dan mereka yang memahami sejarah tahu: republik ini pernah mengalami masa ketika kebenaran dikurung, dan kita semua tahu bagaimana akhirnya.
Maka, ketika negara menolak membuka informasi publik, menafsirkan hukum secara sempit, dan memproses pelapor secara tergesa-gesa, yang rusak bukan hanya prosedur—tetapi janji besar demokrasi itu sendiri: bahwa negara tidak berhak takut pada rakyatnya.
***
Pada akhirnya, perkara ini bukan tentang Eggi Sudjana, bukan tentang TPUA, bukan tentang lembar ijazah. Ini adalah cermin kecil tentang bagaimana demokrasi Indonesia menghadapi kritik. Bila negara memilih memakai kekuatan, bukan argumentasi; prosedur, bukan transparansi; pemidanaan, bukan penjelasan—maka yang sesungguhnya sedang diuji adalah kekokohan republik itu sendiri.
Kita bisa membayangkan sebuah negeri yang lebih tenang. Di sana, rakyat bertanya tanpa rasa takut. Di sana, pejabat memimpin tanpa harus sembunyi. Dan di sana, hukum menjadi sungai jernih yang membasuh semua persoalan, bukan selokan kecil yang kering pada musim kekuasaan.
Mungkin itu terlalu utopis. Tapi demokrasi selalu dimulai dari utopia. Yang menghancurkannya adalah ketika negara sendiri memutuskan untuk berhenti bermimpi.
***
Demokrasi tidak runtuh dalam sehari. Ia melemah perlahan, melalui kebiasaan-kebiasaan yang kita biarkan: satu kasus kriminalisasi di sini, satu penolakan informasi di sana, satu prosedur yang dilanggar, satu pelapor yang dipenjara. Pada akhirnya, kita tersadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu—bukan karena hilang, tetapi karena perlahan digelapkan.
Dan mungkin, dalam gelap itu, kita akhirnya memahami bahwa pertanyaan tentang ijazah bukan sekadar pertanyaan. Ia adalah panggilan untuk memastikan bahwa republik ini masih punya keberanian untuk melihat dirinya sendiri. Bahwa negara ini belum lupa pada janji paling dasar dari demokrasi: kebenaran tidak boleh ditakuti. [ ]
*Bekasi, 30 September 2021
Menyertai Tim Hukum Pembela Bang Eggi Sudjana (BES) dalam Legal Opini terkait Perkara Dugaan Penggunaan Ijazah Palsu