Kalau pun kita menggunakan istilah demokrasi, kita boleh memberikan tafsir bebas. Tidak ada rambu-rambu, tidak ada lembaga atau otoritas yang menghalangi kita untuk melakukan tafsir terhadap kata “demokrasi”
JERNIH—“Seperti sering saya jelaskan sebelumnya, tidak mungkin sebagai bangsa kita meninggalkan kearifan, kebijakan, nilai-nilai, norma, moralitas dan estetika yang selama ini kita percaya untuk jadi acuan, bahkan pondasi dari upaya kita meluhurkan atau memuliakan kehidupan manusia.
Jadi marilah kita mengenali kembali, who am I? Siapa aku? Siapa kamu? Siapa Sunda? Siapa Aceh, siapa Batak, siapa Gorontalo, siapa Flores, dan sebagainya. Semua yang sudah kita lupakan. Padahal genetika kita, DNA kita, secara kultural ya itu semua. Kenali kembali itu semua, itu yang memuliakan nenek moyang kita sekian lama. Di situ ada kekuatan tersembunyi, yang kita nafikan, yang kita lupakan, dan selama ini kita covering.
Maka yang harus kita lakukan saat itu tak lain adalah dis-covering. Kita discover itu semua, sehingga yang laten itu mencuat, menguat, dan itu kita jadikan patokan untuk menyusun cara kita hidup bersama, berbangsa dan bernegara, berpolitik, berekonomi, berhukum dan sebagainya.
Sebagai contoh, dalam tata kehidupan politik. Kalau menurut saya, kalau pun kita menggunakan istilah demokrasi, kita boleh memberikan tafsir bebas. Tidak ada rambu-rambu, tidak ada lembaga atau otoritas yang menghalangi kita untuk melakukan tafsir terhadap kata “demokrasi”.
Setiap bangsa dan negara di atas bumi sekarang ini menciptakan tafsir terhadap demokrasi itu sendiri-sendiri. Apakah Anda akan mengatakan bahwa demokrasi yang berlangsung di Inggris, di Amerika Serikat, di Jepang, India dan di Jerman itu sama? Tidak sama. Semua berbeda, tergantung konteks realitas lokal dan signifikansi bagi kehidupan publik masing-masing.
Kita pun boleh (menciptakan tafsir sendiri). Korea (Utara) menyebut dirinya negara demokratis. Walaupun orang menganggapnya tidak demokratis. Orang Cina itu Komunis, tapi mencoba menerapkan hal-hal yang mereka sebut demokrasi.
Nah sekarang, kalau pun kita tetap menggunakan kata itu, saya kira dalam demokrasi, Indonesia tak perlu mengacu kepada sila ke-4. Mengapa? Karena ada banyak lagi hal lain yang sama kuat dan mulianya dengan sila ke-4 itu. Kita gabungkan saja. Di mana, praktik politik-demokrasi kita tidak ada posisi atau oposisi. Atau semua posisional, sekaligus semua pula oposisional.
Artinya, ketika ada satu pemerintahan terbentuk, dia menjadi satu posisi, nah orang lain atau kepentingan lain yang ada, itu menjadi oposisi, dalam pengertian memberikan kritik, kalau perlu kecaman, koreksi, cermin, dan lain lainnya terhadap pemerintah itu. Itu boleh. Wajar, dan sebaiknya begitu.
Tetapi semua berada dalam satu posisi, di mana segala hal yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh pengeritiknya, entah di Parlemen, di masyarakat, di mana pun, sama sama memiliki posisi tunggal, yakni yang namanya Indonesia atau kepentingan bangsa, atau kemanusiaan yang mulia, keluhuran peradaban, itu menjadi nilai dasar dan tujuan utama.
Jadi ketika kita mengeritik seorang presiden atau menteri, bukan dengan nafsu mengantikan atau menjatuhkannya. Bukan! Kita hanya mengoreksi kesalahannya. Itu seperti sebuah keluarga batih yang ada di seluruh pelosok negeri ini. Satu keluarga itu selalu punya komitmen untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Tetapi, di dalamnya, semua anggota keluarga bisa mengeritik kepala keluarga. Tujuannya agar dia bisa memperbaiki caranya memimpin, gayanya membina dan mengendalikan keluarga itu untuk mencapai tujuan-tujuan terbaik bersama.
Akhirnya akan ada sistem kerja tempat semua anggota keluarga bisa memberikan kontribusi positif terhadap keutuhan, serta memberikan konstribusi yang konstruktif untuk bisa mencapai masa depan yang lebih baik. [ ]