Link Youtube: https://youtu.be/sb4i6dX38oo
Presiden Jokowi tidak memanfaatkan secara maksimal kesempatan keduanya untuk merealisasi tujuan-tujuan berbangsa dan bernegara, termasuk tujuan “berkepribadian di bidang kebudayaan”
JERNIH– Ekspektasi terhadap Presiden Joko Widodo sangat besar. Tapi kini, makin banyak pihak, dalam maupun luar negeri kian meragukan kemampuan dan performance Presiden Jokowi.
Tidak hanya lemah dalam soal tata kelola pemerintahan, langkanya menciptakan terobosan baru, rendahnya kinerja kabinet di pelbagai dimensi, termasuk penanganan pandemi Covid-19, hingga peran penting Indonesia di dunia dalam mengatasi problem global.
Tak ada tawaran baru yang bisa digunakan masyarakat negeri ini untuk tidak hanya menjawab persoalan-persoalan mutakhir, tapi memberikan gagasan, ide baru, bagi kehidupan di Republik ini. Semua menunjukkan bagaimana kerja pemerintahan ini. Semua kerja yang ada itu kerja-kerja lama yang konservatif, tidak progresif. Sama saja dengan pemerintahan-pemerintahan lama, yang memang persoalannya juga lama.
Kita hanya melihat pemerintah menjalankan kerja-kerja konservatif, biasa-biasa saja, bahkan cenderung normatif, termasuk dalam penanganan Covid. Banyak pihak menyesalkan kebijakan-kebijakan yang tak jelas, bahkan kontradiktif di antara kebijakan yang ada. Penanganan yang banyak dirasakan orang-orang dibawa oleh cara berpkir atau pendekatan yang pragmatis dan oportunis. Sementara yang dibutuhkan adalah kekuatan gagasan yang mampu membulatkan tujuan-tujuan ideal bangsa ini.
Publik negeri ini juga ingin melihat negerinya bisa berkontribusi dalam kehidupan global. Dalam geopolitik, ekonomi dan sebagainya. Kita tak bisa menunjukkan jati diri yang kuat sebagai satu bangsa, dan menunjukkannya ke luar.
Presiden Jokowi tidak memanfaatkan secara maksimal kesempatan keduanya untuk merealisasi tujuan-tujuan berbangsa dan bernegara, termasuk tujuan “berkepribadian di bidang kebudayaan” yang bisa dianggap gagal total. Bahkan kebijakan utamanya terkait pembangunan infrastuktur banyak dinilai tak mampu menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi.
Namun yang paling krusial dari semua itu, kesibukan utamanya dalam menaklukkan lawan politiknya hanya sekadar mencari dukungan bagi kekuasaannya, sampai pada tingkat munculnya kecenderungan otoritarian yang tidak dimiliki oleh presiden lainnya sesudah Reformasi.
Presiden Jokowi rela mengorbankan kebebasan berpendapat dan kian menunjukkan sifat atau karakter aslinya, yang membuat ia tampak tidak kredibel dan tidak kapabel, terkesan menutup kuping dalam mengakomodasi masukan-masukan, hingga kritik yang mampu mendewasakan pemerintahan maupun para pembantunya. [ ]