Jernih.co

Krisis Kepemimpinan

“Kami akan urus diri kami sendiri dengan menyerahkannya kepada Allah. Pemerintah ternyata tidak bisa melindungi rakyat yang membutuhkan.  Biarlah sejarah yang mencatat apakah negara hadir atau absen saat rakyat membutuhkan.”

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Seorang warga biasa (wong cilik), bernaman Palimo, pegawai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kota Bukittinggi. Dia berasal dari Nagari Baringin, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Kampungnya tidak terkena galodo. Rumahnya aman. Namun, beberapa rumah di tetangga kampungnya, di kecamatan Palembayan, hanyut di bawa galodo.

Namun, Palimo tersenyum kecut ketika mendengar pertanyaan tentang bantuan pemerintah dalam merespons banjir dan longsor (galodo) di Indonesia. “Pemimpin kita tidak sungguh-sungguh ingin menolong masyarakat terdampak galodo,” jawab Palimo kemudian.

Kok bisa begitu?” tanya saya.

Palimo mengernyit. “Mereka masih berhitung soal rugi laba dalam membantu korban galodo“.

Saya tidak terima begitu saja pernyataannya. “Bagaimana penjelasannya?”  Palimo meninggikan alis. “Pemerintah punya kewenangan mengerahkan semua sumber daya menolong korban galodo. Namun, kenyataannya mereka seperti kagok. Tak tahu berbuat apa.”

Agaknya ini masuk akal. Soalnya pemerintah belum memutuskan bencana alam di Sumatra sebagai bencana nasional. Kalau sudah menjadi nasional, barulah pemerintah mengerahkan segala sumber daya tersedia untuk menyelamatkan korban galodo.

Saya terdiam sejenak.  Palimo melanjutkan penilaiannya. “Pemerintah daerah sangat reaktif. Membantu sekenanya saja. Tidak berkoordinasi. Akibatnya, warga di nagari tetangga saya empat hari terisolir dari dunia luar. Berada di dalam kegelapan. Listrik padam. Sinyal sama sekali hilang.”

Ini juga masuk akal. Pemerintah daerah di Indonesia cenderung reaktif. Lupa antisipatif. Padahal berbagai lembaga di daerah bisa disiapkan untuk menghadapi bencana alam. Salah satu yang eksis di sana adalah Taruna Siaga Bencana (Tagana).

Namun, pemerintah menganggap Tagana hanya sebagai pelengkap administrasi pemerintahan saja. Tidak diberdayakan secara proporsional. Akibatnya, ia tidak dilibatkan dalam prediksi bencana. Ia hanya dilibatkan secara sporadis dalam menghadapi bencana. Telat. Ia tidak bisa berbuat banyak.

Saya menarik nafas panjang. “Tidak usah over thinking,“ lanjut Palimo. “Ini kan konsekuensi logis rekrutmen pemimpin yang tidak sehat. Berbasis uang dan popularitas. Tidak bertolak dari keinginan ikhlas memajukan masyarakat, melindungi tumpah darah Indonesia. Kita terima saja”.

“Maksudnya?” tanya saya.

“Kami akan urus diri kami sendiri dengan menyerahkannya kepada Allah. Pemerintah ternyata tidak bisa melindungi rakyat yang membutuhkan.  Biarlah sejarah yang mencatat apakah negara hadir atau absen saat rakyat membutuhkan.”

Pada titik ini, sebenarnya Palimo ingin mengatakan kepeminpinan nasional sekarang sedang diuji. Apakah dia menjaga citra atau kehidupan. Kalau sudah begini, bisakah kita mengatakan Indonesia mengalami krisis kepemimpinan?

Entahlah! Yang jelas sejarah mencatat antara lain: Pertama, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengumumkan Tim Teformasi Polri dan Perpol X/ 2025 saat Presiden Prabowo Subianto saat berkunjung ke luar negeri. Presiden Prabowo Subianto seolah-olah tidak bertanggung jawab terhadap dampak negatif kedua aturan itu.

Kedua, Presiden Prabowo Subianto tidak mengumumkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional. Dia khawatir Indonesia dinilai tidak mandiri dalam mengurusi bencana alam di Sumatra. Akibatnya, pemerintah menolak semua benatuan asing untuk bencana alam Sumatra.

Berbagai analisis berseliweran tentang penyebab kedua kejadian ini di media sosial. Semua analisis itu bermuara kepada ketidakmampuan Prabowo Subianto sebagai presiden. Apakah semua informasi itu akurat? Entahlah! Yang jelas semua hasil analisis itu memiliki framing.  Salah satu tujuan framing adalah menghadirkan makna yang tersirat berkonteks kepentingan orang banyak, bukan kepentingan Presiden Prabowo Subianto. Itulah sebabnya tidak salah bila ada orang yang mengatakan Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. [ ]

*Gurubesar Jurnalisme UGM

Exit mobile version