Itu menjadikan Sulawesi dan Maluku, yang juga dikenal sebagai kawasan Walasea, sasaran empuk eksploitasi yang secara ironis memicu fenomena yang kita kenal sebagai “kutukan sumber daya alam”. Mirip Afrika. Tidak sebrutal Afrika, tapi watak eksploitatif, neokolonialisme dan kekerasan dari tambang-tambang mineral Walasea tak bisa diabaikan.
Oleh : Farid Gaban*
JERNIH– Sulawesi dan Maluku belakangan ini menjadi ajang perebutan seru karena memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
Nikel dibutuhkan untuk membuat baterai kendaraan listrik yang diklaim sebagai ramah lingkungan.
Itu menjadikan Sulawesi dan Maluku, yang juga dikenal sebagai kawasan Walasea, sasaran empuk eksploitasi yang secara ironis memicu fenomena yang kita kenal sebagai “kutukan sumber daya alam”. Mirip Afrika.
Kekayaan mineral Afrika memikat Eropa untuk menjajahnya. Perebutan sumber daya alam memicu konflik berkepanjangan serta perang saudara paling brutal di Liberia, Sierra Leone, Kongo, dan Rwanda. Sisi gelap dan brutal perebutan mineral di Afrika telah banyak didokumentasikan dalam buku, novel dan film.
Novel “The Dogs of War” (“Anjing-Anjing Perang”, 1974) oleh Frederick Forsyth diilhami oleh kisah nyata tentang sekawanan tentara bayaran yang disewa perusahaan multinasional untuk melakukan kudeta, menempatkan pemerintahan boneka, dan memprovokasi perang saudara dalam prosesnya.
Tapi, yang paling memiriskan adalah pelibatan puluhan ribu anak-anak dalam perang.
Itu antara lain digambarkan dalam film “Blood Diamond” (2006). Dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, film ini berlatar perang saudara di Sierra Leone (1991-2002). Perang saudara brutal yang dipicu oleh perburuan berlian.
Buku “A Long Way Gone: Memoirs of a Boy Soldier” (2007) mengisahkan pengalaman pribadi Ishmael Beah sebagai tentara anak-anak; sebuah close-up bagaimana perang merusak jalinan sosial hingga satuan terkecil: keluarga.
Kita bisa bersyukur bahwa Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara tidak mengalami perang saudara seperti Afrika.
Tidak sebrutal Afrika, tapi watak eksploitatif, neokolonialisme dan kekerasan dari tambang-tambang mineral Walasea tak bisa diabaikan.
Perang saudara tidak terjadi karena dominan aparat negara. Konsesi-konsesi tambang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional yang dijaga polisi dan tentara. Melayani para investor dan perusahaan, mereka meredam bahkan protes yang terkecil.
Penindasan dan pelanggaran HAM lazim terjadi. Petani dan nelayan kehilangan lahan hidup, baik karena lahannya beralih fungsi maupun karena kerusakan alam: penggundulan hutan, banjir, longsor, hilangnya sumber air dan pencemaran.
Investor yang dilindungi aparat bersenjata mendapat untung besar. Rakyat menuai risikonya, tergusur dan menderita akibat bencana yang mengikutinya.
“Anjing-anjing perang” juga terjadi di sini, meski dalam wajah yang subtle.
Bisakah kita mengubah kutukan sumber daya alam menjadi berkah? Apa saja syarat-syaratnya? [ ]